Belum sampai setahun, jagat pemberitaan kita digegerkan dengan berita penyerangan salah satu gardu milik Forum Betawi Rempug (FBR) oleh Pemuda Pancasila (PP) di daerah Kembangan, Jakarta Barat. Kejadian tersebut menelan korban jiwa bernama Diaz – salah satu anggota FBR. Dirinya tewas akibat kehabisan darah setelah mengalami luka bacok di tubuhnya.

Konflik antara dua organisasi masyarakat (Ormas) barusan, memang bukanlah barang baru. Cukup kita mengetikkan kata kunci “PP VS FBR” di penelusuran, maka jejak digital perseturuan keduanya muncul. Mulai dari saling sindir, unjuk kekuatan, hingga perebutan wilayah kekuasaan. Akhirnya tinggal tunggu saja siapa yang melakukan penyerangan lebih dulu.

Rentetan kejadian-kejadian barusan, tentu menelurkan respon negatif. Tagar terkait Pemuda Pancasila beberapa kali memuncaki pembahasan di media sosial. Musababnya jelas, kebanyakan anggota organisasi tersebut melakukan aksi-aksi pemalakan dan berbuat onar di masyarakat. Seturut dengan itu, muncullah label preman berseragam bagi punggawa-punggawanya.

Meskipun dilabeli sebagai preman dan identik dengan penggunaan kekerasan. Nyatanya baik PP ataupun FBR tetap eksis, serta mampu melebarkan jaringannya. Terbukti dari pembukaan kantor-kantor cabang dan gardu-gardu penanda kehadiran mereka di setiap daerah. Muaranya, tentu basis massa keduanya dilirik partai-partai politik, guna menjalin kesepakatan kerjasama untuk pemenangan pemilu. Belum lagi, beberapa lapisan masyarakat—khususnya menengah ke atas, yang menggunakan jasa mereka untuk menjaga keamanan bisnisnya di luar institusi formal macam kepolisian.

Jika ditilik lebih lanjut, fenomena barusan menghasilkan sebuah ikhtisar, yaitu bagaimana praktik premanisme dan kekerasan, ternyata masih sangat menjanjikan di tengah berjalannya demokrasi elektoral di Indonesia. Tentu saja hal ini, tidak muncul begitu saja. Namun, berangkat dari perjalanan historis campur tangan negara—Orde Baru, sebagai aktor utama yang mengkonsolidasikan ormas-ormas dan geng-geng jalanan, guna melanggengkan kekuasaannya.

Konsolidasi Jalanan ala Orde Baru

Iklan

Ian Douglas Wilson seorang peneliti politik dan masyarakat Indonesia kontemporer  dalam bukunya Politik Jatah Preman. Menggulirkan tiga poin utama, hubungan Orde Baru dengan perusahaan-perusahaan kekerasan—organisasi preman dan geng-geng remaja. Pertama, integrasi mereka ke lembaga-lembaga bentukan negara. Kedua, pemusnahan melalui pembantaian dan terakhir menciptakan ketergantungan berdasarkan patronase bersyarat.

 

Medio 70-an menjadi awal konsolidasi jalanan ala Orba, ketika lahir beberapa organisasi pemuda seperti Pemuda Panca Marga (PPM), Angkatan Muda Siliwangi (AMS) dan Ikatan Pemuda Karya (IPK). Mereka lahir bukan tanpa alasan, tujuan utamanya tentu memudahkan negara melakukan kontrol terhadap geng-geng dan para jago yang sebelumnya berjalan sporadis. Inisiasi awalnya adalah Ali Murtopo yang kala itu menjabat sebagai Kepala Komando Operasi Khusus (OPSUS). Takayal organisasi-organisasi barusan, memiliki keterhubungan dengan militer dan Golongan Karya (Golkar).

Murtopo pulalah yang akhirnya menggerakan preman-preman peliharaannya tersebut. Guna menekan gerakan-gerakan politis, macam demonstrasi mahasiswa tahun 1974. Kemudian mereka turut terlibat aktif menekan lawan-lawan politik Orba sehingga mempunyai peran besar mengamankan suara pemilih Golkar pada pemilu 1971 dan 1979.

Namun, konsolidasi awal ini tidak sepenuhnya kuat. Secara keseluruhan Orba tetap gagal mengontorol kekuatan-kekuatan jalanan tersebut. Hingga muncullah operasi Penembakan Misterius (Petrus). Sepanjang tahun 1983-1985, sekitar 5.000-10.000 nyawa melayang akibatnya. Target utama Petrus adalah para gali, anak jalanan dan anggota-anggota geng.

