Liberalisme pendidikan menjadi pembahasan yang selalu berulang. Saban Hari Pendidikan Nasional, sejumlah spanduk bertuliskan “Tolak Liberalisme Pendidikan” dibentangkan oleh massa aksi. Banyak yang beranggapan bahwa liberalisme pendidikan merupakan akar masalah dari mahalnya biaya pendidikan saat ini. Selain itu, perihal orientasi pendidikan pun turut terpengaruh.
Sebagai spektrum ideologi, secara sederhana, liberalisme diartikan sebagai cara hidup yang meyakini bahwa individu memiliki kebebasan, sekaligus menjadi penentu dalam hidupnya sendiri. Sukses atau tidaknya seseorang, bergantung pada pilihan-pilihan hidupnya sendiri.
Gelombang liberalisme pendidikan di Indonesia sudah dimulai sejak 1994, ketika Indonesia memutuskan untuk bergabung dengan World Trade Organization (WTO). Kemudian, Indonesia pun turut membuka sektor perdagangan jasa melalui perjanjian General Agreement on Trade and Service (GATS), yang salah satu di dalamnya adalah sektor pendidikan. Kedua hal tersebutlah yang membuat Indonesia memasuki babak baru dalam sektor pendidikan.
Teguh Triwiyanto, dalam bukunya yang berjudul Gelombang Liberalisme Pendidikan: Mengawal Tata Kelola Pendidikan untuk Rakyat, mendokumentasikan fenomena liberalisme pendidikan. Sebagai dosen administrasi pendidikan, Teguh membedah tata kelola pendidikan di tengah arus liberalisme. Pada dasarnya, ihwal pembiayaan pendidikan menjadi hal yang fundamen.
Judul Buku : Gelombang Liberalisme Pendidikan : Mengawal Tata Kelola Pendidikan untuk Rakyat
Penulis : Teguh Triwiyanto
Tebal : xxvi + 246 halaman
Tahun : 2019
Penerbit : Kompas Gramedia
ISBN : 978 – 602- 412 – 698 – 8
Arus liberalisme pendidikan membuat pembiayaan pendidikan kini tidak sepenuhnya menjadi tanggung jawab negara. Namun, pihak-pihak swasta menjadi faktor yang menopang penyelenggaraan pendidikan. Hal ini terjadi di sektor pendidikan tinggi. Ketidakmampuan anggaran negara dalam memenuhi kebutuhan pendidikan tinggi rakyatnya menjadi alasan. Sayangnya, campur tangan swasta dalam hal ini tidaklah bebas nilai. Landasan for profit menjadi yang utama.
Kesetaraan akses pendidikan sampai saat ini masih menjadi masalah. Terlebih lagi, kondisi ketimpangan ekonomi di dalam masyarakat Indonesia yang cukup tajam. Berdasarkan survei lembaga keuangan Swiss, Credit Suisse, 1 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 49,3% kekayaan nasional (hlm.8). Pendidikan yang diharapkan menjadi ruang demokratis sekaligus sarana bagi rakyat untuk melakukan mobilitas sosial, menjadi gagal.
Belum lagi, bila kita menengok data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), Potret Pendidikan Indonesia: Statistik Pendidikan Indonesia 2019, hanya 9,26% dari seluruh rakyat berusia 15 tahun ke atas yang mampu menamatkan pendidikannya sampai jenjang pendidikan tinggi. Apabila berdasarkan taraf ekonomi keluarga, hanya 1,72% dari golongan kuintil 1 yang menamatkan pendidikan tinggi.
Data di atas merupakan bukti nyata bahwa hingga saat ini, ketimpangan akses pendidikan menjadi salah satu permasalahan utama yang harus segera dituntaskan. Sebenarnya, tidak hanya ketimpangan berdasarkan taraf ekonomi, ketimpangan antara desa dan kota juga harus menjadi perhatian.
Jika pemerintah masih menafikan pengaruh-pengaruh liberalisme pendidikan dalam perspektif ekonomi, mari kita pertanyakan, bagaimana posisi Indonesia di tengah arus liberalisme pendidikan?
