Memandang penjajahan hanya sebatas tentang bangsa asing yang menduduki tanah kita adalah cara pandang yang sempit. Secara kasat mata, memang seperti itu. Terlebih, ketika melihat gambaran penjajahan di Indonesia, misalnya sebelum proklamasi kemerdekaan. Bangsa Belanda, kemudian Jepang, ada di tanah Indonesia untuk menguasai perekonomian secara geografis dan politis. Praktek itu, oleh kalangan intelektual disebut sebagai Kolonialisme.
Negara-negara jajahan memang melakukan perlawanan terhadap kolonialisme (penjajah). Namun, proses perlawanan terhadap kolonialisme (yang popular dengan istilah dekolonisasi) adalah tahap paling awal untuk mengantarkan suatu bangsa kepada kemerdekaan yang hakiki.
Dalam konteks kemerdekaan negara (tidak sampai konteks bangsa), merdeka adalah bebas secara politik, ekonomi, dan sosial budaya, menurut Wildan Sena Utama, dengan Konferensi Asia Afrika (KAA) sebagai representasinya.
Adanya KAA adalah pengalaman dan pelajaran yang berharga dari suatu negara, bahkan mungkin bangsa, jika terus diresapi makna kehadirannya. Meskipun tidak menghasilkan dampak yang signifikan terhadap situasi dunia, tapi tetap bisa menjadi simbol kesadaran internasional atas bangkitnya imajinasi untuk lepas dari penindasan negara lain.
Mengikuti pemaknaan Kahin, yang dikutip Wildan dalam bukunya, KAA lebih sebagai prestasi edukasi ketimbang resolusi formalnya. Dengan wakil-wakil 29 negara peserta memperoleh pemahaman yang jauh lebih komprehensif dan realistis terhadap cara pandang satu sama lain. (hlm. 155)
Kesadaran yang pertama-tama menyatukan negara-negara di Asia dan Afrika untuk berkumpul dan berkonsolidasi dilandasi oleh situasi dunia yang kian tepecah dalam dua blok negara adikuasa. Blok barat, dipimpin Amerika Serikat dan blok timur Uni Soviet. Konsolidasi ini adalah bentuk kecemesan negara-negara yang secara sadar berada dalam situasi yang sama. Negara-negara di Asia dan Afrika adalah negara yang sedang gencar-gencarnya melakukan dekolonisasi, menuju negara baru yang lepas dari intervensi negara asing (terutama negara-negara Eropa Barat dan Amerika).
Sebetulnya, menurut Wildan, embrio tentang gagasan pentingnya KAA sudah hadir jauh sebelum bangsa-bangsa tersebut mengalami dekolonisasi. Salah satunya Konferensi Brussels pada 1927 yang sering dihadiri oleh mahasiswa Indonesia yang sekolah di Eropa dan membentuk Perhimpunan Indonesia (PI).
Dalam pidato pembukaanya yang bergelora di KAA, sukarno mengingatkan peran penting konferensi Brussels sebagai sebuah momen historis yang secara kronologis terkait dengan KAA[…]adalah tonggak penting bagi negara-negara jajahan , karena disanalah untuk pertama kalinya para tokoh dari benua Asia, Afrika dan Amerika berkumpul bersama membahas tentang imperialisme dan kolonial (hlm. 25-26).
Jauh setelah itu, setelah mahasiswa-mahasiswa tersebut menjadi elit negara baru merdeka. Kemudian mereka berkumpul kembali, akibat perang dingin makin menegang. Akhirnya, tercetuslah ide tentang penyelenggaraan KAA oleh negara-negara yang sedang gencar melakukan dekolonisasi tersebut, antara lain Indonesia, India, Burma dan Sri Lanka, dan Pakistan- diawali di Colombo (Colombo Powers).
Perang dingin sebagai isu yang sedang panas berhasil menarik minat negara-negara di Asia dan Afrika untuk berkumpul. Terutama berbicara soal kedaulatan atas ancaman intervensi negara adidaya. Namun, wacana yang terbangun tidak selesai dengan hanya berbicara tentang dampak dan ancaman perang dingin. Dampak-dampak dari kolonialisme dan imperialisme pun justru menjadi diskusi panjang di KAA.
