Dalam diskusi oleh Asumsi dengan judul “Komodifikasi anak muda dalam politik”,  Arief Budiman, ketua Komisi Pemilihan Umum, menyebutkan anak muda harus berpartisipasi dalam kegiatan Pemilihan Kepala Daerah pada Desember 2020. Menghadapi pandemi covid-19, calon pemilih tidak perlu takut dalam pemenuhan hak politik, ucap Budiman.

Setelah Budiman, Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah yang jadi panelis dalam diskusi tersebut, saat ditanyai mengenai komodifikasi politik anak muda ia menyebutkan koordinasi dirinya dengan anak muda. Sehingga, menurutnya, keterlibatan anak muda melampaui penyumbang suara. Dia mencontohkan beberapa agenda yang menjadikan anak muda sebagai agen politiknya. “Anak muda masih harus aktif dan tidak boleh manja,” ucap Ganjar.

Padahal realitanya keterlibatan anak muda dalam politik, selain pilkada masih terbatas. Yoes Kenawas, peneliti politik, mencontohkan anak muda harus menghadapi tantangan yang sama besarnya. “Anak muda menghadapi dua krisis. Ekonomi global dan saat ini pandemi,” ucap Yoes. Walaupun menghadapi masalah itu, menurut Yoes, masih bisa ada jalan untuk mempengaruhi kebijakan publik. Dia mencontohkan, peran anak muda dalam penolakan UU Ciptaker.

Beberapa demonstrasi pun, masalah-masalah yang dihadapi langsung oleh pemuda tidak jarang disuarakan.

Said Muhammad, pelajar kelas tiga SMK, yang juga merupakan salah seorang massa aksi yang terlibat dalam aksi peringatan hari pelajar sedunia. Aksi tersebut diadakan oleh aliansi gerakan buruh bersama rakyat (GEBRAK) yang sebelumnya melakukan konvoi dari gedung Dewan Perwakilan Rakyat, Senayan.  

Saat namanya dipanggil, ia lantas menaiki tangga mobil komando. Diatasnya dia melakukan orasi memperingati hari pelajar sedunia. Ia mengaku gugup saat berorasi karena itu pengalaman pertama kalinya.  

Iklan

Said menyerukan bahwa keterlibatan pelajar dalam demonstrasi adalah bentuk sumbangsih terhadap indonesia. “Pelajar harus menjadi penyeimbang dan oposisi di demokrasi” ujarnya.  

Sejalan dengan Said, Sentia, koordinator lapangan Federasi Pelajar menyebutkan alasan keterlibatan pelajar adalah kesadaran akan hak berpolitik.  Menurutnya hak politik juga beriringan dengan jaminan rasa aman dari intimidasi ataupun represi. “SKCK yang diancam, kita selalu dianggap tidak tahu apa-apa, atau bahkan pembatasan akses terhadap bantuan hukum” ungkapnya. Sementara sekolah juga aktif melarang siswanya untuk terlibat dalam demonstrasi. Dia menambahkan, keterlibatan anak muda dalam politik tidak dapat hanya diukur dari keterlibatan di ajang pemilihan kepala daerah semata.

Saat ditanya mengenai masalah keseharian pelajar ia menyebutkan, salah satunya, pembelajaran jarak jauh yang tidak efektif dan ruang demokrasi di sekolah. Ia pun menyebutkan pengesahan omnibus law cipta kerja yang mengancam masa depan pelajar.  

Afif Abdul Qoyim, koordinator Advokasi untuk Demokrasi sekaligus direktur LBH Masyarakat, sependapat dengan Sentia. “berpendapat tidak terbatas pada siapapun” ungkapnya melalui sambungan telepon. Namun, menurut Abdul, pelajar justru kerap dihadang dan ditangkap aparat. Bahkan saat turun dari kereta, tambahnya.   

Hal ini dibenarkan oleh Olil, pelajar STM, yang berkesempatan menjadi penanggap di diskusi Lokataru pada 30 Oktober 2020. Menurut dia, salah seorang kawannya dari Lebak, Banten sudah digiring menuju polsek kebayoran saat turun kereta pada aksi 8 Oktober. “Padahal dia sama sekali tidak menggunakan seragam,” ucapnya.  

Kendati demikian, Keterlibatan pelajar dalam demonstrasi bersama elemen gerakan lain disambut hangat. Dimas Pamungkas, koordinator aksi Gebrak menganggap gerakan pelajar berdasar dari keluhan terhadap liberalisasi pendidikan. Dalam omnibus law, pendidikan dianggap sebagai bidang usaha, ucapnya. “Hal ini dianggap bukan  jawaban dari masalah pelajar” ucapnya saat ditanyai mengenai pelajar.

Reporter: Faisal Bahri