Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) menyelenggarakan Diskusi Online dengan tema ‘’Jurnalis Merdeka Dari Pembungkaman: Fakta atau Mitos?“. Dalam diskusi tersebut, terungkap fakta bahwa aparat kepolisian menjadi institusi yang paling sering menjadi pelaku kekerasan terhadap jurnalis.

Diskusi yang digelar pada Kamis (19/09/21), pukul 13.00 WIB itu dibuat sebagai refleksi ruang aman bagi jurnalis, dan bertepatan dengan Hari Kemerdekaan Indonesia ke-76. Diskusi tersebut dihadiri oleh perwakilan Dewan Pers, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Komisi III DPR RI, dan peneliti dari Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH PERS). Hanya saja pihak Mabes Polri tidak dapat menghadiri diskusi itu.

Dalam diskusi tersebut, Arif Zulkifli dari Dewan Pers menyapaikan bahwa kekerasan terhadap wartawan berbeda dengan pembungkaman. Oleh karena itu, menurutnya dua hal itu masuk ke dalam dua ranah yang berbeda. Ia menyampaikan bahwa sebenarnya kebebasan pers di Indonesia terjadi 23 tahun saja, hitungan dari sejak reformasi dilakukan. Sebelum itu Arif menyampaikan ‘’Tidak ada yang namanya kebebasan pers.’’

Selain itu, Ia menyatakan terdapat 4 hal yang menjadi tantangan bagi kebebasan pers. Pertama, praktek autocratic legalism. Kedua, residu politik electoral. Ketiga, model bisnis media. Dan keempat, Praktek jurnalisme baru (online).

Arif setuju dengan beberapa ahli yang mengatakan bahwa pemerintahan sekarang cenderung mengarah kepada bentuk autocratic legalism, seperti China, Venezuela, dan Turki, Autocratic legalism disebut juga sebagai bentuk autokratik yang memang dibuat legal, seperti yang terjadi pada UU ITE, ataupun Omnibus Law. Arif melihat bahwa aturan baru itu lanjut begitu saja. ‘’Karena pemerintah sudah melakukan konsolidasi,’’ ujarnya.

Dalam tubuh media itu sendiri, Arif menyatakan bahwa Dewan Pers menerima 600-700 laporan pertahun dari warga sipil. Lalu 90 persen hingga 95 persen diantaranya berkaitan dengan praktik jurnalistik. Ia mencontohkan praktik jurnalistik yang tidak cover both side dan verifikasi, serta penggunaan judul dan kalimat-kalimat yang menghakimi.  ‘’Intinya terdapat praktek jurnalisme yang mencederai kode etik,’’ ucapnya.

Iklan

Terakhir, ia menyampaikan harus dilakukan perbaikan portal media online. Pola media yang hanya mencari traffic, dan hanya terfokus terhadap kuantitas tulisan. Hal tersebut harus secara serius diperbaiki. Arif juga berpesan bahwa kebebasan pers ini adalah proyek seumur hidup. Tidak hanya untuk saat ini, tapi juga harus berkelanjutan.

Senada dengan Arif, Sasmito, Ketua AJI Indonesia mengatakan bahwa ia menumukan pola pratik jurnalisme dari orde lama, orde baru, hingga reformasi. Awalnya, pemerintah selalu memberikan angin segar terhadap komunitas pers, biasanya itu terjadi karena konsolidasi pemerintahan masih lemah. Akan tetapi, tetap juga terjadi pembungkaman pers. Seperti tahun ’94, saat Tempo, Detik, dan Editor dicabut Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) tanpa alasan yang mendasar.

Sasmito juga menjelaskan, berdasarkan data AJI, kekerasan terhadap jurnalis dari tahun ke tahun, kian meningkat. Seperti halnya yang terjadi pada 2020, dimana tercatat ada 84 kasus kekerasan terhadap jurnalis.

Bahkan, jumlah itu bisa meningkat di tahun 2021. Ia menjelaskan jika menghitung dari Mei 2020 hingga Mei 2021, sudah ada 90 kasus kekerasan yang terkait pemberitaan oleh wartawan. Selain itu pada Mei 2021, jenis kekerasan yang terjadi lebih banyak pada bentuk intimidasi lisan, kemudian perusakan alat, dan hasil liputan.

Sasmito melanjutkan, kasus kekerasan terhadap jurnalis acap kali terjadi saat jurnalis tengah melakukan peliputan aksi demonstrasi.  Seperti saat aksi menolak UU KPK dan Omnibus Law. Masih dalam periode yang sama, catatan dari AJI bahwa 64 persen pelaku kekerasan adalah pihak kepolisian.

Hal ini menjadi gambaran bahwa aparat kepolisian ternyata menjadi pelaku kekerasan dalam setahun terakhir ini. Ia menambahkan, dari hal tersebut diperlukan evaluasi dan strategi seperti apa yang harus dilakukan. ‘’Ironinya, pelakunya sebagain besar adalah polisi,’’ pungkas Sasmito.

Senada dengan Sasmito, Mona Ervita peneliti dari LBH Pers menyatakan bahwa aparat kepolisian menjadi pelaku terbanyak dalam kasus kekerasan terhadap pada jurnalis. Dari data yang ditampilkan Mona, 76 dari 118 latar belakang pelaku itu adalah aparat kepolisian. Selain itu, sama seperti data AJI bahwa intimidasi atau kekerasan verbal yang paling banyak jumlahnya.

Taufik Basari dari Komisi III DPR RI, mengatakan bahwa kekerasan dalam bentuk pembungkaman, itu dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana. Maka dari itu harus ada peringatan kepada penegak hukum.

Ia menyampaikan dua kesadaran hal yang harus dimilki aparat penegak hukum. Pertama, bahwa mereka adalah alat negara yang harus menjaga dan menjamin nilai-nilai demokrasi. Kedua, mereka harus sadar akan hak kontitusional wartawan atau warga sipil perihal mendapatkan informasi dan mengetahui informasi. Kedua itu harus ada, agar tidak menghambat kerja jurnalis itu sendiri, ataupun informasi yang harus dimilki publik.

Iklan

“Dalam dua konteks itulah saya berharap ada kesadaran yang penuh yang dimilki oleh aparat penegak hukum,’’ ujar Taufik.

 

Penulis: Ihsan Dwirahman

Editor: Hastomo Dwi