Pencari suaka di Kalideres sulit untuk menjalani hidup karena tidak terpenuhinya kebutuhan dasar. Selain itu, pendanaan dari organisasi resmi yang menaungi mereka pun tidak mencukupi. Mereka hanya bisa pasrah menerima keadaan.

Matahari menghampar terik di Kalideres yang lenggang pada Sabtu pagi. Sinarnya menghantam gedung dua lantai kusam bekas markas militer yang diisi oleh perkumpulan orang dewasa dan anak-anak. 

Sudah tiga tahun mereka tinggal di bangunan pengungsian. Dengan tabah, menjalani hidup di lorong gelap yang berisikan tenda-tenda pengap, atap bocor, dan dinding lembab. Selain itu, terlihat semacam sekat ruangan dari plastik seadanya guna memisahkan tiap ruangan gedung.

Hassan Rateq, seorang Afghanistan 44 tahun, menceritakan pengalamannya selama tinggal di gedung pengungsian. Dengan menggebu-gebu, ia menjelaskan langkanya kebutuhan dasar seperti listrik. 

“Listrik di sini tidak mencukupi untuk menyalakan lampu, alhasil gedung gelap”, kata Hassan sembari menunjuk langit-langit yang sebagiannya bolong terhantam hujan.

Selain menjadi musabab gelapnya gedung, dampak kurangnya pasokan listrik juga berpengaruh di sektor air. Sebagai contoh, pompa air listrik di kamar mandi umum sewaktu-waktu dapat mati. Padahal, warga hanya bisa mengandalkan air lewat pompa tersebut untuk keperluan bersih-bersihnya. 

Iklan

Meski sudah terdesak soal kebutuhan listrik dan air, Hassan mengatakan bahwa pemerintah tidak pernah turun membantu lagi. Terakhir, bantuan didapat pada 29 Agustus 2019. “Mereka memberikan bantuan air, listrik, dan beberapa kebutuhan lainnya selama 41 hari, dari bulan Juli hingga Agustus,” ujar Hassan.

Terlihat tenda pengungsian yang berada di dalam gedung
Terlihat tenda-tenda pencari suaka yang berada di dalam gedung Eks Kodim Kalideres

Karena tak ada bantuan pemerintah, mereka bertahan dengan mengandalkan sumbangan dari organisasi-organisasi filantropi non-pemerintahan. Sesekali, mereka datang berkunjung dan membelikan token listrik sebesar 200 ribu hingga 1 juta rupiah. Biasanya, listrik dapat bertahan dua minggu sampai sebulan.

Terlepas dari peranan pemerintah, hak dasar pengungsi diatur oleh United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) melalui lembaga-lembaganya, seperti Church World Service (CWS) menangani kesehatan para pengungsi, dan Catholic Relief Service (CRS) menangani permasalahan finansial.

Sayangnya, masing-masing lembaga tidak sepenuhnya bekerja sesuai fungsinya. Dari 114 pengungsi, hanya 5 orang mendapat bantuan dana bulanan dari CRS sebesar 1,3 juta rupiah perbulan. Tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Sebagai contoh, Hassan bercerita, terdapat seorang wanita yang datang ke Indonesia dan melahirkan di rumah sakit pada 2019 lalu. Sayangnya pihak rumah sakit “menahan” si bayi dari ibunya lantaran tak ada biaya untuk membayar rumah sakit. 

Contoh kedua, tiada lagi medical check-up. CWS yang bertanggung jawab atas hal tersebut berhenti sepenuhnya atas program-program kesehatan sejak 2019 lalu. Kalau sakit, para pengungsi hanya bisa datang ke Puskesmas terdekat untuk membeli obat-obatan generik dengan uang mereka sendiri.

Baca juga: Mengintip Warna Baru Kampung Gembira Gembrong

Terjebaknya Para Pencari Suaka di Indonesia

Keputusan tidak menandatangani Konvensi Pengungsi 1951 menjadikan Indonesia tidak dapat menerima pengungsi. Sejatinya, para pengungsi hanya menumpang sementara di Indonesia untuk menunggu dipindahkan ke Australia. Sebab, Australia merupakan salah satu negara yang menandatangi Konvensi 1951 maupun 1967, di mana Australia wajib melindungi para pengungsi di wilayahnya dan menjamin hak asasi para pengungsi. 

Namun, Australia mulai melarang para pengungsi untuk mendaratkan kapal-kapal karet di tiap pantai. Hal ini disebabkan karena Australia mengadakan perjanjian dengan negara-negara Asia yang menampung. Hasilnya, para pengungsi harus mengikuti peraturan untuk dimukimkan secara legal dan teratur.

Iklan

Bagai sekoci tanpa kompas, ratusan pengungsi hidup tanpa arah yang jelas. Tak dapat berlanjut ke Australia maupun pulang ke tempat asalnya. Para pengungsi juga tidak diakui kedaulatannya oleh Indonesia. Alhasil, pengungsi hanya bisa pasrah menerima pengaruh statusnya, yakni tidak memiliki untuk kewenangan berkegiatan. Mereka tidak dapat bekerja dan anak-anak mereka tidak dapat menempuh pendidikan layak karena tidak boleh masuk sekolah.  

Selain itu, Hassan juga memiliki dugaan bahwa penundaan kepergian mereka ke Australia memiliki penyebab. “Jika para pengungsi pindah, pendapatan dana 13 juta dollar untuk UNHCR, 40 juta dollar untuk IOM, dan 16 juta dollar untuk Indonesia tidak akan di dapatkan. Namun, uang sebanyak ini tak pernah sampai ke para pengungsi.”

Kendati demikian dari apa yang Hassan katakan, masih ada hal-hal yang mengganjal di hati. Pengungsi hanya berharap ditegakkannya keadilan bagi mereka, dipenuhinya hak-hak dasar, serta pendidikan anak-anak.

 

Penulis : M. Waliduddin Salim

Editor : Arrneto Bayliss