Rabu (28/10), beberapa elemen masyarakat berkumpul di Tugu Proklamasi, untuk mengikuti mimbar akbar menolak UU Cipta Kerja. Tugu Proklamasi sendiri merupakan tempat pertama yang menjadi saksi kemerdekaan Indonesia. Tugu Proklamasi, hingga saat ini menjadi tempat simbolis penghormatan pejuang yang telah gugur sebelum kemerdekaan dan sesudah kemerdekaan. Hal tersebut diamini oleh, Nining Ellitos, ketua Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia( KASBI), menurutnya, dipilihnya Tugu Proklamasi sebagai tempat dilaksanakannya mimbar rakyat ini berkaitan dengan sejarah perjuangan dan pergerakan rakyat Indonesia.

Berbeda dengan aksi sebelumnya yakni, tanggal (8/10) dan (20/10), yang mana sebelumnya aksi dilakukan dengan longmarch menuju istana. Aksi mimbar akbar kali ini menurut Nining, dipilih dengan alasan sebagai desakan terhadap pemerintah untuk menciptakan ruang demokrasi seluas- luasnya. Selain itu bagi Nining, mimbar rakyat bertujuan sebagai upaya menjaga napas perjuangan yang masih panjang.

Dalam mimbar akbar tersebut, terlihat elemen masyarakat yang beragam, dengan memakai identas masing-masing. Seperti pakaian merah mencirikan buruh, memakai caping ialah petani, dan yang menggunakan almameter berarti mereka mahasiswa. Adapun mereka yang berpakaian bebas terdiri atas, rakyat miskin kota, pelajar, dan organisasi pemuda. Mereka semua tergabung dalam aliansi Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK).

Mimbar bebas dimulai dari pukul 3 sore. Mimbar akbar diisi oleh orasi-orasi politik, pembacaan puisi, musikalisasi puisi, teatrikal, dan diselingi dengan nyanyian – nyanyian perjuangan yang diisi organisasi- organisasi yang tergabung dalam aliansi GEBRAK. Acara ini dimulai dengan menyanyikan Indonesia Raya dan Internasionale. Dilanjutkan dengan orasi politik dari Nining, ketua Konfederasi KASBI. Ia menyebutkan bahwa UU Cipta Kerja ini adalah permainan oligarki ( 1% orang dari jumlah penduduk Indonesia yang mengusai kekayaan Nasional) untuk mempermudah investasi. Nining menambahkan, dalam penyusunan UU tersebut, pemerintah mengabaikan aspek kemanusiaan, seperti penghapusan pemberiaan jatah cuti kepada ibu hamil, dan wanita yang sedang mengalami menstruasi, serta penambahan jam kerja yang bisa lebih dari 8 jam. Lebih lanjut, ia mengatakan UU Cipta Kerja mengancam generasi muda untuk mendapatkan kepastian kerja, sebab di dalam UU ini mengatur tentang kerja kontrak yang tidak ada batas waktunya. Hal tersebut bagi Nining akan membuat generasi muda lebih sulit untuk diangkat sebagai karyawan tetap.

Nining juga mengkritik pemerintah terkait transparansi UU Cipta Kerja, draft yang berubah-ubah dari 1.028 halaman, 1.035 halaman, 812 halaman, hingga yang terkini 1.187 halaman.”Dengan berubah- ubahnya draft UU Cipta Kerja ini, hal tersebut semakin menegaskan UU tersebut dibuat dengan sembunyi-sembunyi,” tegas Nining.Tarakhir ia menyampaikan, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak pernah melihat dan mendengarkan tuntutan dari penderitaan rakyat.“ Di saat pendemi saat ini rakyat lebih membutuhkan penanganan kesehetan, daripada mengesahkan UU Cipta Kerja,” ujarnya.

