UNJ mengadakan sidang pleno senat tertutup UNJ dengan tema pemilihan rektor untuk periode 2023-2027 pada Senin (17/7). Pemilihan diadakan di R.M. Abdul Latief Hendraningrat, gedung R. Dewi Sartika, kampus A UNJ.
Ada tiga calon yang mengikuti pemilihan rektor kali ini, yaitu Komarudin, Ucu Cahyana, dan Muhammad Yusro. Setelah sebelumnya terdapat kedua calon lain, Muhammad Ri’fan dan Nofi Marlina Siregar yang telah tereliminasi di tahap penjaringan pada 17 Mei dan tahap penyaringan 13 Juni lalu.
Pemilihan dimenangkan oleh Komarudin. Mengalahkan dua calon rektor lain yaitu Ucu Cahyana dan Muhammad Yusro.
Kemenangan komarudin begitu fantastis, ia berhasil meraih 82 suara di pemilihan tahun ini. Ucu Cahyana mendapatkan suara terbanyak kedua setelah Komarudin sebanyak 30 suara. Sedangkan Muhammad Yusro tidak mendapat suara sama sekali. Komarudin berhasil menang dengan meraup 73% suara dari jumlah keseluruhan.
Hery Haryanto selaku ketua panitia menyatakan, terdapat 112 surat suara terkumpul tahun ini. Meski seharusnya ada 114 surat suara. Hal ini dikarenakan saat pemilihan sedang berlangsung, terdapat 2 pemilik suara yang tidak hadir. Suara-suara ini terdiri dari 73 anggota senat dan 39 perwakilan Kemendikbud.
Hafid Abbas selaku ketua senat UNJ mengatakan, pemilihan rektor tahun ini merupakan peristiwa bersejarah karena bertepatan dengan masa transisi UNJ dari PTN-BLU menjadi PTN-BH. Baginya, siapapun bakal rektor yang akan terpilih nanti harus memiliki tekad untuk membawa UNJ menjadi universitas bertaraf internasional sesuai dengan amanat Statuta UNJ.
Menurut Abbas, cita-cita UNJ untuk mencapai world class university tak akan tercapai tanpa iklim kepemimpinan yang kondusif dan harmonis. Serta dengan semangat kebersamaan yang kokoh.
Ia mempertegas pernyataannya dengan mengatakan “Tidak ada negara besar, tidak ada negara kecil, yang ada adalah negara dengan tata kelola kepemimpinan yang baik. Sehingga negara itu menjadi negara raksasa, kaya raya, dan sejahtera.” Sebuah kalimat yang dikutip dari seorang konsultan manajemen asal Austria, Peter Drucker.
Maka dari itu, sama halnya dengan universitas. Tidak ada universitas kecil atau besar. Semua tergantung tata kelolanya.
Abbas lalu membandingkan UNJ dengan 2 kampus lain. Salah satunya Columbia University, mereka memiliki 141 dosen yang berhasil meraih penghargaan Nobel. Universitas ini juga memiliki annual budget sebesar 55 miliar dollar dan dana abadi sekitar 15,5 miliar dollar. Hebatnya Columbia University hanya memanfaatkan 13% dari biaya UKT untuk annual budget dan dana abadi, sisanya didapat dari sumber lain.
Selain itu, ada Politeknik Negeri Malang, universitas berstatus BLU dengan 9.400 mahasiswa. Hebatnya, dengan jumlah mahasiswa yang lebih sedikit dari UNJ, mereka mampu membantu Timor-Leste melatih guru-guru SMK-nya. Politeknik Negeri Malang juga telah menjalin sebanyak 600 kerjasama di dalam maupun luar negeri.
“Jadi mahasiswa di sana baru semester 4 sudah mendapat tawaran pekerjaan dari BUMN, BUMD, dan sejumlah perusahaan,” terangnya.
Melanjutkan Abbas, Sri Gunani Pratiwi sebagai direktur pembelajaran dan kemahasiswaan Kemendikbud berpesan untuk siapapun yang terpilih nanti, diharapkan tetap mendukung semua kebijakan dari Kemendikbud.
Pasalnya, ia mengatakan Kemendikbud sedang mengusahakan setiap kampus untuk meningkatkan dana abadi. Hal ini dilakukan guna mendorong universitas bisa mandiri secara finansial. Sebab, Sri menilai uang dari mahasiswa belum bisa menunjang kebutuhan universitas, tidak seperti negara lain contohnya Malaysia.
“Maka dari itu kami dari Kemendikbud-Ristek mengusahakan penggalian endowment fund untuk meningkatkan keuangan universitas. Saya mohon dari pihak universitas dapat membantu,” harap Sri.
Penulis/Reporter: Asbabur
Editor: Ezra