Beh, Jupran pengen kuliah,” ujar Jupran anak sulung Mat Entong.

Ape??? Kuliah???”

Mat Entong kalang kabut mendengar anak sulungnya ingin kuliah, karena menurutnya anak Betawi tidak usah sekolah tinggi-tinggi. Cukup sembahyang, mengaji dan silat. Selain itu biaya kuliah yang mahal membuat Mat Entong berfikir dua kali. Namun, Mpok Mimin (ibu Jupran) berhasil membujuk Mat Entong untuk menguliahkan Jupran. Akhirnya, babe Jupran (Mat Entong) membangun kontrakan untuk membiayai Jupran kuliah. Para pengontrak datang dari berbagai suku. Dialog-dialog ringan dan lucu menghiasi pertunjukan teater ini dari awal hingga akhir. Menciptakan peristiwa dan mengambarkan kondisi sosial di sudut Ibu Kota.

Demikian, pementasan Zookarta  Kamis, (4/10) oleh  Teaterin, Sastra Indonesia, Universitas Negeri Jakarta (UNJ) yang dilaksanakan di Teater Miss Tjihtjih, Jakarta Pusat. Naskahnya sendiri diadaptasi dari naskah milik Yustiansyah Lesmana dengan judul Jakarta Karikatur.

Bima Dewanto, sebagai sutradara mengatakan alasan memilih naskah Zookarta untuk dipentaskan karena menurutnya, cerita ini sangat dekat dengan anggota Teaterin. Ia juga menambahkan, naskah ini sebagai sebuah sindiran terhadap permasalahan yang ada di Jakarta mengenai pluralisme. “Zookarta bisa meluruskan kalau perbedaan itu memang bisa membawa masalah.  Tapi kalau kita punya niat buat menyatukan perbedaan tersebut, percaya deh perbedaan itu malah jadi sebuah harmoni,” ujar Bima salah satu Mahasiswa Program Studi (Prodi) Sastra Indonesia.

Akan tetapi, Bima mengatakan dalam pementasan Zookarta ia mengalami kesulitan, karena mayoritas anggota Teaterin bukan anak teater. “Jadi saya harus jelasin dari dasar lagi soal teknik peran, belum lagi anggota yang jarang datang latihan,” tuturnya.

Iklan

Dara Meiga adalah salah satu aktor yang memerankan tokoh Inah. Inah merupakan  pengontrak yang berasal dari desa Salaman. Dara merasa kesulitan dalam memainkan peran karena, selama latihan enam bulan karakter Inah selalu berubah. Menurut Dara, pada awalnya Inah digambarkan sebagai tokoh dari Jawa Tengah yang ketika berbicara sangat lama, namun karakter itu tidak bisa dimainkan dengan baik. “Akhirnya dua bulan sebelum pementasan baru dapat karakter yang cocok,” tuturnya.

Namun, dibalik segala kesulitan yang dialami, Bima Dewanto mengatakan penampilan Teaterin lebih dari ekspektasi awal yang ia bayangkan. Ia sempat meremehkan karena ini merupakan teater untuk kebutuhan tugas kuliah. Tapi, menurut Bima Teaterin bisa membawakan naskah dengan apik, setara dengan teater pada umumnya. “Saya saja yang udah beberapa kali jadi aktor di berbagai teater iri sama aktor-aktor Zookarta yang bisa pentas di atas panggung dengan segitu bagusnya,” katanya.

Senada dengan Bima, Sarah Assofiyah salah satu penonton pementasan Zookarta, memaparkan pementasannya keren untuk ukuran apresiasi drama di prodi.  Menurutnya pementasan Zookarta setara dengan pementasan yang biasa dibawa ke festival teater Jakarta, mereka membawakan naskah dan aplikasi ke panggung itu sangat realis.

Sarah juga menambahkan ia suka dengan karakter-karakter yang ada di dalam pementasan tersebut.  Ia mengatakan, pemeranmya punya karakternya masing-masing yang bisa merepresentasikan secara sederhana budaya yang ada di Indonesia. “Karakternya hampir semua ngena, walaupun ada yang kurang tapi, ketutup sama yang lainnya,” tutur mahasiswi Universitas Muhammadiyah Prof. Dr.Hamka jurusan Teater Hijrah.

Penonton lainnya, Muhammad Abdurahman, mahasiswa Pendidikan Ekonomi UNJ 2016, memaparkan pendapatnya mengenai pementasan Zookarta. Ia mengatakan kalau dari segi cerita dan penyampainnya pementasan Zookarta sudah bagus, lawakannya mudah dimengerti. Lalu, dari segi peralatan teknis juga sudah mendukung.

Namun, dari segi fasilitas untuk penonton, Abdurahman memaklumi kekurangan yang ada. Seperti AC yang kurang dingin dan bangku yang sakit ketika diduduki. Ia mengatakan hal itu wajar karena kondisi tempat teater yang sudah tua.//Uly Mega S.

 

Editor: M. Muhtar