Sementara itu, Dewi Kartika, Sekretaris Jendral (Sekjen) Konsorium Pembaruan Agraria (KPA), mengatakan bahwa narasi pemerintah bahwa UU Cipta Kerja hanya berdampak hanya pada sektor ketenegara kerjaan ialah penyesatan publik. Sebab menurutnya, dampak UU Cipta Kerja juga mengancam petani. Ia melanjutkan, dalam UU Cipta Kerja tanah menjadi barang komoditas bagi para pemilik modal. Dewi melanjutkan, hal tersebut menyebabkan petani akan semakin terancam tanahnya dengan pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang definisinya sudah diperluas.” Kepentingan umum yang dimaksud adalah pembangunan bandara, jalan tol, pertambangan, proyek strategis nasional, kawasan ekonomi khusus, pariwisata, dan properti,” paparnya.

Iklan

Ia juga mengkritik bahwa dalam UU Cipta Kerja, pemerintah mengggap bahwa investor lah aktor pertumbuhan ekonomi utama. Padahal bagi Dewi, petani lah yang menjadi aktor utama ekonomi di negeri ini. Ia mengatakan, sebab impor pangan ialah basis pembangunan kedaulatan pangan untuk kemajuan Indonesia.

Di akhir orasi nya, Dewi menyerukan semua elemen gerakan masyarakat bersatu untuk menolak semua UU yang disetir oleh pemodal, sebab berpotensi merusak lingkungan, alam dan menghilangkan mata pencaharian petani. “Yang harus kita lakukan ialah mebangun ekonomi kerakyatan,” pungkasnya.

Tak hanya buruh dan petani saja yang akan terdampak dengan UU Cipta Kerja, masyarakat yang bertempat tinggal sekitar Tugu Proklamasi pun juga terdampak. Menurut Enni, Jaringan Rakyat Miskin Kota, juga merasakan terancam akan kepastian tempat tinggal dengan pasal – pasal dari UU Cipta Kerja.

Senada dengan Dewi, ia mengatakan bahwa pemerintah dan DPR tidak mendengarkan aspirasi kaum kecil, “mereka yang mengatakan wakil rakyat, ternyata mereka adalah wakil pemodal saja.”

Selanjutnya, bertepatan dengan hari Sumpah Pemuda, yang mana di dalam sumpah pemuda, terdapat peran pemuda sebagai pelopor persatuan di dalam negeri ini melawan ketidakadilan yang terjadi. Fachry Azkary, dari Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI), menyoroti pengesahan UU Cipta Kerja oleh DPR dan pemerintah di saat pandemi Covid- 19. Menurut Fachry, di situasi pandemi ini, rakyat lebih membutuhkan kebijakan- kebijakan yang mampu mengatasi masalah kesehatan dan distribusi pangan yang menyeluruh.

Terakhir ia menegaskan, dengan pengesahan UU Cipta Kerja ini terlihat bahwa DPR dan pemerintah selalu membodohi rakyat dengan mensahkan UU yang menindas rakyat.” Hari ini para buruh, tani dan rakyat sudah cerdas, pemerintah tidak boleh membodohi rakyatnya terus-menerus,” pungkasnya.

Mimbar akbar diakhiri dengan pembacaan Sumpah Rakyat Tertindas, dipimpin oleh pimpinan organisasi- organisasi yang tergabung dalam aliansi GEBRAK dan diikuti oleh massa aksi.

Di dalam Sumpah Rakyat Tertindas terdapat 3 poin, yaitu:

1. Kami rakyat tertindas bersumpah, menjunjung tinggi persatuan, persatuan atas tegaknya keadilan,

2. Menyerukan sikap perlawanan terhadap culasnya kekuasaan.

Iklan

3. Dan akan terus berjuang, berjuang demi lenyapnya kesewenang-wenangan.”

Setelah pembacaan Sumpah Rakyat Tertindas, Setelah pembacaan Sumpah Rakyat Tertindas pada pukul 19.30 WIB, massa aksi membubarkan diri dengan aman dan tertib.

Penulis: Ahmad Rizalul Haq

Editor: Uly Mega S.