Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) memberhentikan Djaali sebagai rektor Universitas Negeri Jakarta berdasarkan Surat Keputusan No. 473. Pemberhentian tersebut tidak lepas dari isu plagiarisme yang menerpa pascasarjana Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Menanggapi hal itu, Djaali mengadukan perkara ini ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Sampai sekarang, Djaali telah mengikuti sidang keenam. Setelahnya, ia menggelar Konferensi Pers di Hotel Megaria, Jakarta Pusat (22/01).
Pertemuan tersebut membahas beberapa tuduhan yang ditujukan kepada Djaali. Pertama, kebijakan Turn It In berdasarkan Keputusan Rektor UNJ. Penetapan kebijakan Turn It In tidak mengikutsertakan senat UNJ. Padahal senat berhak ikut campur dalam urusan akademik mahasiswa. Hal itu tidak sesuai dengan peraturan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan keterangan Djaali, pertimbangan suatu kebijakan termasuk pada bagian akademik atau non-akademik berdasarkan keputusan para pimpinan UNJ melalui rapat pimpinan (rapim). Menurutnya, Turn It In dipersiapkan oleh Wakil Rektor Akademik. Rumusan akhir kemudian disampaikan pada rapim. ‘’Kesalahan bukan di saya, tapi rapim,’’ kata Djaali.
Kedua, Djaali juga menolak tuduhan meluluskan 112 mahasiswa program doktor UNJ pada kurun waktu Maret sampai September 2016. Dia mengaku bahwa 112 mahasiswa yang diluluskan sesuai dengan syarat yang ditentukan kampus. Dari Maret hingga September mereka mengikuti rangkaian ujian kelayakan kelulusan. Mulai dari ujian proposal, ujian kelayakan hasil penelitian disertasi, ujian tertutup disertasi, hingga ujian terbuka disertasi.
Djaali menjelaskan beberapa mahasiswa dibimbingnya sejak 2005 hingga 2016. “Sangat menjadi fitnah ketika Menristekdikti mengatakan mahasiswa dibimbing dari Maret sampai September, ‘’ kata Djaali.
Selain itu, menurut Djaali, lamanya waktu yang ditempuh untuk lulus disebabkan pekerjaan mereka. Para mahasiswa ini sudah mendapatkan pekerjaan meski belum lulus. Terlebih lagi, ketika UNJ belum menentukan batas kuliah maksimal tujuh tahun di 2004. Ketentuan ini baru direalisasikan di 2010.
Ketiga, Djaali juga menyangkal bahwa dirinya tidak cakap membimbing mahasiswa pascasarjana. Sebab, ketidakcakapan ini mempermudah mahasiswa melakukan plagiat. Menurut Djaali, Menristekdikti tidak mencari bukti dari mahasiswa pascasarjana.
Untuk membuktikan hal itu, Djaali mengundang tiga alumni mahasiswa pascasarjana yang dibimbing olehnya. Salah satu mahasiswa yang dibimbing Djaali, Indra Prasatprabu, menolak kelalaian Djaali ketika menjadi promotor.
Pria yang menempuh masa studi sejak 2013 sampai 2017 ini menyatakan bahwa tuduhan yang diterima Djaali tidak beralasan. Sebab, dalam membimbing, Djaali memeriksa disertasi secara detail. “Saya harus merubah judul hingga empat kali karena tidak diterima,” tambahnya.
Senada dengan Indra, Diki Zainal membenarkan hal tersebut. Promotor memiliki tata cara yang baku dalam membimbing agar menghindari terjadinya plagiat. Contohnya, kesesuaian penggunaan catatan kaki.
Hal serupa dikatakan oleh Djayaeng Tirto. Namun, Tirto memaklumi pembimbing tidak teliti dalam melihat plagiat. ‘’Beliau gak mungkin ngecek satu persatu,’’ kata Tirto. Menurutnya, para promotor hanya bertugas memperbaiki isi disertasi.
Penulis: Hendrik Yaputra
Editor: Yulia Adiningsih dan Lutfia Harizuandini