Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI) mengadakan sebuah diskusi dan panggung seni bertema “Lawan Ancaman Kebebasan Berekspresi” pada Sabtu (9/3/2019) di Kafe Tempo Utan Kayu, Jakarta Timur. FPPI menyatakan, tujuan diskusi ini ialah untuk memperjuangkan kebebasan berekspresi yang kian terancam, baik praktik maupun wacananya.
Fenomena yang ditengarai menjadi upaya-upaya yang mengancam kebebasan berekspresi di Indonesia, menjadi topik yang dibahas dalam acara diskusi ini.
Dimoderatori oleh Lukman Abdul Hakim, Ketua FPPI Kota Jakarta, diskusi ini menghadirkan tiga orang pembicara dari berbagai elemen. Panji Wibowo dari Asosiasi Pengkaji Film Indonesia, Sasmito Adrim dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, dan Mike ‘Marjinal’ selaku vokalis band Marjinal.
Sasmito Adrim membuka diskusi dengan memaparkan terancamnya kebebasan pers dengan adanya tindakan kekerasan dan persekusi yang dialami jurnalis. Ia mengatakan, kebebasan pers lebih aman dengan adanya Undang-Undang (UU) Pers tahun 1999 pasca runtuhnya Orde Baru. Di mana pers memiliki kebebasan dalam menulis; membuat berita; kegiatan yang sebelumnya dilarang.
Namun, UU tersebut tidak terimplementasi dengan baik. Ancaman dalam bentuk tindakan kekerasan dan persekusi masih dialami oleh jurnalis hingga kini. “Tahun 1999, kasus ini mencapai 30-an. Di tiga tahun terakhir ini yang paling banyak, sekitar 84 kasus,” ucapnya.
Belum selesai dengan implementasi hukum itu, kini muncul Undang-undang yang dianggapnya sebagai pasal ‘karet’–yang turut serta membatasi kebebasan pers, yaitu UU ITE. Melalui UU ITE ini, muncul sebuah tindakan kekerasan terhadap jurnalis di ranah media sosial.
“Seperti yang dialami wartawan Kumparan. Identitasnya disebarluaskan dan dipersekusi oleh pihak yang merasa tidak suka dengan beritanya,” kisahnya.
Panji Wibowo mengatakan, dalam perfilman pun mengalami ancaman kebebasan dalam berekspresi. Penyensoran merupakan contoh dari upaya membatasi kebebasan dalam dunia perfilman. Biasanya menggunakan dalih indikasi unsur politis, hingga tayangan yang dianggap tidak etis. Hal itu, sudah diterapkan sejak pemerintahan Orde Baru.
Sementara saat ini, menurutnya, bukan hanya pemerintah yang melakukan penyensoran, melainkan juga dilakukan masyarakat. Penyensoran dari pihak masyarakat inilah yang berbahaya. “Contohnya film Dilan 1991 dilarang oleh sekelompok massa di Makassar yang dimobilisasi oknum produser daerah sana,” ucapnya.
Upaya pencekalan oleh masyarakat, masih menurut Panji, biasanya tidak semata karena masyarakat terganggu. Itu justru sengaja dilakukan sebagai bentuk penggiringan opini oleh sekelompok orang garis keras. Dengan menyinggung agama dan alasan konten tidak mendidik, cara ini kerap menjadi penyulut sumbu emosi massa. “Padahal kalau mau lihat konten yang tidak mendidik, tayangan di televisi lebih berbahaya,” imbuhnya.
Beberapa pekan belakangan pun ramai tentang adanya Rancangan Undang-Undang (RUU) Permusikan. Banyak musisi yang menilai RUU tersebut sebagai pembatasan terhadap kebebasan dalam bermusik.
“Padahal kalau ngomongin undang-undang, sudah ada UU No 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan yang isinya sangat bagus bagi berkembangnya kesenian maupun budaya di Indonesia,” kata Mike dalam pemaparannya.
Mike menganalogikan, musik itu seperti nafas dalam kehidupan manusia. Manusia akan mati kalau nafasnya direnggut. “Musik pun sama kalau direnggut (oleh aturan),” terangnya.
Mike menambahkan, menurutnya kebebasan berekspresi harus diperjuangkan dan dipraktikkan. Karena belenggu akan kebebasan sudah tertanam sejak kecil. Ia menilai, kebiasaan orang tua yang senantiasa memberi ‘cap’ nakal pada anak-anak yang punya keingintahuan lebih, merupakan contoh kecil dari belenggu tersebut.
Hal itu menurutnya, akan berdampak pada hilangnya nalar kritis. Contohnya, politik bahasa dalam kata ‘pemerintah’. Kata itu secara tidak langsung membuat tunduk masyarakat terhadap wakil rakyat. “Akademisi yang gelarnya banyak sekali pun tidak ada yang menggugat kata itu,” pungkasnya.
Penulis/Reporter: Fahmi Ramdhani
Editor: Muhamad Muhtar