Beberapa waktu yang lalu, Livi Zheng, sutradara film “Bali: Beats of Paradise” sukses menipu masyarakat Indonesia dengan pemberitaannya yang bombastis mengenai karyanya yang ‘pertama kali menembus Hollywood’. Ia mengklaim karyanya masuk dalam nominasi Academy Award, sebuah penghargaan termasyhur dalam dunia perfilman.
Masuk nominasi? Apakah benar? Jelas tidak, filmnya lolos seleksi secara administratif saja. Dengan bangganya ia berkata dalam acara Q&A with Andini Effendi, karyanya bersanding dengan Avengers: Infinity War. Dengan bangganya, ia bersyukur menjadi adik tingkat dari sutradara film Star Wars semasa kuliah. Logikanya, Avengers itu film action, sementara karya Livi Zheng itu film documentary. Dua hal yang berbeda tidak cocok untuk disandingkan.
Disini saya berusaha untuk tidak membahas bagaimana Livi mendapatkan atensi dari pemerintah, yang ditonjolkan di filmnya selama 15 menit dan bagaimana latar keluarga Livi yang mafia itu. Saya berusaha melihat bagaimana Livi ini terkena sindrom inferiority complex.
Inferiority Complex adalah Penyakit Akut
“Wah, Egy Maulana Vikri bersama Lechia Gdansk jadi pemain Indonesia pertama yang masuk skuad di kompetisi Europa League. Bangga saya jadi orang Indonesia.”
“Wah, Rich Brian bisa nyanyi bareng sama penyanyi terkenal di Amerika Serikat. Bangga saya jadi orang Indonesia.”
“Wah, gamelan jadi instrumen dalam film Avatar lho. Bangga saya jadi orang Indonesia.”
“Wah, Atta Halilintar jadi youtuber nomor satu di Asia. Bangga saya jadi orang Indonesia.”
Beberapa pernyataan ini menunjukkan sindrom dari inferiority complex yang menjangkiti masyarakat Indonesia. Mereka begitu mudahnya bangga terhadap pencapaian orang dari negeri asalnya.
Inferiority complex adalah sebuah konsep yang dicetuskan oleh Alfred Adler, seorang psikiater asal Austria dalam bukunya “Study of Organ Inferiority and Its Physical Compensation (1907)”. Ia menjelaskan bahwa inferiority complex adalah sebuah kondisi psikologis, ketika suatu pihak merasa inferior/lebih rendah dibanding pihak lain, atau ketika suatu pihak merasa tidak sanggup untuk mencapai standar sistem. Kondisi kejiwaan ini membuat biasanya berujung kepada pemujaan secara berlebihan atas suatu pencapaian atau tendensi untuk mencapai apresiasi dari suatu pihak.
Jika melihat motivasi dari Livi dalam membuat filmnya, Livi malah menonjolkan inferiority complex dalam karyanya. Livi menjelaskan film secara detail ketika berada di acara Q&A with Andini Effendi. Ia menyatakan stereotip bahwa orang-orang Amerika Serikat tidak mengenal gamelan yang asli Indonesia. Padahal, belum tentu pernyataan Livi seperti itu sesuai di negara tersebut.
Kemudian, film Livi bukan digunakan sebagai momentum promosi gamelan ke masyarakat dunia. Malah, Livi memanfaatkannya dengan promosi dirinya lewat film. Sepanjang film, ia terus muncul dan membuat kebingungan dalam film. Mengapa ada Livi ketika film ini menjelaskan bagaimana usaha Nyoman Wenten dan Judith Hill dalam mempromosikan gamelan? Logikanya, sutradara harusnya berdiri di belakang layar.
Livi terkena sindrom inferiority complex dan menyebarkan sindrom itu kepada masyarakat Indonesia yang mudah terkena sindrom tersebut. Sindrom ini bersanding dengan sifat narsisme.
Livi dalam acara tersebut berkali-kali menonjolkan almamaternya semasa kuliah kepada para panelis. Ia begitu bangga bisa masuk ke dalam sekolah film yang melahirkan George Lucas, padahal belum tentu yang disebut melirik karyanya. Ini menunjukkan inferioritas Livi. Ia berusaha mendompleng nama sutradara se-almamaternya, agar dirinya tidak terlihat inferior dan setara dengan pencapaiannya.
Media massa arus utama juga mengambil peran dalam membangun inferiority complex dalam masyarakat. Tanpa melakukan verifikasi terlebih dahulu, mereka menelan mentah-mentah informasi mengenai Livi dan karyanya.
Contohnya adalah ketika Livi menonjolkan pemberitaan yang positif mengenai filmnya dari media luar negeri. Jika menelisik pernyataan media tersebut, jelas kritik negatif yang diberikan terhadap film tersebut. Pernyataannya lengkapnya seperti ini: “It’s entertaining but slight-“ dari LA Times. Livi kemudian memotong ulasan tersebut menjadi hanya dua kata saja untuk kepentingan pemasaran. Kemudian, ia menjual pernyataan tersebut kepada media.
Sebagian masyarakat Indonesia begitu haus akan atensi dari negara luar. Merasa negara mereka lebih rendah pencapaiannya, mereka begitu kencang membanggakan dirinya menjadi Indonesia dalam kolom komentar di media sosial yang membawa-bawa negara tersebut. Mereka merasa ikut berkontribusi bagi negaranya.
Di mata orang-orang Indonesia (yang belum bisa berpikir kritis), prestasi seperti Livi Zheng luar biasa dan bagi mereka ini membawa pencapaian yang bagus di negara lain. Padahal, sebelum Livi banyak karya film yang berbicara banyak di internasional.
Sebagai contoh saya mengambil film karya Garin Nugroho yang berjudul “Bulan Tertusuk Ilalang”. Karyanya mendapat sambutan hangat dari dunia internasional. Garin tidak perlu menggembar-gemborkan bahwa karyanya “menembus Hollywood”, karena karyanya pernah memenangkan FIPRESCI Prize Forum of New Cinema pada Berlin International Film Festival (1996). “Bulan Tertusuk Ilalang” menceritakan hal yang mirip dengan “Bali: Beats of Paradise”. Menceritakan tentang bagaimana benturan budaya antara budaya Jawa dengan budaya Barat.
Bicara soal inferiority complex, saya teringat kata-kata Joko Anwar soal ini: “Masyarakat Indonesia mabuk nasionalisme”. Mabuk nasionalisme inilah yang makin membuat masyarakat Indonesia menjadi inferior. Seharusnya, bukan menggembar-gemborkan prestasi orang lain dari negara asal yang go international atau dengan membuat standar bahwa negara-negara maju begitu maju dalam segala hal. Negara ini harus mengesampingkan sikap inferiority complex yang terawat sejak era penjajahan, dan memulai membangun standar apresiasi baru terhadap sebuah pencapaian.
Penulis: M. Rizky Suryana
Editor: Uly Mega