Di tengah terik senja Oktober, Muhammad Antar Jihad mengeluarkan kaleng-kaleng cat semprot beragam warna dari ranselnya. Kemudian ia membuka sebuah kotak berisi macam-macam tutup cat semprot atau biasa disebut caps yang satu sama lain berbeda ukuran lubang semprotnya. Terbuka sebuah buku kecil di sampingnya, menampilkan sebuah sketsa tulisan yang telah disiapkannya semalam. Free Gaza Save Palestine. Begitu tulisnya.

***

Laki-laki kelahiran 2 September 1995 ini sudah mulai menggambar sejak masih lucu-lucunya di bangku Taman Kanak-kanak. Menggambar kartun-kartun yang ada di layar kaca, Captain Tsubasa misalnya. Menurut sang ibu, ia mewarisi bakat sang ayah, meski ia sendiri jarang melihat ayahnya menggambar.

Tata, sapaan akrabnya, mulai membuat sketsa menggunakan cat semprot berwarna putih. Pada sebuah dinding proses2belakang rumah warga yang menghadap lapangan bulu tangkis. Tata sendiri menggambar sketsa tersebut diatas gambar sebelumnya yang sudah memudar. Suara mengaji dari masjid menjadi musik pengantar yang amat religius.

Perkenalan Tata pada seni menggambar di dinding jalanan berawal dari diajak oleh teman sepermainan di rumahnya, Pejaten, Jakarta Selatan. Kala itu ia masih menjadi siswa di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 22 Jakarta. Pertama, ia hanya melihat-lihat mereka menggambar. Lalu mencoret-coret sketsa pada lembaran kertas. Hingga memberanikan diri mencoba menggambarnya di dinding. Kini, hal tersebut telah menjadi hobinya.

“Karena kalau dikertas cuma kita yang bisa menikmati. Sedangkan kalau di dinding banyak yang bisa melihat karya kita,” tutur laki-laki dengan postur tinggi kurang lebih 175 cm itu.

Iklan

Senada dengan Tata, banyak mahasiswa jurusan Seni Rupa di Universitas Negeri Jakarta pun menjadikan dinding sebagai wadah ekspresi mereka. Kita dapat menemukannya pada dinding Gedung F, di Kampus A, Rawamangun. Sepanjang dinding dengan tinggi sekitar 2 meter dan panjang 50 meter ini dipenuhi oleh gambar-gambar karya mereka atas dasar inisiatif mereka sendiri. Dan siapa saja boleh menggambar di sana.

“Syarat menggambar di sini cuma satu, yang penting bagus,” ujar Gema Septian, mahasiswa angkatan 2012 yang menjadi salah satu pengurus HIMA (Himpunan Mahasiswa) jurusan Seni Rupa.

SR

Ditemui dalam waktu yang berbeda dengan Tata, di sela-sela jam kuliahnya, Gema dan seorang temannya yang terkenal dengan sapaan Kidol banyak menceritakan seputar seni menggambar pada dinding di jalanan. “Khalayak luas sih kenal seni jenis ini terbagi menjadi dua macam. Yaitu graffiti dan mural,” kata Gema. Ia menyebutkan, perbedaan diantara keduanya terdapat pada konten yang ditonjolkan. Bila graffiti yang memang asal katanya berarti coretan, menghasilkan sebuah kreasi dan estetika dari kumpulan huruf atau tulisan.

“Sedangkan mural sendiri  adalah gambar yang memiliki cerita, atau ada pesan yang disampaikan darinya,” tambah Kidol yang mengenakan kacamata hitam sebelum menikmati segelas kopi yang dipesannya.

Tujuan dari seni menggambar pada dinding ini berbeda-beda sesuai dengan pelakunya. Tata dan graffiti yang sedang dibuat misalnya. “Untuk mengingatkan orang-orang bahwa saudara kita di sana (Gaza) sedang tidak baik-baik saja,” jelas Tata. Tema seperti ini pun bukan pertama kalinya Tata kemukakan. Sebelumnya ia pernah menggambar ikon khasnya yang dinamai tirs, yang merupakan komodifikasi marmut yang diberi warna biru, tengah mengenakan bendera Palestina.

mari mampirDi dinding gedung F juga sarat akan pesan-pesan tersirat. Salah satunya adalah tulisan ‘Mari Mampir dan Bertegur Sapa’. Sebuah kritik terhadap semakin tingginya individualitas seseorang yang lebih senang hidup dalam dunia maya daripada sekadar berbagi senyum.

Selain untuk kegiatan nonprofit, seni menggambar pada dinding ini juga bisa menghasilkan pemasukan. Kidol sendiri pernah mengerjakan proyek pemerintah melalui Tata Kota untuk mengindahkan Jakarta dengan menggambar tiang-tiang jalanan.

Namun tak semua era pemerintah menyatakan dukungannya terhadap seniman mural dan graffiti ini. “Belum juga sampai satu minggu, gambar sudah diblok dengan cat,” keluh Kidol tentang kondisi hari ini. Memang, di beberapa media online, gubernur DKI Jakarta bahkan siap adu kuat dengan para pelaku vandal. Ia tak segan-segan memblok gambar yang menurutnya mengganggu.

Vandalisme dan seni menggambar pada dinding adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan. Bahkan Kidol sendiri menyebutnya seni vandal. Kebanyakan dari senimannya tidak memiliki izin. Namun seharusnya pemerintah bisa lebih selektif. “Bisa dipilih lah mana yang ada nilai estetikanya, mana yang cuma coret-coret nggak jelas,” lanjut Kidol.

Iklan

“Bila pemerintah menjadikan ruang publik sebagai alasan, seharusnya kita juga punya hak untuk berkarya di sana. Jangan malah menjadikan jalanan sebagai milik pemerintah,” kata Gema dengan wajah nampak geram. Menurutnya, gambar di jalanan adalah salah satu upaya memberi hiburan gratis kepada warga terutama di Ibu Kota yang sudah terlampau stress terhadap kemacetan.

Bicara vandal dan estetika, dalam dunia seni ini ada yang dikenal dengan istilah tagging. Yaitu menuliskan nama samaran di berbagai tempat dengan motif untuk mengenalkan diri. “Sebenarnya kalau gua pribadi tidak enak melihat itu. Nilainya apa sekadar menyebar nama kita. Jadi kalau mau gambar, sebaiknya gambar utuh. Gambar yang bisa dinikmati,” ucap Tata di sela-sela menyemprotkan cat hijau pada bagian bawah graffitinya.

***

tataTotal waktu yang Tata butuhkan untuk menyelesaikan graffitinya tak lebih dari 3 jam. Kini, tertulis GAZA pada sebuah dinding belakang rumah di salah satu gang di Pejaten, Jakarta Selatan. Tak terlihat lagi gambar pudar di baliknya. Tata bilang, bila sudah terbiasa, maka tak perlu ada keahlian khusus untuk bisa menggambar di dinding. “Hal pertama, harus yakin dulu kalau memang suka gambar. Setelah itu, jangan malas membuat sketsa pada kertas. Banyak-banyak latihan di kertas dulu deh,” pesan Tata seusai mengabadikan karyanya menggunakan kamera ponsel. (Latifah)