Arus liberalisme pendidikan telah membangun suatu sistem perdagangan jasa pendidikan tanpa batas. Tentu saja, persaingan antarnegara dalam merebut konsumen menjadi konsekuensinya. Sektor industri serta inovasi di bidang teknologi menjadi perbincangan yang sedang ramai di kancah internasional. Oleh karena itu, pemerintah menggenjot produksi riset di bidang industri melalui program hilirisasi penelitian.
Kebutuhan terhadap kompetisi mengejar pemeringkatan pun terjadi. Berbondong-bondong, perguruan tinggi mengemban visi untuk menjadi universitas yang bereputasi internasional. Ungkapan world class university menjadi slogan yang lumrah digunakan.
Pepatah “bagaikan mimpi di siang bolong” rasanya cocok untuk kondisi-kondisi tersebut. Alasannya, di dalam struktur hirarki global, Indonesia sebagai negara dunia ketiga selalu menjadi konsumen untuk negara-negara maju.
Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi komunikasi menjadi salah satu faktor. Terpusatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan inovasi teknologi di negara-negara maju yang memiliki basis ekonomi relatif kuat, memengaruhi kondisi di negara-negara berkembang. Karena, untuk mencapai peringkat internasional, mau tidak mau harus juga bersaing di bidang yang sudah dikuasai oleh negara-negara maju tersebut.
Pengelolaan keuangan perguruan tinggi pun turut menyesuaikan dengan kondisi-kondisi demikian. Pembiayaan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan biaya yang tidak murah. Sedangkan negara pun tidak mampu untuk membiayai hal tersebut. Sehingga untuk membiayainya, universitas membutuhkan alokasi pendanaan di luar biaya operasional dari negara.
Pada kondisi inilah, melalui UU PT No. 12 tahun 2012, pemerintah mengelompokan universitas atau perguruan tinggi negeri menjadi tiga; PTN Badan Hukum (BH), PTN Badan Layanan Umum (BLU), dan PTN Satuan Kerja (Satker). Perbedaan utama adalah perihal pengelolaan keuangan universitas. PTN BH memiliki keleluasaan “lebih” dalam mengelola universitas, baik dari segi keuangan maupun akademik.
Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) mendorong kampus-kampus untuk mencapai PTN BH. Hal itu termaktub dalam kebijakan Kampus Merdeka yang diusung. Tujuannya, kampus mampu otonom serta tidak bergantung pada alokasi anggaran yang dikeluarkan oleh pemerintah. Kampus diharapkan mampu membuka badan usaha untuk menopang pendanaan operasional dan pengembangan universitas.
Sayangnya, kenyataan bahwa biaya kuliah yang semakin tinggi tidak dapat ditampik. Dalam upaya mengejar pemeringkatan tadi, biaya yang dikeluarkan tentu tidak sedikit, sementara ketika kampus menjadi PTN BH alokasi anggaran dari pemerintah diperkecil. Hal itu yang akhirnya membuat universitas-universitas mematok harga tinggi untuk kualitas pendidikan.
Agaknya, pandangan bahwa pendidikan sebagai sarana reproduksi sosial masih relevan dengan data-data di atas sebagai pendukung. Perjuangan-perjuangan dalam menolak liberalisme pendidikan, serta kapitalisme pendidikan sebagai konsekuensinya membutuhkan nafas panjang. Tidak cukup hanya dengan aksi saban Hardiknas.
Buku yang ditulis Teguh Triwiyatno ini menyajikan pembaruan-pembaruan perihal tata kelola institusi pendidikan di tengah arus liberalisasi pendidikan. Penelitian-penelitian terkini menjadi data pendukung sekaligus kelebihan dari buku ini. Sayangnya, Teguh Triwiyatno pada pembahasan perihal pendidikan tinggi tidak terlalu mendalam. Secara menyeluruh, buku ini sangat layak dibaca oleh para aktivis pendidikan untuk memperkuat perspektif tentang liberalisme pendidikan.
Penulis : Ahmad Qori
Editor : Hastomo Dwi