Perguruan tinggi di Indonesia hari ini seakan kebingungan, karena tidak mendapat uang yang cukup dari pemerintah untuk kebutuhan oprasional sehari-hari dan juga tidak mampu mengembangkan aset yang dimiliki oleh kampus. Kebingungan itulah yang dirasakan oleh Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Ditengah lepas tangan pemerintah dalam hal pendidikan tinggi, UNJ pun tak mampu untuk memanfaatkan aset yang dimilikinya. Tahun ini merupakan tahun kedua UNJ menerapkan Sumbangan Pengembangan Universitas (SPU). Berbeda dengan tahun lalu, tahun ini UNJ menetapkan biaya minimal 750.000 dalam form pengisian SPU.
Ketidakmampuan mengelola aset dengan baik dan tidak mendapatkan dana yang cukup dari pemerintah, membuat kampus mengambil jalan paling mudah yaitu meraupnya dari mahasiswa, terutama mahasiswa baru. Tidak peduli ia dari orang yang berpunya atau orang miskin. Meskipun sekarang sudah banyak beasiswa, baik dari pemerintah ataupun swasta, namun tetap saja hal tersebut tidak dapat diakses banyak mahasiswa miskin mengingat kuota yang ditawarkan terbatas.
Dalam penetapan UKT pun semau pihak kampus. Jarak antara golongan dua dan tiga pun cukup tinggi.Perihal penetapan UKT, UNJ tidak ada keterbukaan yang jelas bagi para mahasiswa. Biasanya, mahasiswa baru disuruh mengisi slip gaji dan lain-lainnya. Kemudian, pihak kampus yang akan menetapkan UKT secara sepihak. Pihak kampus tidak pernah mau membuka data perihal berapa jumlah anak UNJ yang medapatkan golongan satu dan dua ataupun melakukan transparansi dalam hal penetapan UKT. Birokrat hanya bilang yang menetapkan sistem, tapi sistem yang seperti apa tidak pernah dijelaskan. Jika mahasiswa tidak setuju dengan penetapan UKT yang diberikan kampus, sebenarnya bisa mengajukan keberatannya di masa sanggah. Namun tunggu dulu, UKT mereka belum tentu turun. (baca:https://lpmdidaktika.com/2018/07/17/penetapan-ukt-sekenanya/)
Sungguh menjadi ironi dalam dunia pendidikan. Mahasiswa yang jelas-jelas merasa keberatan dalam penetapan UKT yang dilakukan sepihak oleh kampus tidak dapat menurunkan UKT-nya. Walupun mereka memberikan penjelasan tentang keberatannya, pihak kampus seakan kurang peduli. Mungkin pihak kampus menganggap yang ingin berkuliah di UNJ banyak dan jika ingin kuliah harus punya uang.
Berkuliah memang menjadi cita-cita pemuda di zaman sekarang. Ditengah ketidakpastian dalam bekerja, dan terbatasnya peluang kerja bagi lulusan SMA seakan membenarkan bahwa kuliah di kampus negeri haruslah dengan biaya yang tinggi. ditambah kampus negeri dianggap lebih prestise dari kampus swasta. Logikanya, “ada uang ada barang.”
Pembiayaan pendidikan seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah dalam hal mencerdaskan kehidupan bangsa, namun harus luntur karena tangan-tangan neolib melalui Undang-Undang Pendidikan Tinggi (UU PT) nomor 12 tahun 2012. UU tersebut yang menyebabkan pendidikan menjadi produk jasa yang bisa diperjualbelikan. Jika kita mengikuti logika pasar, yaitu “ada uang, ada barang”, kualitas kampus pun masih buruk!
Seperti contoh golongan 3 mahasiswa ilmu komunikasi harus membayar 4.400.000 setiap semesternya dan mahasiswa golongan 8 harus membayar 7.300.000 tiap semesternya. Biaya kuliah yang mahal ini sangat tidak sebanding dengan kualitas yang dimiliki oleh ilmu komunikasi, seperti tidak memiliki ruang praktik, kualitas dosen yang kebanyakan hanya diimpor dari prodi Humas. Dititik ini UNJ hanya memanfaatkan statusnya yang negeri namun tidak peduli dengan kualitas yang ada. (baca:https://lpmdidaktika.com/2018/09/24/uang-kuliah-tinggi/)
Sekarang UNJ hanya bertumpu dari dari dana Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), yakni UKT dan SPU. dana yang dihasilkan UNJ dari UKT pun cukup besar yaitu 400 milyar dan SPU 2 milyar. UNJ bertumpu dari dana PNBP juga karena dana Bantuan Operasional Pendidikan Tinggi Negeri (BOPTN) hanya sebesar 28 milyar, hal ini juga terjadi karena kebodohan UNJ dalam melaporkan data mahasiswa UNJ di Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PD Dikti), akhirnya yang dikorbankan lagi adalah mahasiswa.
UNJ bertumpu dari UKT pun karena UNJ memang tidak mampu mengembangkan asetnya seperti menjual penelitiannya, pendapatan UNJ dari hasil penelitiannya pun hanya sebesar 1-2 miliar. Padahal setiap tahun dosen diwajibkan melakukan penelitian. (baca:https://lpmdidaktika.com/2019/06/19/spu-hadir-karena-unj-gagal-mengembangkan-aset/)
Kenapa mahasiswa yang menjadi korban ?
Memang logika pasar sudah masuk sampai ranah pendidikan. Ketidakmampuan pemerintah dalam membiayai pendidikan tinggi diserahkan ke kampus, karena kampus masih belum mampu mencari uang sendiri, akhirnya uang yang paling mudah didapat dari mahasiswa. Ditengah inflasi gelar, seperti inflasi yang sama ketika negara terlalu banyak mencetak uang dan membuat nilai uang jatuh. Inflasi gelar pun terjadi ketika perguruan tinggi mencetak sebanyak-banyaknya ijazah sarjana, nilai gelar sarjana pun berkurang.
Inflasi gelar menyebabkan masyarakat menganggap bahwa lulusan sarjana bernilai sama seperti lulusan SMA ketika gelar sarjana belum banyak. Ditengah permintaan yang semakin banyak terhadap gelar tersebut, kampus pun seakan menghalalkan untuk meraup uang sebanyak-banyaknya dari mahasiswa. “sudah jatuh tertimpa tangga,” itulah yang dialami mahasiswa baru UNJ, sudah mendapatkan biaya UKT yang mahal harus juga membayar sumbangan untuk kampus.
Meskipun kampus menyatakan bahwa sumbangan itu tidak mempengaruhi kelulusan siswa yang akan mendaftar di UNJ, logika yang terbangun adalah “ada uang, ada barang.” Terlebih lagi, tidak transparannya proses penerimaan mahasiswa baru di UNJ, seperti tidak ada hasil nilai ujian yang keluar semakin menimbulkan kebingungan di masyarakat, “jika tidak menyumbang nanti tidak diterima”, dan UNJ menyukai hal tersebut.
Aditya Septiawan