Saya merupakan lulusan SMA Negeri yang masih anyar di Depok. Saya masuk SMA pada tahun 2014. Saat itu, perundungan masih menjadi muatan utama dalam kegiatan Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS).

Apakah pengenalan terhadap lingkungan sekolah yang baru harus tersaji dalam format tersebut? Format ini dianggap wajar bagi sebagian orang tua dan dianggap untuk keseruan semata. Keseruan semacam apa yang didapat dari perpeloncoan? Saya tidak tahu.

Saya merasa kalau hal ini merupakan pem-bully-an, atau yang dalam bahasa Indonesia disebut perundungan. Menurut kompasiana.com, kata perundungan berasal dari kata rundung yang berarti susah atau sulit. Sedangkan kata perundungan sendiri berarti pengusikan, penimpaan dan penyusahan.

Tiga tahun terlewati, saya melanjutkan ke perkuliahan. Lingkungan baru, pengenalan dan adaptasi lagi. Setelah menteri pendidikan melarang adanya praktek perpeloncoan, apakah hal tersebut juga berlaku bagi perguruan tinggi? Apakah semua hal dibuat lebih beradab dengan tidak memakai unsur perpeloncoan secara fisik maupun secara lisan? Saya merasa penasaran dengan bagaimana nasib saya di perkuliahan nantinya.

Seperti dugaan saya, kegiatan pengenalan mahasiswa baru pada kehidupan perkuliahan masih berisi drama bentakan dari kakak tingkat yang menjabat sebagai seksi keamanan, kedisiplinan, dan ketertiban (K3). Telat satu menit setara dengan telat 30 menit, sengaja berbicara dengan nada jutek dan dingin serta memasang ekspresi kesal atau marah terus-menerus untuk menakuti mahasiswa baru, dan juga senioritas. Tidak ada bedanya dengan masa SMA saya dulu. Tak heran ketika rangkaian MPA selesai, para mahasiswa baru sangat senang mendapat kebebasan dari senioritas kakak tingkat. Mereka merasa dirinya diakui sebagai mahasiswa UNJ setelah saat MPA mereka dianggap sebagai ‘orang baru’ yang masih belum menjadi bagian dari kampus. Kakak tingkat sudah tidak mendominasi lagi. Bertemu di koridor gedung prodi sudah serasa bertemu dengan teman satu angkatan. Rasa kekeluargaan yang diusung prodi sudah mulai terasa.

Namun, semua itu berubah ketika muncul acara lanjutan dari MPA tingkat prodi (MPAP) yang diberi judul PKMP. PKMP adalah singkatan dari Pelatihan Kepemimpinan Mahasiswa Prodi yang bertujuan untuk menumbuhkan dan melatih sikap kepemimpinan mahasiswa yang berlabel wajib. Kakak tingkat yang sama yang muncul di acara MPAP berulang kali masuk kelas membujuk para mahasiswa baru untuk ikut dengan berbagai macam propaganda. Dimulai dari yang klise yaitu ‘PKMP itu wajib’ hingga kalimat ‘luar biasa’ seperti ‘kalau tidak punya sertifikat PKMP maka tidak bisa skripsi, tidak bisa wisuda, dan tidak bisa lulus.’, juga ‘kakak tingkat yang tidak ikut tahun lalu ‘mengulang’ ikut PKMP tahun ini.

Iklan

Bagaimana bisa ada kakak tingkat yang ‘lolos’ dari PKMP jika PKMP memang sepenting dan seserius itu?

Statement lain yang tidak kalah ‘unik’ adalah ‘PKMP itu hak semua mahasiswa karena kita berhak dididik menjadi pemimpin.’ Hak apa yang wajib ditunaikan dan dipaksa mengulang jika tidak ikut? Yang paling lucu adalah, ‘karena acara ini wajib, ada konsekuensi bagi yang tidak mengikuti.’ Kenapa ada konsekuensi untuk hak saya? Mendengar hal tersebut, saya tetap teguh tidak ingin ikut PKMP.

Setelah PKMP, teman-teman saya bercerita bahwa tidak ada kakak tingkat yang mengulang. Pada hari-H PKMP, para kakak tingkat yang ‘mengulang’ itu justru tidak ada. Teman-teman saya juga menceritakan tentang panitia PKMP yang merangkai skenario drama untuk memarahi peserta PKMP ditulis dikertas yang terselip ke dalam tas peserta. Hal tersebut membuat saya merasakan adanya hilangnya hakikat PKMP yang sesungguhnya yang bertujuan untuk melatih kepemimpinan mahasiswa, menumbuhkan sikap mampu bekerja sama dan bertanggung jawab, yang pada akhirnya PKMP adalah ajang kaderisasi BEMP.

Di kampus pendidikan dan pergerakan ini, apakah bentakan dan mempertebal dominasi dan intimidasi kakak tingkat itu perlu?

Saya bertanya kepada teman-teman saya mengenai pengalaman mereka dalam mengikuti PKMP. Ada yang berpendapat bahwa PKMP itu menambah pengalaman, tapi juga membosankan karena berisi materi seharian penuh. Ada juga yang mengomentari K3 yang selalu marah-marah kepada peserta. Ada juga yang beranggapan PKMP kurang tertata. Menurut teman saya yang sudah pernah mengikuti acara pelatihan kepemimpinan sebelumnya, PKMP tidak berbeda dari acara yang ia pernah ikuti. Menurutnya, mengakumulasi pelanggaran itu tidak adil karena tiap pelanggaran memiliki poinnya masing-masing. Ia mengometari bahwa K3 seharusnya tidak mencari-cari kesalahan peserta, dan juga mempertanyakan keefektifan PKMP. Skenario pemulangan menurutnya membuang waktu. Teman saya yang terakhir mengomentari bahwa PKMP itu harusnya lebih mengedepankan pelatihan jiwa kepemimpinan mahasiswa sebagaimana mestinya, bukan hanya untuk menyukseskan proker saja. Ia menambahkan bahwa jiwa kepemimpinan itu berasal dari diri sendiri, bukan paksaan.

Semua ini berakhir dengan teman sekelas saya yang bertanya pada kepala prodi (kaprodi) yang mengajar di kelas kami yang mendapat jawaban bahwa PKMP itu tidak wajib. Jawaban tersebut cukup untuk membantah semua isu mengenai PKMP. Mungkin sejak awal program kerja itu ada untuk menjadi ajang senioritas dan pelampiasan dendam turun-temurun akibat perlakuan kakak tingkat terdahulu yang tak terbalaskan, dan para panitia kemudian menggunakan acara ini sebagai ajang balas dendam atas apa yang mereka alami. Hanya para kakak tingkat yang terhormat sajalah yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang bersarang di pikiran saya.

 

Penulis : Novita Aura Insani