Tak ada yang lebih mengkhawatirkan bagi kelanjutan nasib suatu bangsa selain terjadinya kelesuan dikalangan mahasiswanya. Mahasiswa adalah Inti dari pemuda, bagian dari masa kini dan harapan serta pemilik masa depan. Masihkah kita diam melihat manusia tumpuan harapan dan pemilik hari depan yang seharusnya bergairah, kreatif, berani namun sekarang loyo, lesu darah, kepekaan terhadap masyarakatnya tipis, kepeduliannya terhadap negaranya tipis. Adakah yang lebih mengkhawatirkan dari kenyataan ini?
Kelesuan mahasiswa dengan segala dampaknya sangat ramai dibicarakan di tahun 1987 terutama setelah Prof. Dr. Mukti Ali “menjual” usulnya agar Dewan Mahasiswa dihidupkan kembali yang kemudian bagai gayung bersambut ramailah pembicaraan tentang sosok yang diharapkan menjadi pemimpin-pemimpin bangsa itu.
Peran kemasyarakatan mahasiswa pantas diprihatinkan dan yang lebih penting adalah mencari bentuk terapinya sehingga mahasiswa dapat kembali memainkan perannya.
Untuk menunjuk satu per satu bukti keprihatinan terhadap kiprah kemasyarakatan mahasiswa mungkin satu majalah ini tidak cukup. Namun beberapa contoh berikut kiranya dapat menjadi bahan renungan, khususnya di kampus kita. Hilangnya FODIM dari kelembagaan di IKIP, kreativitas mahasiswa yang cenderung hura-hura, makin menurunnya jumlah peserta KKN (walau sudah diganti menjadi Kuliah Kerja Nyaman), mahasiswa cenderung mementingkan dirinya sendiri, mencontek menjadi hal yang lumrah, terputusnya kampus dengan masyarakat sehingga mahasiswa tak dapat berbuat apa-apa untuk membelanya. Itu hanya sebagian yang menunjukkan bahwa mahasiswa sekarang LOYO.
Baca juga: https://lpmdidaktika.com/wawancara-imajiner-dengan-marsinah/
Baca juga: https://lpmdidaktika.com/struktur-ekonomi-kita-pincang/
Keterkulaian mahasiswa di tengah gencarnya pembangunan ini tentu ada sebabnya. Suatu hal yang klise apabila tudingan langsung ditujukan kepada kebijakan-kebijakan setelah peristiwa Malari yakni pertama: SK 028 yang melarang mahasiswa melakukan kegiatan politik di luar kampus dengan mengatasnamakan kampus atau universitasnya; Kedua: NKK/BKK dengan pembubaran Dewan Mahasiswa, dari sini persatuan mahasiswa yang biasanya terkoordinasi lewat Dewan Mahasiswa mulai rapuh; Ketiga: SKS dengan sistem ini mahasiswa dipacu cepat selesai-cepat keluar atau kalau tidak malahan dikeluarkan (DO), SKS menggiring mahasiswa menerapkan pola kuliah 4DP atau Datang, Duduk, Dengar, Diam dan Pulang; Keempat: Pengurangan dana kemahasiswaan, walau tidak telak tetapi terasa juga akibat kelajakan ini.
Loyonya mahasiswa menyebabkan seolah-olah Indonesia ini tidak mempunyai mahasiswa, yang ada hanyalah siswa-siswa Universitas, Institut atau akademi sebagai lanjutan dari SMTA, sungguh mereka tidak pantas menyandang predikat mahasiswa yang hakikatnya berbeda dengan siswa.
Tahun 1987 merupakan tahun prihatin, namun di kelam keprihatinan toh titik- titik menuju kebangkitan telah nampak. Titik-titik kecerahan itu antara lain terobosan yang dilakukan mahasiswa melalui menjamurnya Kelompok-kelompok Studi atau Diskusi, Lembaga Swadaya Masyarakat dan berbagai kelompok pengabdi masyarakat, mereka semua bergerak di luar kelembagaan kampus. Sungguh ini adalah pertanda bahwa mahasiswa (walau jumlahnya kecil) masih merasa punya tanggung-jawab terhadap bangsa dan negaranya. Kecerahan berikutnya adalah bangkitnya gerakan-gerakan (walau sporadis dan lokal) misalnya mahasiswa UKI, (Jakarta), Nomensen (Medan), dan mahasiswa Unas Jakarta dalam menentang kebijakan rektornya. Terakhir keberanian rekan-rekan mahasiswa di Ujung Pandang. Terlepas dari apa yang mereka perjuangkan, setidaknya ada petunjuk bahwa mahasiswa Indonesia telah bangun dari tidurnya. Esok mereka akan tegap dan tegar dalam menatap masyarakatnya, mereka akan berani mengatakan TIDAK jika hati nuraninya menolak.
1988 telah kita hirup udaranya, pengalaman tahun lalu telah kita pahami. Di depan kita seribu tantangan menghadang, akankah kita berpangku tangan ? Akankah kita mundur di tahun 1988 ini ? Mereka yang tahun ini lebih baik dari tahun kemarin adalah Mahasiswa terpuji, mereka yang tahun ini sama dengan tahun kemarin adalah mahasiswa terugi, mereka yang tahun ini lebih buruk dari tahun kemarin adalah mahasiswa terkutuk. Semoga kita bukan termasuk golongan mahasiswa terkutuk. Selamat memasuki tahun kebangkitan dan harapan. Selamat tahun baru 1988. (REDAKSI).
*Editorial LPM Didaktika 1988