Kehadiran UU ITE dinilai telah membelenggu kebebasan pers, dan memperparah iklim kebebasan pers di Indonesia.
Institut Bisnis Nusantara mengadakan seminar daring yang bertajuk “Benarkah UU ITE Hambat Kebebasan Pers?”, Rabu (27/10/2021). Diskusi tersebut menghadirkan Irwan Setyawan, mantan redaktur Jawa Pos yang sudah malang melintang di berbagai media, baik koran maupun televisi.
Dalam webinar Hukum dan Etika Penyiaran itu, Irwan memaparkan bahwa setidaknya terdapat 4 pasal yang berpotensi, atau bahkan sudah menghambat kebebasn berekspresi. Diantaranya adalah pasal 26 ayat 3, 27 ayat 3, 45 ayat 3 dan pasal 40 ayat 2b.
Misal pada pasal 26 ayat 3 UU ITE yang berbunyi “Setiap penyelenggara sistem elektronik wajib menghapus informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan orang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan.”
Irwan Setyawan mempermasalahkan perihal bagian “informasi tidak relevan”, baginya kata tersebut sangat ambigu dan tidak jelas rumusannya. UU tersebut berpotensi digunakan sebagai dasar penghapusan informasi tanpa harus sengketa pers atau mekanisme UU Pers.
“Bisa juga digunakan sebagai tameng bagi berita dugaan tindak pidana oleh pejabat publik, karena belum dianggap bersalah,” ujarnya.
Selanjutnya, pasal yang juga problematik adalah pasal 27 ayat 3 yang berisi tentang penghinaan dan pencemaran nama baik dalam media elektronik. Jika sebelum UU ITE sudah ada pasal mengenai pencemaran nama baik, namun dengan adanya UU ITE semakin mempermudah penjeratan terhadap wartawan.
“Sebelum ada UU ITE pun wartawan sudah sering terancam penjeratan, sekarang dengan adanya UU ITE hal tersebut menjadi semakin mudah,” ucapnya.
Undang-undang tersebut juga berpotensi mengalami ketegangan dengan UU Pers, misal di pasal 26 ayat 3 tentang penghapusan informasi elektronik menjadi bertentangan dengan UU Pers tentang keterbukaan informasi publik.
Dalam praktiknya, UU ITE juga sudah menelan korban dari pihak wartawan. Seperti wartawan Mediarealitas.com setelah menulis tentang dugaan penyalahgunaan wewenang. Dirinya divonis 1 tahun penjara setelah dinyatakan bersalah menurut UU ITE pasal 27 ayat 3.
Selain itu, media yang pernah menaungi Irwan Setyawan, yaitu Jawa Pos juga pernah mengalami kasus serupa. Saat itu, Jawa Pos melakukan investigasi dugaan match fixing pertandingan Persebaya melawan Kalteng Putra pada 7 Januari 2017. Manajemen Persebaya yang tidak terima, melaporkannya dengan pasal 27 ayat 3 UU ITE, karena dianggap melakukan fitnah dan pencemaran nama baik.
Dalam beberapa kasus di atas, Irwan menyayangkan majelis hakim tidak mempertimbangkan sengketa pers dan UU Pers. Merujuk pada undang-undang, sengketa pers diatur oleh UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, di mana masyarakat yang keberatan dengan pemberitaan dapat mengajukan hak jawab dan koreksi kepada redaksi atau mengadu ke dewan pers jika masih merasa tak puas.
“Sengketa pers itu harusnya diselesaikan di dewan pers, bukan di penjara. Saya rasa ini yang perlu dipertegas,” pungkasnya.
Penulis : Izam Komaruzaman
Editor : Hastomo Dwi P.