Identitas Buku
Judul: Tuhan Tidak Perlu Dibela
Penulis: Abdurrahman Wahid
Penerbit: Noktah
Tahun Terbit: 2017
Tebal: 44 + 316 halaman
Abdurrahman Wahid, yang kerap disapa Gus Dur, merupakan Presiden Indonesia yang keempat. Meski ia bagian dari Nahdlatul Ulama (NU)—yang notabenenya islam tradisionalis—, ia dikenal pula sebagai tokoh Islam moderat. Ia mendukung penafsiran ulang mengenai pemahaman ajaran Islam. Kontekstual merupakan salah satu kunci gagasannya ketika membahas soal pemahaman ajaran Islam.
Gagasan itu dapat dipahami melalui beberapa karya tulisnya. Banyak di antaranya yang membahas hubungan agama Islam dengan masyarakat saat ini. Contohnya: Islamku, Islam Anda, Islam Kita; Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan; dan Islam Kosmopolitan.
Lalu, di awal 2017, kumpulan esainya di Majalah Tempo pada kurun 1960—1970-an diterbitkan dengan judul Tuhan Tidak Perlu Dibela. Kesemua esai tersebut tak lepas dari konteks masyarakat di masa itu. Sama seperti buku ini. Buku berisi kumpulan esai tersebut sengaja diterbitkan kembali melihat kondisi Indonesia yang sedang carut-marut, khususnya di penghujung Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2017.
Salah satu calon, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, dituding melakukan penistaan terhadap agama Islam dalam pidato kunjungannya di Pulau Seribu. Ini yang kemudian menggiring umat Islam melakukan demonstrasi agar Ahok dipolisikan. Aksi bela Islam pun digelar kelompok Islam, seperti Front Pembela Islam (FPI).
Berdasarkan hasil investigasi seorang wartawan asal Australia Allan Nairn, aksi bela Islam ini rupanya memiliki unsur politis. Pada saat itu didapati bahwa Susilo Bambang Yudhoyono, Harry Tanoesoedibjo, serta Donald Trump turut membiayai aksi bela islam. Apabila Ahok berhasil diturunkan dari jabatan, maka partai atau pihak oposisi berpeluang mengambil alih posisi Ahok.
Kebenaran agama Islam bagi kaum muslim di Indonesia menjadi bias ketika dibenturkan dengan kepentingan politik. Namun, tak semua menyadari hal ini. Agama ibarat dijual demi kepentingan politik. Contohnya kasus tadi, momentum penistaan agama dijadikan dalih bagi pemilik kepentingan.
Masyarakat tidak tahu pasti pembedanya. Pokoknya, segala hal berlabel agama atau atas nama tuhan pasti dianggap benar. Entah itu benar atau tidak. Bagi mereka, ini urusan akhirat: surga atau neraka. Tentu mereka takut neraka dan memilih surga.
Para pemeluk agama tidak memiliki keberanian untuk mempertanyakan ajaran Islam secara filosofis. Mereka beranggapan hal itu akan memengaruhi keimanan. Karenanya, masyarakat selama ini hanya mengikuti sang imam. Imam ibarat representasi dari segala kebaikan ajaran agama. Pun ia adalah teladan bagi para pengikutnya. Maka dari itu, apa pun yang dikatakan imam dianggap kebenaran oleh pengikut gerakan. Ini yang menjadi ciri dari gerakan sempalan semacam FPI.
Terlepas dari kepentingan politik tadi, dalam buku ini, Gus Dur menuliskan soal inferioritas para pemeluk Islam. Menurutnya, fenomena kebangkitan Islam (seperti meningkatnya penggunaan jilbab di kalangan remaja) merupakan suatu sublimasi terhadap ketidakmampuan umat Islam menghadapi modernisasi.
“Kesadaran itu muncul dari banyak sebab. Di antaranya kekecewaan terhadap kebangkrutan teknologi dan ilmu pengetahuan modern, yang diredusir kedudukannya menjadi hamba kekuasaan modal saja, tanpa membawa perbaikan mendasar atas tingkat kehidupan manusia. Juga kekecewaan melihat terbatasnya kemampuan umat manusia untuk mencari pemecahan hakiki atas persoalan-persoalan utama yang dihadapinya. Tidak kurang pentingnya adalah juga kekecewaan mereka terhadap elite kaum muslimin di seluruh dunia, yang tidak mampu meningkatkan derajat agama mereka di hadapan tantangan pihak luar terhadap Islam.” (hlm. 98)
Hal itu juga merupakan indikasi bahwa penafsiran ajaran Islam yang tidak kontekstual cenderung membawa umatnya pada kemandekan. Ini artinya perlu peninjauan ulang atas pemahaman ajaran Islam. Akan tetapi, rupanya rasa inferiotas ini dijadikan alat oleh ‘kelompok tertentu’ untuk mengagitasi massa dalam kepentingan politik. Politik identitas bermain di sini.
Masalah lain yang dibahas buku ini ialah soal islamisasi atau arabisasi di Indonesia. Pemahaman masyarakat soal “ajaran Islam” dan “manifestasi budaya Islam” memang bias. Banyak yang menyamakan keduanya.
Misalnya, adanya kewajiban penggunaan kubah pada masjid. Arab menjadi parameter arsitektur bangunan ini. Karena Arab merupakan tempat turunnya Islam, kebanyakan pemeluk agama Islam menganggap bahwa itu ada pada ajaran agamanya. Maka dari itu, bangunan masjid di Indonesia mesti demikian.
Padahal kubah pada masjid ditujukan untuk meminimalisasi penggunaan tiang penyangga sehingga shaf salat tidak sering terputus. Apabila ada yang lebih solutif ketimbang kubah, kenapa tidak boleh?
Artinya, islamisasi sama dengan arabisasi. Ini yang juga dikritik Gus Dur. Menurutnya, budaya lokal dan nasional bisa hilang akibat proses tersebut di segala aspek kehidupan. Indonesia bisa kehilangan keindonesiaannya.
“Lalu dalam keadaan demikian, tidakkah kaum muslimin tercabut dari akar-akar budaya lokalnya? Tidakkah ia terlepas dari kerangka kesejarahannya?” (hlm. 107)
Menurut Gus Dur, agama diturunkan untuk manusia dengan segala kandungan kemanusiaannya, termasuk pluralitas kehidupan sosial dan kulturalnya.
Pada pokoknya, penafsiran terhadap ajaran Islam perlu ditinjau ulang guna menjauhkan umat dari kemandekan. Kontekstual adalah kunci. Penafsiran ajaran islam perlu melihat kondisi masyarakat; tidak menanggalkan kesejarahannya. Toh, Islam milik semua umat muslim di belahan bumi mana pun. Bukan hanya milik Arab. Buku ini sekiranya bisa dijadikan bahan untuk bercermin, sebab memang “kebetulan” sangat relevan dengan konteks saat ini.
Lutfia Harizuandini