Data Lagu
Judul: Cukup Kota
Artis: Romi Jahat dan Sudrawani
Durasi: 2:28
Tahun rilis: 2019
Banyak mata rakyat Indonesia kini tertuju ke Pulau Rempang setelah terjadi bentrokan antara warga Rempang dengan pasukan gabungan yang terdiri dari Kepolisian, Satuan Polisi Pamong Praja, dan TNI pada Kamis (07/09). Bentrokan bermula ketika warga berupaya menggagalkan usaha tim Badan Pengusahaan (BP) Batam untuk mengukur tanah dan memasang patok tata batas yang mendapat kawalan dari pasukan gabungan.
Adapun usaha tim BP Batam tersebut demi terwujudnya Rempang Eco-City yang dikelola oleh PT Makmur Elok Graha (MEG), anak usaha PT Arta Graha milik taipan Tomy Winata. Proyek Strategis Nasional (PSN) ini bertujuan membuat Rempang sebagai kawasan industri, perdagangan, hingga wisata yang terintegrasi. Untuk itu, ribuan warga Rempang harus direlokasi. Tuntutan tersebut ditolak keras oleh warga Rempang yang turun temurun telah mendiami pulau itu sejak ratusan tahun sebelum Indonesia merdeka.
Serangkaian tindakan represifitas oleh aparat kemudian diterima warga Rempang. Solidaritas Nasional untuk Warga Rempang menyebut aparat telah menggunakan kekuatan secara berlebihan dan secara serampangan menembakkan gas air mata. Akibatnya 20 warga mengalami luka ringan ataupun luka berat. Bahkan, sejumlah anak mengalami trauma lantaran gas air mata yang digunakan aparat melesat masuk ke sekolah.
Bagai menyiram api dengan bensin, tindakan aparat tersebut mendorong ribuan warga Rempang menggeruduk Kantor BP Batam pada Senin (11/09). Massa aksi menolak pembangunan PSN Rempang Eco-City yang akan merenggut ruang hidup mereka. Mereka kadung marah, tanah mereka mau direbut, baku hantam tak terhindarkan. Banyak pejuang tanah warga Rempang kemudian ditahan oleh kepolisian.
Fenomena di atas tergambar jelas dalam lagu berjudul “Cukup Kota.” Lantunan Folk dari Romi Jahat dan Sudrawani ini bersi teriakan masyarakat desa yang tertindas akibat ketamakan orang kota.
Bagaimana lahan petani tertutupi gedung-gedung tinggi
Bagaimana anak cucu nanti terjajah di tanah sendiri
Kurasa desa tak perlukan kota dimana gedung tinggi berada
Kurasa kota tak perlu ke desa membawa keangkuhan dunia
Penggalan lirik di atas menggambarkan adanya pembangunan di desa yang justru menyengsarakan masyarakat. Sepenggal lirik “Bagaimana anak cucu nanti terjajah di tanah sendiri” merupakan jeritan masyarakat desa yang tak lagi memiliki hak atas tanah mereka semula. Hal itu yang kemungkinan besar akan dirasakan warga Rempang bila mereka digusur demi terselenggaranya pembangunan.
Fenomena di Rempang hanya satu dari sekian banyak kasus pembangunan di desa yang justru menyengsarakan rakyat. Dalam konteks PSN saja, Konsorsium Pembangunan Agraria (KPA) menyatakan ada 73 konflik agraria terjadi dalam kurun waktu delapan tahun pemerintahan Jokowi.
Dari banyaknya konflik yang terjadi, dapat dipahami bahwa rakyat tidak dilibatkan dalam pembangunan daerah mereka sendiri. Padahal rakyat setempat yang lebih tahu tentang desanya. Oleh karena itu, idealnya penggerak utama dari pembangunan adalah rakyat itu sendiri.
Akan tetapi, yang terjadi rakyat setempat dijadikan hanya sebagai penonton, bukan sebagai penggerak utama jalannya pembangunan. Bagaimana bisa menjadi penggerak utama, jika sedari awal rakyat digusur dari tanah mereka sendiri demi pembangunan.
Oleh karena itu, suatu ironi ketika pemerintah selalu menggembar-gemborkan, pembangunan di desa untuk kepentingan rakyat setempat. Nyatanya pembangunan dilakukan hanya untuk akumulasi kapital para pemilik modal dari kota. Untuk mendapat keuntungan sebanyak-banyaknya dari pembangunan itu, mereka berusaha menguasai tanah masyarakat setempat.
Namun, dari sepenggal lirik “Kurasa desa tak perlukan kota dimana gedung tinggi berada” terbesit pikiran masyarakat desa yang merasa mereka sudah subsisten ataupun sejahtera sehingga tak memerlukan modal dari kota untuk pembangunan desa. Apalagi jika mereka diharuskan pergi lantaran pembangunan. Padahal tanah umumnya merupakan sumber kehidupan masyarakat desa yang biasanya bekerja sebagai petani ataupun nelayan.
Selanjutnya bagi masyarakat desa, terlebih lagi dalam konteks masyarakat adat seperti yang terjadi di Rempang, tanah bagi mereka tak sekadar komoditas yang dengan mudahnya dapat diperjual-belikan. Tanah bagi masyarakat adat merupakan sumber identitas sosial dan kebudayaan mereka. Jadi, jika masyarakat adat kehilangan tanahnya, maka identitas sosial, tradisi, adat istiadat, ataupun nilai yang mereka punya dapat dengan mudah menghilang.
Selain itu, akan sangat sulit untuk memisahkan masyarakat adat dari tanahnya karena keterkaitan yang terjadi antara dua entitas itu sudah berlangsung selama puluhan ataupun ratusan tahun. Sehingga masyarakat adat punya rasa emosional yang sangat kuat dengan tanahnya.
Oleh berbagai sebab di atas, meskipun masyarakat adat di Rempang dijanjikan berbagai macam hal agar bersedia direlokasi, mereka tetap mempertahankan ruang hidup mereka. Hal inilah yang kemudian berujung berbagai tindakan represifitas yang diterima oleh warga Rempang. Kekerasan yang mereka alami tak membuat mereka menyerah tapi justru memantik api perlawanan mereka.
Bagi masyarakat desa yang terancam ruang hidupnya direbut lantaran pembangunan, kucuran dana yang dijanjikan pemilik modal dari kota dan tindakan represifitas aparat merupakan bentuk keangkuhan dari orang yang punya kuasa. Terlebih lagi masyarakat setempat yang tak dilibatkan dalam pembangunan, membuat mereka melawan. Hal ini sesuai dengan sepenggal lirik “Kurasa kota tak perlu ke desa membawa keangkuhan dunia.”
Baca juga: Filsafat itu Sederhana
Penulis: Andreas
Editor: Asbabur