Judul : Iran Pasca Revolusi, Fenomena Pertarungan Kubu Reformis dan Konservatif
Penulis : Mustafa Abdul Rahman
Tebal : xxvi+214 halaman
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Momen dramatis berhasil diabadikan oleh Mustafa Abdul Rahman. Melalui bukunya yang berjudul Iran Pasca Revolusi, Fenomena Pertarungan Kubu Reformis dan Konservatif, ia mengamati pertarungan tokoh politik Iran dalam menafsirkan revolusi Republik Islam Iran itu berdasarkan cara pandang dari dua kubu yang sedang bertarung itu. Yakni kubu Reformis dan Konservatif.
Buku yang merupakan analisis dari kumpulan berita ini, secara jeli berhasil menangkap momen-momen penting dan dramatis dinamika pemerintahan Iran. Perubahan peta politik di Iran lebih berwarna dan menarik untuk diabadikan. Fenomena mengejutkan terjadi disana. Salah satunya tangis calon presiden Iran ketika menandatangani keikutsertaannya dalam mencalonkan diri menjadi presiden yang kedua. Tangisan itu adalah bentuk dilemanya. Karena pada masa jabatan sebelumnya banyak janjinya yang tidak terlaksana.
“… itu menjadi sebuah refleksi, betapa amanah rakyat yang dipikulnya sangat berat dan menuntut tanggung jawab.” (Hlm. 81)
Jauh sebelum itu, banyak drama lain yang dinilainya sebagai titik tolak yang memancing fenomena mengejutkan jagat. Wartawan Kompas yang aktif dalam rubrik internasional –khususnya konflik di Timur Tengah– itu menjelaskan, setelah masa jabatan kedua Presiden Rafsanjani usai (1997), Iran mengalami pergumulan yang baru, setelah masa revolusi terjadi. Tahun itu, Iran melalui pemerintahannya terbagi ke dalam dua kubu yang terjadi secara alamiah.
Pembagian kubu itu sebetulnya hampir tidak menampilkan corak yang jelas. Pembagian kubu itu lebih karena koalisi terbagi atas dasar dukungan terhadap dua calon presiden yang sedang bersaing, Mohammad Khatami dengan Ali Akbar Nateq-Nouri.
“Tidak ada variabel yang pasti dan jelas tentang proses pembentukan dua aliran politik itu yang kini ketat memperebutkan kursi presiden.” (Hlm. 14)
Kubu itu semakin terlihat, sejak terpilihnya dua kandidat calon presiden Iran. Buku ini menjelaskan, secara komposisi kedua kubu ini masing-masing terdiri dari empat faksi yang terbagi atas dasar kepentingan mengejar persentase suara minimal pencalonan, sesuai ketetapan pemilu Iran. Maka terbentuklah dua kubu dengan garis yang berbeda.
Kubu Reformis (kelompok Khatami), memosisikan pandangan yang lebih liberal dalam hal politik dan sosial budaya, tapi lebih konservatif dalam memandang ekonomi. Karena kubu itu diisi oleh kelompok beraliran moderat dan satu kelompok yang dijuluki sebagai partai Korea Utara-nya Iran. Kubu Konservatif (kelompok Nateq-Nouri) sebaliknya. Kelompok ini diisi oleh kelompok beraliran konservatif militan yang menginginkan pembatasan budaya politik dan sosial. Maka, mereka memosisikan pandangan yang lebih konservatif pada bidang politik dan sosial-budaya liberal dalam hal ekonomi. (hlm. 14-15)
Kubu yang sedang bertarung itu menunjukan garis yang nyata ketika drama dalam pentas pertarungan politik, justru di masa setelah pemilihan. Khatami, yang berada dalam kubu Reformis menang telak atas lawanya Nateq-Nouri dari kubu konservatif. Padahal, Ali Akbar Nateq-Nouri bersama kubunya adalah mayoritas di dalam pemerintahan. Secara kuantitas, media massa saat itu lebih sering mempromosikannya. Namun, secara mengejutkan kemenangan diraih Khatami dengan unggul 70 persen atas Nateq-Nouri.
“Kemenangan Khatami terlihat sangat dramatis. Dikutip, wartawan yang mengumumkan kemenangan Khatami itu dengan suara terputus-putus, merasakanya seperti semarak ketika revolusi. (hlm.13)”
Namun, puncak drama perpolitikan Iran bukanlah terletak disana, meskipun kemenangan Khatami penuh makna, karena kemenangannya mengejutkan publik. Lantaran ia dianggap sebagai tokoh yang masih terbilang baru dalam perpolitikan Iran. Justru setelah kemenangan telak Khatami itulah drama makin memuncak. Di samping itu, fenomena kemenangan Khatami bisa ditafsirkan sebagai gambaran masyarakat yang sudah tidak percaya terhadap pemangku kebijakan sebelumnya (elit-elit konservatif). Sehingga mengharapkan pemimpin baru bisa membawa cahaya terang. Khatami bersama kubunya menawarkan itu.
Kubu konservatif, yang masih banyak menguasai pemerintahan tidak tinggal diam. Khatami sebagai presiden yang sah secara demokratis dibuat tidak berdaya. Pembredelan terhadap salah satu media massa pro reformis, adalah bukti nyata. Pembredelan tersebut memancing mahasiswa turun ke jalan, sehingga menyebabkan terjadinya kerusuhan. Khatami mendapat kritik sebagai pemimpin yang cari aman. Kemudian, dikecam untuk segera turun dari kursi jabatanya.