Sehingga memasuki tahun 90an, kebanyakan preman memilih bergabung dengan organisasi yang memiliki afiliasi dengan rezim. Sebab, jika ngotot bertahan secara individual atau dalam komunitas kecil, ancaman dimusnahkan sangatlah besar. Akibatnya, terciptalah mekanisme baru bernama “Beking” sebagai syarat awal bertahan hidup bagi para preman.

“Kunci bertahan hidup bagi preman adalah berorganisasi dan pernyataan kesetiaan penuh kepada militer, Golkar, dan presiden.” (Hlm.97)

Kasus paling menarik tentunya Pemuda Pancasila (PP). Organisasi ini nyaris tak tersentuh sedikitpun oleh rezim Orba. Bukan tanpa alasan, sang ketua Yapto Soerjosoemarno memiliki hubungan keluarga dengan Soeharto. Selain itu, PP turut menghadirkan pola organisasi modern. Sehingga preman-preman yang akhirnya bergabung bisa naik kelas dari sekedar tukang pukul. Mereka dapat memegang jabatan fungsionaris dalam organisasi atau bahkan terjun ke dunia politik.

Praktik beking akhirnya menjadi bentuk final konsolidasi jalanan ala rezim Orba. Terciptalah sebuah patronase antara negara dan organisasi-organisasi barusan. Soeharto tentu menjadi seorang Godfather, yaitu patron tertinggi di dalam mekanisme politik jatah preman.

Lantas, apa yang terjadi pada politik jatah preman, pasca keruntuhan rezim Orde Baru sebagai patron utama mereka dan sejalan dengan munculnya kebijakan desentralisasi?

Iklan

Baca Juga:

Banteng Sehat, Banteng Bagi-bagi Minyak

Desentralisasi Politik Jatah Preman

Kekuatan-kekuatan koersif yang sebelumnya terpusat mengikuti ciri rezim Orde Baru. Kini dipaksa melakukan konfigurasi ulang. Sebab utamanya adalah proses desentralisasi, hal ini memunculkan para penguasa-penguasa lokal yang sebelumnya tak terlalu diperhitungkan dalam arena politik jatah preman.

Salah satunya yang paling berpengaruh adalah ormas bernama Front Betawi Rempug (FBR). Meski baru berdiri empat tahun, pasca runtuhnya Orba, tepatnya 29 Juli 2001. Organisasi ini, tidak dapat diremehkan, sebab setahun pasca terbentuk mereka memiliki anggota sebanyak 50.000 orang. Jumlah yang begitu fantastis, buat organisasi dengan basis lokalitas dengan embel-embel etnis Betawi.

Selain FBR, muncul pula koloni-koloni geng-geng dengan membawa identitas etnisnya masing-masing. Mereka bergerak di berbagai sektor-sektor pekerjaan informal macam makelar tanah, penagih hutang, dan jasa pengawalan. Semuanya bersaing menancapkan kekuasaannya masing-masing sehingga muncul konflik-konflik perebutan wilayah.

Bukan hanya itu, akibat hilangnya patron utama yang sebelumnya begitu kuat. Membuat organisasi preman model baru ini, kemudian bersaing menawarkan jasa keamanan swasta dan tentu ikut terlibat dalam lobi-lobi politik dengan penguasa. Ini menjadi menarik, sebab dijadikan tawaran tersendiri untuk menarik anggota baru dengan tawaran mendapat pekerjaan.

Kini pola patron-klien pun menggunakan mekanisme berbeda. Dalam beberapa kasus mereka tetap dijadikan pemantik konflik horizontal oleh pemerintah. Namun, hal tersebut tidak selalu berjalan dengan baik, jika penawaran dari penguasa tidak berpihak pada kepentingan mereka. Sehingga kebanyakan organisasi preman saat ini, tidak berpatron pada satu pihak secara utuh, selama musuh kliennya saat ini, menjanjikan sesuatu yang lebih.

Meski Ian memfokuskannya pada konteks Jakarta, terkait kemuncullan organisasi preman pasca Orba, serta kurang menjelaskan kondisi di wilayah Indonesia lainnya secara keseluruhan. Namun, buku karangannya tetap bisa menjadi rujukan menarik, guna memahami restribusi kekuasaan pasca runtuhnya rezim Orde Baru.

 

Penulis: Mukhtar Abdullah

Editor: Asbabur Riyasy