Saran Judicial Review dinilai sebagai bentuk lepas tangan. Pemerintah dituntut bertanggung jawab secara langsung terhadap desakan masyarakat terkait Undang-Undang Cipta Kerja

Setelah DPR merampungkan pembahasan Undang-Undang (UU) Nomor 11 tentang Cipta Kerja, Presiden Joko Widodo memberikan sinyal untuk menutup rapat-rapat peluang penerbitan Peraturan Perundang-undangan (Perppu). Melalui pidato klarifikasinya, di Istana Kepresidenan Bogor pada Jumat (9/10).

Ia mengatakan, bahwa masyarakat banyak yang mengalami disinformasi, bahkan termakan hoaks terkait UU tersebut. Kemudian, mendorong masyarakat yang bersikukuh menolak, mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Setelah beredar klarifikasi tersebut, masyarakat meragukan Judicial Review (JR) akan efektif. Beberapa ahli pun, mengamini keraguan masyarakat. Bahwa permasalahan Undang-Undang Cipta Kerja tidak layak disahkan. Mengingat, secara formil saja banyak protokol pembentukan Undang-Undang yang ditabrak dalam proses pembentukannya. Belum lagi, secara materil banyak isi pasal yang kontroversial.

Zainal Arifin Mochtar, Ahli Hukum Tata Negara, melalui salah satu siaran elektronik nasional angkat bicara. Ia mengungkapkan, dorongan pemerintah untuk masyarakat mengajukan JR adalah bentuk lepas tangan pemerintah supaya tidak berurusan dengan penolakan masyarakat.

Menurutnya, pemerintah tidak adil dalam hal itu. Ketika pemerintah mengambil langkah melanggar protokol hukum, tapi memaksa masyarakat taat hukum jika tidak terima. “Ke MK itu seolah membiarkan mereka (Pemerintah) ugal-ugalan. Nanti biarkan MK yang cuci piring,” ungkapnya.

Iklan

Sementara itu, Asfinawati, Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai bahwa dorongan JR dari pemerintah adalah usaha menggiring narasi bahwa demonstrasi adalah tindakan inkonstitusional. Padahal menurutnya pembentukan Undang-Undang Nomor 11 tentang Cipta Kerja justru tidak konstitusional, untuk itu pemerintah tidak punya landasan etis untuk mendorong masyarakat memilih jalan konstitusional.

Selain itu, Presiden Joko Widodo sebelumnya telah bertemu dengan Hakim MK meminta dukungan untuk UU tersebut.

Senada dengan itu, Pengajar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum Jentera Bivitri Susanti sebelumnya sudah ada revisi UU MK, menyebabkan hakim MK sulit dipercaya independensinya. “Patut dibaca bahwa ini upaya untuk ‘menjinakkan MK’. Coba cek live streaming sidang revisi UU KPK, itu kelihatan hakim-hakim mana yang sangat bias dan menyudutkan pemohon. Ini bisa terjadi terus dan mungkin makin menguat,” katanya dilansir dari Tirto.id.

Kendati demikian, Juru Bicara MK Fajar Laksono, dilansir dari Kompas.com, mengklarifikasi bahwa  MK akan bersikap netral dalam perkara uji materi UU Nomor 11 terkait  Cipta Kerja.

Terkait pernyataan presiden yang meminta dukungan MK, untuk UU No. 11 terkait Cipta Kerja saat penyelenggaraan “Laporan Tahunan Mahkamah Konstitusi Tahun 2019.” Menurut Fajar, MK akan berusaha senetral mungkin. Karena pihaknya tidak berhak untuk memberikan dukungan terhadap suatu UU. Ia menegaskan, bahwa MK tidak pernah menyatakan pendapat terkait UU manapun.

Rakyat Menolak Judicial Review

Selasa (10/11), bertepatan dengan peringatan hari pahlawan nasional, Gerakan Buruh Bersama Rakyat  (Gebrak) melanjutkan aksi menolak UU Nomor 11 tentang Cipta Kerja. Juru Bicara Gebrak, Nining Elitos, mengungkapkan aliansi ini akan terus melakukan aksi demonstrasi dan tidak akan mengikuti apa yang diperintahkan untuk Judicial Review. Karena menurutnya, UU ini seharusnya tidak layak disahkan. “Padahal mulai dari penyusunannya apa mememnuhi aturan UU? Kekeuasaan tidak patuh terhadap hukum kenapa rakyat harus patuh terhadap pemerintah?” Ucap Nining ketika diwawancarai Didaktika.

Disisi lain, Nining menilai, munculnya UU ini sebagai puncak dari ketidakpedulian pemerintah  terhadap masyarakat. Pemerintah dinilai hanya peduli pada kepentingan oligarki. UU Cipta Kerja merupakan bentuk aturan yang pada prinsipnya berbentuk pembungkaman.

“Kita melihat regulasi yang diterbitkan, UU KPK, UU Minerba, Surat Edaran Menteri  dikeluarkan tidak ada satupun menunjukan peningkatan perlindungan kesejahteraan demokratisasi dan keadilan bagi manusia secara luas,” ucapnya.

Sudah seharusnya, ungkap Nining,  demonstrasi dari seluruh elemen masyarakat, di seluruh kota secara berkelanjutan sebagai bentuk pembangkangan dari masyarakat. “Bisa kita mulai dari bagaimana tidak diam di rumah, untuk melumpuhkan ekonomi yang menjadi garda terdepan di Indonesia, yang tidak pernah sampai pada kita,” pungkasnya.

Iklan

Meskipun begitu, beberapa kalangan sudah mengajukan Judicial Review ke MK. Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) misalnya, serikat buruh yang mengaku mendukung Jokowi saat pilpres ini sudah mengajukan JR pada Selasa (03/11). Selain itu, kedua Serikat itu telah mempersiapkan untuk mengajukan Legislative Review.

Terkait hal itu, Nining menyayangkan bahwa masih sulit melakukan penyatuan di tingkat gerakan rakyat. Memang itu pilihan dari berbagai macam kelompok, katanya.  “Ini ruang demokratis, tidak boleh memaksakan semua satu suara. Bagaimana membangun penyatuan kekuatan itu menjadi penting,” tutupnya.

Penulis: M. Mukhtar

Editor: Ahmad Qori H.