Secara tidak langsung, kubu konservatif menunjukkan bahwa mereka masih punya pengaruh atas jalannya pemerintahan, meskipun tidak menang dalam pemilihan presiden. Karena kekuasaan terbesar mereka utamanya terdapat dalam lembaga pemerintahan yang berbasis keagamaan. Bahkan, pemimpin spiritual Ali Khamenei menunjukan kecenderungan pro konservatif. Maka tugas berat bagi Khatami untuk berebut pengaruh di dalam pemerintahan.
“Itulah dilema bagi Khatami. Hatinya bersama kubu reformis, namun dalam waktu yang sama ia harus tetap menjaga primbangan kekuatan di Iran dengan tetap harus memberi perhatian terhadap kubu konservatif.” (Hlm. 71)
Tidak selesai dengan paparan tentang elit politik Iran. Dinamika itu, berimplikasi pada lingkungan masyarakat, meskipun tidak dijelaskan terlalu dalam. Respon masyarakat akan pertarungan itu, berimplikasi terhadap makin memanasnya situasi di Iran.
Masyarakat utamanya mahasiswa melayangkan tuntutan yang begitu radikal; menuntut kedaulatan rakyat. Bahkan mengkritisi pemerintahan yang berbentuk Wilayat Al-Fakih. Hal itu sangat bertentangan dengan doktrin pimpinan besar spiritual islam Rohullah Khomeini dengan gagasan yang dibawanya setelah revolusi. Yaitu, keputusan yang masih sentral dipegang pemerintahan, utamanya spiritual.
Revolusioner
Kasus pemberdelan media massa pro reformis, di sisi lain, menjadi titik tolak atas gelombang massa. Aksi di jalanan merupakan pilihan yang dianggap paling efektif untuk menuntut demokratisasi dan transparansi pemerintahan. Karena, jalur hukum tidak akan mungkin efektif selama aparat dari banyak instansi pemerintahan masih dikuasai kubu konservatif.
“Tak heran, kalau mahasiswa mengekspresikan rasa kemarahanya akibat kasus harian salam itu dengan menggelar aksi turun ke jalan, bukan lewat jalur hukum yang masih dikuasai kubu konservatif.” (hlm. 49)
Kejadian itu, menggambarkan sedikit tentang militansi masyarakat Iran. Ketika para mahasiswa yang masa itu disebut sebagai anak revolusi (mereka yang masih balita atau pun belum ketika revolusi Iran berlangsung). Militansinya dibangun dari doktrin revolusioner Imam Khomeini. Lewat pendidikan kerevolusian yang diajarkan sejak sekolah dasar.
Maka, kerusuhan yang terjadi pada masa itu adalah panggilan jiwa revolusioner yang terus didogmakan sejak kecil. Dalam buku ini memang tidak dibahas mendalam mengenai gerakan masyarakat atau mahasiswa Iran dan perannya. Buku ini hanya fokus dan terbatas pada dinamika dan kacamata elit politik selama khatami menjabat sebagai presiden yakni 1997-2003 (dua kali masa jabatan Khatami). Antiklimaks dan kekurangan eksplorasi dari perspektif masyarakat, menjadi kritik atas buku ini.
Namun, sedikit gambaran tentang pergolakan masyarakat Iran akibat kritiknya terhadap elit itu masih bisa menjadi gambaran hari ini. Secara garis besar sejarahnya, Iran adalah negara yang berani menolak intervensi asing, utamanya Amerika Serikat. Iran sangat percaya diri bahwa segala dukungan dari Amerika ataupun Inggris adalah bentuk ketergantungan. Hingga penggulingan kepemimpinan Shah Reza Pehlevi, yang saat itu memang didukung penuh oleh Amerika, adalah keteguhan masyarakat Iran terhadap identitas aslinya. Amerika disebut sebagai setan besar oleh pimpinan spiritual tertinggi Iran, Ali Khamenei.
Sikap keras Iran merupakan semangat yang dibawa sejak Revolusinya menjadi Republik Islam tahun 1979. Setelah itu, gagasan revolusioner menjadi doktrin yang sangat kuat. Sekolah berkewajiban memberikan pendidikan yang revolusioner terhadap anak bangsanya. Jiwa revolusioner yang terus ditumbuhkembangkan, membuat Iran mampu berkembang di tengah tekanan yang luar biasa–Embargo ekonomi oleh Eropa-Amerika dan konflik negara-negara Arab Teluk.
Meski sedikit demi sedikit Iran membuka diri dengan negara setan besar tersebut, ketegangan masih terus bergejolak. Persaingan teknologi, senjata dan lainnya, merupakan bentuk Iran masih revolusioner sebagai negara yang sudah hampir dua dekade mengalami revolusi. Ditengah situasi yang kini makin memanas dengan Amerika lewat sanksi ekonominya, Iran kini masih berani melawan. Dengan mengembangkan teknologi nuklir sebagai gertakan bahwa mereka tidak akan tunduk sekalipun ditekan sedemikian rupa.
Penulis: Muhamad Muhtar
Editor: Ahmad Qori Hadiansyah