“Sembilan puluh persen karya tulis ilmiah tentang Indonesia yang dipublikasikan di luar negeri justru ditulis disusun oleh mereka yang tinggal di luar Indonesia, yang sebagian besar tentunya adalah orang asing atau orang Indonesia yang sudah lama bermukim di luar negeri dan menjadi WNA,” tulis Peter Carey, dalam artikelnya yang berjudul “The Struggle of Man against Power, is the Struggle of Memory against Forgetting.”
Peter Carey, dalam artikelnya juga menjelaskan bahwa keadaan tersebut akan mengkhawatirkan bagi Indonesia. Sebab, Indonesia bisa saja menjadi kapal yang berlayar tanpa kompas karena ketidaktahuannya akan sejarah. Dalam tulisannya, Peter Carey juga menyinggung keberhasilan Jerman yang berhasil membangun kembali setelah hancur pada masa Perang Dunia ke II.
Artikel Peter Carey juga menyinggung pemanfaatan sejarah dalan perjuangan bangsa Indinesia. Hal itu dicontohkan oleh Sutan Syahrir dalam pidatonya di Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), membahas “The Indonesia Question (Masalah Indonesia)” di Amerika Serikat. Ia membantah argumen Mr. A.G.H. Lovink, Komisaris Tinggi Kerajaan Belanda yang mengatakan bahwa Indonesia hadir karena adanya roh atau jiwa negara koloni Hindia Belanda. Menurut Syahrir, Indonesia sudah ada sejak Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Majapahit.
“Pada saat itu, Syahrir memanfaatkan literatur sejarah,” ucap Luqman Hakim, seorang pengajar Sejarah dan moderator dalam diskusi publik bertema “Sejarah Pemikiran Politik Indonesia yang Hilang”. Diskusi tersebut diadakan oleh Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Didaktika, Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI) Jakarta, dan Solidaritas Pemoeda Rawamangun (SPORA), pada Rabu (14/8).
Di tengah pentingnya sejarah untuk masa depan bangsa, Indonesia malah menghilangkan bagian-bagian dari sejarah itu sendiri. Andi Achdian, Dosen Universitas Nasional dan anggota Masyarakat Sejarah Indonesia (MSI) pun turut mengomentari sejarah pemikiran politik di Indonesia. Ia mencontohkannya dengan salah satu buku, berjudul “Indonesian Political Thinking 1945-1965” karya Herbert Feith dan Lance Castles. Karya tersebut setebal 524 halaman dalam versi Bahasa Inggris. Menariknya, ketika diterjemahkan, karya tersebut menipis menjadi 306 halaman saja.
“Bukan hilang, tetapi dihilangkan. Sebab, bagian itu dengan sengaja dihilangkan, bukan hilang dengan sendirinya,” ungkap Andi. Hal itu, menurut Andi, tidak terlepas dari konteks zaman era 1980-1990an. Saat itu, terjadi gejala phobia terhadap paham-paham marxisme, sehingga dihilangkan dari pembahasan pemikiran politik Indonesia.
Padahal, pemikiran yang muncul dari para Founding Fathers tidak terlepas dari paham-paham marxisme. Andi Achdian mencontohkan karya H.O.S Tjokroaminto, “Islam dan Sosialisme” dan karya Ir. Soekarno yang berjudul “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme”. “Karya-karya tersebut menandakan, adanya hubungan antara marxisme dengan pemikiran politik dan gerakan rakyat pada dekade 20an,” ucap Andi Achdian dalam mimbar diskusi.
Lebih lanjut, Andi menyimpulkan bahwa saat ini, dibandingkan dengan era 1920an mengalami kemunduran. Sambil menampilkan foto razia buku, Andi mengatakan bahwa kejadian tersebut menjadi tanda bahwa kita tidak paham akan bangsanya.
Senada dengan Andi Achdian, Satriono Priyo Utomo, penulis buku “Politik Dipa Nusantara” pun menganggap kejadian pembredelan buku yang terjadi adalah hal lucu. Karena buku-buku pemikiran yang dirampas adalah buku yang dibaca oleh para pendiri bangsa. Hal tersebut, menurut Satrio sebagai ketidakpahaman masyarakat Indonesia akan sejarahnya.
Satrio menyatakan, kita harus belajar dari tokoh-tokoh politik Indonesia pada era 1945-1965. Contohnya, Semaun di umur sembilan belas tahun telah menjadi pimpinan serikat buruh dan Soekarno telah banyak menulis pada umur puluhan tahun. “D.N Aidit menjadi sosok anak muda yang total mengabdikan dirinya pada politik,” ucap alumni magister sejarah Univesitas Indonesia (UI) ini.
Maka dari itu, Herbert Feith dan Lance Castles menyejajarkan D.N Aidit dengan pemikir politik Indonesia yang lain, seperti Muhammad Natsir, Soekarno, dan sebagainya. Satrio mengungkapkan, “mau tidak mau kita harus memahami keberadaan D.N Aidit pada era 1945-1965.”
D.N Aidit bukanlah mahasiswa, tetapi ia mampu memimpin satu partai yang hampir tidak bisa dilakukan oleh partai saat ini. Jiwa kepemimpinan. Keadaan empiris yang ada di Belitung, membuat D.N Aidit memiliki disiplin religius yang ketat dalam belajar agama dan pembaca yang serius.
Merefleksikan perpolitikan di Indonesia pada 1945-1965, Satrio mengatakan, saat itu terjadi dialektika dan dinamika antarpartai politik. Bahkan, tidak ada gimik yang berlebihan, dan berlangsung sangat serius. Tidak ada kelompok dominan yang menguasai perpolitikan Indonesia. Masing-masing kelompok terlibat dalam perdebatan ide tentang Indonesia. PKI dengan gagasan kerakyatannya, Masyumi dengan gagasan keislaman, dan PNI menonjolkan nasionalismenya. “Politik saat itu hidup,” tegasnya.
Era 1945-1965, masing-masing partai politik menyebarkan gagasan melalui surat kabar yang dimiliki. Perdebatan dalam surat kabar pun menjadi dialektis. PKI dengan Harian Rakyat, Masyumi dengan Abadi, dan PSI dengan Pedoman. Disamping melalui surat kabar, masing-masing partai juga membangun sekolah-sekolah, seperti PKI membangun Universitas Rakyat yang hadir di pelosok-pelosok desa untuk memberantas buta huruf.
Berbeda dengan situasi perpolitikan Indonesia saat ini. Wacana politik diruntuhkan oleh oligarki politik yang ada. Perpolitikan, kini hanya selesai pada jual beli suara dan pembagian kursi jabatan. Bahkan, sama sekali tidak menawarkan gagasan-gagasan tentang Indonesia. “Perpolitikan saat ini terkesan cair,” pungkas Satrio.
Penulis: Ahmad Qori H.
Reporter: Ahmad Qori H.
Editor: Uly Mega S.