Kamis (31/10), Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta (BEM UNJ) menggelar diskusi publik bertajuk “Pemberantasan Korupsi Dilemahkan, Demokrasi Dibungkam”. Diskusi ini bertempat di Arena Prestasi UNJ. Diskusi ini menghadirkan Novel Baswedan (mantan Penyidik Komisi Pemberentasan Korupsi), Bivitri Susanti (Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jentera), Fauzan Hakim (Presiden Mahasiswa Universitas Suryadharma), dan Yoandro Edwar (Indonesian Democracy Initiative) sebagai pemantik.
Bivitri membuka diskusi dengan membahas soal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) KPK yang tidak kunjung diterbitkan oleh pemerintah. Ia berkata bahwa Perppu secara teori bisa dikeluarkan kapan saja. “Selama Presiden menganggap kegentingan itu ada, Perppu KPK bisa dikeluarkan. Masalahnya negara genting dengan tingkat korupsi yang meningkat, tapi malah belum dikeluarkan,” keluh Bivitri.
Bivitri juga menambahkan bahwa, UU No. 19/2019 (revisi dari UU No. 30/2002 tentang KPK), terdapat banyak pasal yang melemahkan KPK itu sendiri. “Contohnya ada pasal yang menghapus status kekhususan komisioner di KPK,” ujarnya.
Selain itu, Novel pun menambahkan, terdapat pasal lain yang melemahkan KPK dalam memberantas korupsi, yakni masalah penyitaan bukti-bukti korupsi. Masalahnya, kata Novel, penyitaan yang seharusnya dilakukan tanpa perlu persetujuan dari pengadilan malah ditambahkan dengan izin kepada Dewan Pengawas KPK terlebih dahulu. “Ini membuat banyak bukti penting yang tidak bisa diakses oleh KPK,” ucap cucu dari salah satu anggota BPUPKI, A.R. Baswedan ini.
Dewan Pengawas KPK, menurut Novel berbahaya bila diberlakukan. Sebab, menurut Novel dewan ini tidak diatur oleh kode etik. “Mereka dipilih oleh presiden. Siapapun orangnya, resikonya begitu besar karena bisa jadi terdapat permainan,” tegasnya.
Ia juga mengomentari peraturan yang mengharuskan petugas KPK berasal dari kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN). Menurutnya, intervensi pemerintah kepada KPK menjadi begitu mudah karena harus menyerahkan barang bukti ke polisi dan jaksa (dalam Pasal 107 Kitab Undang-undang Hukum Pidana). “Mereka geraknya jadi terlalu birokratis, keburu hilang barang buktinya,” kata Novel.
Berbicara tentang gerak polisi yang lambat dalam menangani kasus penyiraman air keras ke dirinya, Novel menegaskan bahwa langkah pemerintah begitu lambat. Tim Teknis yang dibentuk oleh presiden dan dimandatkan kepada Polri sampai saat ini belum mampu untuk menentukan siapa pelakunya. Kebetulan, diskusi publik tersebut bertepatan dengan kasus penyerangan Novel yang resmi ditutup oleh Kepolisian.
Novel mengatakan lambatnya hal ini kepada DIDAKTIKA saat ditemui di Lobby Fakultas Ilmu Sosial UNJ seusai diskusi. “Kalau terkait dengan diri saya yang diserang, saya ikhlas. Tapi masalahnya mereka membiarkan hal ini terjadi kepada orang-orang lainnya yang melawan korupsi. Mereka tidak boleh diganggu,” tegasnya.
Ia pun turut mengomentari perihal pemilihan Idham Azis, yang sebelumnya menjabat sebagai Kepala Badan Reserse dan Kriminal (Kabareskrim) Polri menjadi Kapolri. Novel mengatakan bahwa ia pesimis dengan pergantian kekuasaan di tubuh kepolisian ini. Menurutnya, selama menjabat sebagai Kabareskrim, kasus penyerangan terhadap dirinya dan petugas KPK lainnya belum terungkap. “Padahal bukti-bukti seperti rekaman CCTV cukup jelas,” imbuhnya.
Wacana integrasi KPK periode baru ke dalam tubuh Kepolisian tidak perlu untuk dilakukan. Menurutnya, independensi KPK harus tetap ada. “Boleh saja jika KPK melibatkan polisi dan jaksa, tapi sektor penegakan hukum di Indonesia harus kuat dulu. KPK seharusnya bergerak secara independen,” tegasnya.
Apakah Pemberantasan Korupsi Bukanlah Sebuah Urgensi?
Yoandro dalam diskusi juga mempertanyakan urgensi pemerintah dalam memberantas korupsi. Menurutnya, pemerintah lebih mengutamakan isu radikalisme lewat pernyataan dari Kementerian Dalam Negeri yang membuat satuan tim anti-radikalisme sampai tingkat desa. “Harusnya biar adil, pemerintah juga membuat satuan anti-korupsi di desa-desa juga. Korupsi juga masuk dalam kejahatan luar biasa,” ucapnya.
Senada dengan Yoandro, Bivitri juga mempertanyakan revisi UU KPK yang semakin mempreteli wewenang KPK. Ia menjelaskan, penyusunan revisi UU memfokuskan ke pencegahan korupsi, bukan penindakannya. “Saya rasa nanti KPK malah lemah, karena hukumannya tidak memberi efek jera.”
Bivitri menambahkan bahwa efek dari “utang budi” Joko Widodo kepada gerbong koalisinya dengan jatah kursi kementerian menandakan bahwa kubu oposisi dari partai politik semakin melemah dalam mengkritik kebijakan pemerintah dan melaporkan kepada publik. Menurutnya, berbahaya jika tidak ada pengawasan dari pihak partai politik oposisi, karena kebijakan yang mengkhianati semangat anti-korupsi semakin meningkat.
Novel juga memberi pernyataan tentang salah kaprah orang-orang yang berkata bahwa revisi UU KPK ini memperkuat wewenang pemberantasan korupsi. Menurut Novel, orang-orang seperti itu mempunyai dua kemungkinan: berbohong kepada rakyat atau tidak paham secara rinci isi dari UU-nya.
Penulis/Reporter: M. Rizky Suryana
Editor: Ahmad Qori