Tentunya perdebatan itu adalah perdebatan yang tidak kalah panasnya dengan situasi perang dingin. Dampak-dampak dari kolonialisme dan imperialisme adalah persoalan domestik yang dirasakan oleh negara di Asia dan Afrika.
Misalnya, Jalal Abdoh, perwakilan tetap Iran untuk PBB ia berbicara “subversi” dan “intervensi ideologis” dari “kolonialisme baru Uni Soviet”. (hlm.122)
Sementara, untuk negara-negara yang menolak argumentasi kelompok negara pro barat, seperti India (yang mengklaim diri sebagai netral) dan Burma (yang cenderung ke pihak Soviet), fokus mereka tertuju pada pakta kesepakatan militer blok barat (SEATO) yang diikuti oleh Turki, Filipina dan Lebanon. Pakta kesepakatan militer itu dianggap sebagai ancaman intervensi, bukan perlindungan. Dikhawatirkan hanya akan menguntungkan blok barat belaka.
Menarik dari KAA ini, selain sebagai pencetus pertama adanya konferensi tingkat internasional lintas ras, agama, dan benua. Konferensi ini dilandasi oleh kecaman atas kolonialisme tak kasat mata dan imperialisme, yang tidak begitu bisa dirasakan. Keinginan untuk diposisikan sebagai bangsa yang lahir di negara berdaulat, menggambarkan bahwa perkumpulan itu bukan sebagai masa lalu yang tidak berdaya. Melainkan mereka yang berani menciptakan sejarah dan memiliki kedudukan dan status yang sama -sebagai negara juga manusia di dalamnya.
Sayangnya, akibat masalah domestik berbelit dari setiap negara anggota KAA, negara-negara itu mulai sibuk dengan situasi masing-masing. Konferensi selanjutnya pun terus gagal dilanjutkan. Alasan waktu dan situasi yang tidak tepat kemudian, membunuh KAA tenggelam oleh konferensi-konferensi baru yang kian banyak muncul –yang sebetulnya dimanfaatkan untuk kepentingan politis negara berkuasa. Seperti gerakan non-block, yang cenderung dimanfaatkan Soviet.
Sementara itu, Sukarno mempunyai harapan menghidupkan kembali semangat KAA dengan membangun New Emerging Force (Nefo).
Ia menyatakan bahwa perkembangan ekonomi barat menunjukkan bukti berlanjutnya praktik imperialisme yang terjadi pada abad ke 19. (hlm. 198)
Buku ini mencoba menunjukkan semangat KAA, bahwa sejauh kebijakan ekonomi dan politik yang terintervensi, sosial dan budaya yang terdeterminasi -adalah manifestasi dari imperialisme dan neokolonialisme. Sebab, secara faktual, sampai saat ini praktik nekolim masih terjadi. Amerika yang muncul sebagai pemenang de facto dari perang dingin melakukan intervensi ke setiap negara.
Mulai dari penjajahan budaya dengan bentuk tawaran tapi memaksa. Mengubah gaya hidup suatu bangsa menjadi gaya hidup A La Amerika. Kemudian intervensi kebijakan politik melalui International Monetery Fund (IMF). Hingga sektor ekonomi yang terus dibuat bergantung.
Oleh karena itu, KAA menjadi pengingat. Bahwa semangat anti nekolim harus terus dirawat. Sementara, tentang buku ini, dibalik komprehensifnya catatan sejarah KAA. Sayangnya, Wildan tidak menggambarkan situasi bangsa di setiap negara anggota. Atau mungkin gambaran bangsa di satu atau dua negara saja. Diungkapkan langsung oleh Wildan dengan alasan, tanggapan masyarakat sulit diangkat satu persatu mengenai adanya KAA. Alhasil, sejarah dalam buku ini terjebak dalam sejarah dari sudut pandang elit politik tanpa menyentuh sisi sosiologis.
Penulis: Muhamad Muhtar
Editor: Ahmad Qori H.