Ratusan orang berkumpul dengan setelan pakaian putih di seberang Patung Kuda. Kebanyakan membawa poster dan selebaran bertemakan lawan kekerasan seksual. Tak henti pula, suara pekikan hidup perempuan, buruh dan mahasiswa bersahutan membakar semangat mereka yang datang.

International Women’s Day (IWD) yang diperingati setiap tanggal 8 Maret, dijadikan sebagai momentum solidaritas perempuan sedunia. Tahun ini, IWD diisi dengan aksi bersama dari berbagai elemen masyarakat. Mulai dari buruh, mahasiswa, pegiat isu perempuan, aktivis lingkungan hidup, hingga pekerja seks komersial. Sejak pagi peserta aksi secara bergantian memberikan orasi, membawakan musik hingga, akhirnya ditutup dengan bernyanyi dan menari Bersama diiringi lagu ‘Kewer-Kewer’.

Dalam rilisnya, IWD tahun ini mengangkat tema “Kekerasan Seksual Mengancam Perempuan, Sementara Hidup Perempuan Tanpa Perlindungan Sosial Negara Jangan Lepas Tanggung Jawab!” Tema tersebut diangkat dari pembacaan mengenai perjuangan penghapusan kekerasan seksual yang kini memasuki babak baru. Tepatnya, setelah Jokowi memberi pernyataan agar Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) agar segera disahkan.

Hal ini menerbitkan sedikit harapan, sebab RUU ini sempat mandek dalam pembahasannya. Terlebih, DPR juga sudah menetapkannnya sebagai RUU, tinggal menunggu inisiatif DPR untuk pembahasannya lebih lanjut. Selain itu, mereka turut meminta agar nanti dalam perumusannya dilaksanakan secara partisipatif serta, isinya berpihak membela korban kekerasan seksual.

Disamping itu, hal yang menjadi sorotan adalah perihal kesejahteraan dan perlindungan sosial dari kemisikinan. Dalam pernyataannya, mereka meminta DPR untuk mencabut segala produk kebijakan yang bertolak belakang dari dua hal tersebut. Khususnya ketika pandemi, dimana banyak undang-undang disahkan justru memberatkan masyarakat.

Annisa Nurul Hidayah selaku Wakil Koordinator Lapangan Aksi mengatakan, aksi saat ini tetap mengangkat isu kekerasan seksual dengan cerminan utamanya adalah RUU TPKS. Menurutnya, meskipun saat ini telah dibentuk tim dari pemerintah tetapi tetap saja publik sulit untuk memperoleh akses kesana. RUU TPKS juga telah mengalami beberapa kali revisi dan ditakutkan hasil akhirnya ternyata tidak sesuai dengan yang diharapkan.

Iklan

“Kita sebagai masyarakat tetap perlu mengawal pembahasan RUU TPKS. Jangan sampai akhirnya kecolongan lagi, sebab pembahasannya sudah sedari 2016. Harapannya, hasil final undang-undang nantinya yang pro-korban.” Ujar Annisa saat ditemui Tim Didaktika di lokasi aksi.

Baca Juga:

Lawan Kekerasan Seksual Melalui Pendidikan

Dea Safira penulis sekaligus pegiat perempuan, turut hadir dalam peringatan IWD kali ini. Dirinya merasa undang-undang di Indonesia, meskipun mengakui bahwa hak manusia adalah setara. Namun, dalam praktiknya berbagai kebijakan baru kebanyakan merepresi perempuan. Menurutnya, hal tersebut menjadi dorongan pribadi baginya untuk tidak absen dalam momentum peringatan hari perempuan.

Dea menambahkan, RUU TPKS seringkali menjadi alat permainan politik sebagian golongan. Ia mengatakan, “Hari ini, RUU TPKS masih digunakan untuk menggaet suara politik. Sesuatu yang tadinya dikenali sebagai kekerasan seksual ada sembilan, sekarang hanya empat. Jadi, kalau memang serius kita perjuangkan bersama. Selain itu, selama tidak ada keadilan untuk perempuan IWD akan selalu ada dan diperingati.”

Senada dengannya, Tyas dari Perempuan Mahardika berharap dari Aksi ini, dapat menjadi bentuk pengawalan terhadap isi substansi RUU TPKS. Selain itu menurutnya, negara seharusnya tidak lepas tangan terhadap pelecehan dan pemiskinan yang terjadi kepada perempuan.

Peringatan IWD bukan hanya dikhususkan untuk perempuan, salah satunya Adelwin. Ia mengaku sudah beberapa kali mengikuti peringatan ini. “Ini sebagai bentuk perjuangan terhadap keadilan gender. Saya pribadi berharap, semoga orang-orang disini konsisten dan suaranya di dengar oleh pemerintah.” Ujar Adelwin

Penulis: Abdul

Editor: Izam

 

Iklan