Matahari terbit
W. S. Rendra
Fajar tiba
Dan aku melihat delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan
Meski ditulis pada tahun 1971, potongan puisi Rendra tersebut agaknya masih relevan untuk menggambarkan kondisi pendidikan saat ini. Jika berkaca dari data, Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). Secara keseluruhan, anak Indonesia yang tidak bersekolah mencapai 4.586.332 orang. Jumlah tersebut mulai dari tingkat dasar hingga lanjut. Alasan utamanya adalah mahalnya biaya pendidikan.
Mahasiswa pun merasakan hal serupa. Uang kuliah yang tinggi membuat tidak semua lapisan masyarakat dapat mengecap rasanya bangku sekolah, apalagi perkuliahan. Kenyataan pahit tersebut memberikan gambaran bahwa pendidikan telah diprivatisasi dan bukan menjadi hak setiap orang. Faktor utama hal tersebut bisa terjadi, adalah liberalisasi pendidikan. Selain mengarahkan orientasi pendidikan ke arah pasar. Efek lainnya adalah naiknnya biaya pendidikan.
Proses liberarisasi tersebut nampaknya semakin dipermudah di perguruan tinggi. Lewat program yang baru saja dikeluarkan oleh Nadiem Makarim bernama kampus merdeka, yang dibuat dengan logika pasar. Terangkum menjadi empat pokok kebijakan. Nadiem beralasan kebijakan tersebut, dikeluarkan karena perguruan tinggi saat ini kurang berhasil mencetak lulusan, yang mampu berkompetisi dalam dunia kerja.
Maka tidak mengagetkan salah satu poinnya memberikan kemudahan membuka prodi baru. Baik perguruan tinggi negeri atau swasta, hanya diberikan syarat memiliki mitra dengan perusahaan, startup teknologi, atau organisasi kelas dunia. Syarat memiliki kerjasama dengan organisasi Internasional dan kerja sama tersebut dimaksudkan untuk mempermudah pembentukan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan perusahaan atau mitranya.
Padahal belum tentu tiap perguruan tinggi berkompeten untuk membuka prodi tersebut. Sehingga ditakutkan menjadi ladang bisnis universitas, dengan iming-iming lulusan dari prodi tersebut mudah mendapatkan pekerjaan.
Belum lagi, hal yang selama ini dianggap menjadi wujud nyata, liberalisasi perguruan tinggi, yaitu Perguruan Tinggi Badan Hukum (PTN BH) turut dipermudah.
Mengutip Darmaningtyas dalam bukunya, Melawan Liberalisasi Pendidikan. Menurutnya PTN BH adalah tanda pemerintah lepas tangan terhadap pendidikan tinggi. Sebab perguruan tinggi dengan bebas menyusun anggaran rumah tangga dan keuangannya. Sehingga mudah menaikkan uang kuliah, dan memungut uang pangkal mahasiswa, dengan dalih kebutuhan pembangunan dan pelaksaanan pengajaran.
Bahkan yang terjadi saat ini, perguruan tinggi tak berstatus PTN BH saja. Sudah menerapkan uang pangkal, seperti yang terjadi di UNJ dengan nama Sumbangan Pengembangan Universitas (SPU). Dengan minimal uang 750 ribu rupiah. Mungkin nominal tersebut akan terus melonjak jika akhirnya menjadi PTN BH.
Berkaca dari dua kebijakan di atas saja sudah sedikit memberikan gambaran. Pendidikan tinggi semakin diliberalisasi. Kampus negeri dan swasta berlomba mencari mahasiswa, dengan iming-iming program studi baru. Biaya kuliah semakin meningkat untuk mengejar pemasukan universitas, untuk memenuhi kebutuhan pembukaan prodi baru dan tenaga pengajar.
Selain itu, liberalisasi pendidikan semakin menguat dengan adanya program magang yang direncanakan diperpanjang hingga 40 SKS atau dua semester. Hal tersebut menjadikan perguruan tinggi khususnya universitas, sebagai penyalur tenaga kerja murah. Sehingga universitas benar-benar hanya mencetak calon pekerja dan tak memperhatikan bidang keilmuan.
Tak ayal, jika kampus merdeka justru tidak memberi jawaban permasalahan perguruan tinggi. Yakni, seperti kekurangan sarana dan prasarana, tenaga pendidik yang kompeten, serta mahalnya biaya pendidikan, yang membuat minimnya jumlah mahasiswa.
Tiga permasalahan pokok di atas telah membuat, sebanyak 130 perguruan tinggi swasta ditutup sepanjang tahun 2016 hingga 2019. Serta yang terbaru 11 kampus ditutup di wilayah Jakarta sepanjang tahun 2019. Menurut, Kepala Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi Wilayah III Jakarta, Syamsuri. Banyaknya perguruan tinggi yang ditutup tersebut, kebanyakan akibat kekurangan tenaga pendidik, sarana dan prasarana, serta minimnya jumlah mahasiswa.
Kampus merdeka terdengar mengambil orientasi pendidikan Ki Hajar Dewantara, yaitu memerdekakan peserta didik. Namun jika ditilik lebih jauh, bisa jadi kebijakan tersebut hanya selubung untuk mewujudkan liberalisme pendidikan tinggi di Indonesia.
Agaknya kebijakan kampus merdeka memerlukan pengkajian lebih mendalam lagi. Agar benar-benar bisa menyentuh pokok permasalahan perguruan tinggi di Indonesia. Jika tidak kebijakan tersebut hanya semakin memperkeruh iklim perguruan tinggi kita. Biaya kuliah bisa jadi semakin mahal, kompetensi pengajar, juga tidak mengalami peningkatan. Sebab yang lebih diperhatikan malah pembukaan program studi baru, yang menyesuaikan kebutuhan pasar.
Terakhir dengan kebijakan ini siapa yang merdeka. Mahasiswa, pihak kampus, atau perusahaan?
Penulis: Mukhtar Abdullah
Editor: Vamellia B. C.