Mentari di ufuk barat, bersembunyi di balik awan kelabu. Petrichor perlahan mulai memenuhi rongga hidung anak laki-laki bernama Dinan. Rambut ikalnya perlahan mulai berubah menjadi lurus, meneteskan air yang seirama dengan air mata langit. Lumpur masuk ke sela-sela jari kaki Dinan, ketika meloncat-loncat di genangan yang menciptakan riak. Teman-temannya ikut meniru apa yang dilakukan Dinan. Mereka tertawa, saling menjahili, hingga ikut menendang air genangan ke sembarang arah.
Payung hitam dengan pegangan berwarna cokelat melindungi wanita paruh baya yang tengah membelah hujan. Sosok wanita itu terasa tidak asing lagi bagi Dinan. Dinan menepuk jidatnya ketika wajah yang tertutup payung terlihat dengan jelas. Bibirnya tidak lagi mengukir lengkungan, tetapi terbuka lebar-lebar hingga air hujan masuk ke dalamnya.
“Dinan, ayo pulang!” ucap wanita yang kerap kali dipanggil Ibu oleh Dinan.
Dinan memamerkan deretan giginya yang sedikit menguning. Dia berjalan perlahan mendekati Ibu. Lalu berhenti dihadapan Ibu dengan memberi jarak kira-kira satu meter. Berjaga-jaga agar tidak terkena pukulan Ibu.
Ibu menarik lengan Dinan dan membagi ruang di bawah payung. Teman-teman Dinan hanya pasrah melihat satu temannya telah pergi. Hujan masih cukup deras bagi mereka untuk meneruskan mandi hujan. Ibu menggeleng-geleng melihat apa yang dilakukan teman-teman Dinan. Dinan menautkan alisnya ke atas, menatap iri teman-temannya yang bermain.
“Kamu tuh sudah besar Nan, janganlah kamu bermain yang cari penyakit,” ucap Ibu.
Dinan hanya mengangguk. Dia tahu, menolak atau membantah perkataan Ibu hanya akan memperpanjang ceramahnya. Ibu akan selalu mengungkit-ungkit kembali ketika dia melakukan kesalahan. Walau kesalahan yang diperbuatnya berbeda dengan kesalahan sebelumnya. Akan tetapi, Ibu selalu berhasil untuk menghubung-hubungkannya. Contohnya saja, ketika dia tiba-tiba sakit demam. Ibu mengungkit-ungkit kembali ketika kemarin dia bermain game online seharian di rumah.
Sepanjang jalan, Ibu terus memberikan wejangan dan bercerita kepada Dinan. Ibu menjelaskan proses turunnya hujan, yang sudah sering Dinan dengar dari pelajaran sekolah. Sampai menghubungkan bahwa hujan membawa penyakit. Dinan tersenyum miris ketika mengingat guru ngajinya mengatakan bahwa hujan adalah rahmat dari Tuhan.
Setelah mandi hujan, Dinan harus mandi lagi di rumah. Entah apa bedanya air hujan dengan air sumur yang berasal dari hujan juga. Akan tetapi, sekali lagi Dinan hanya mengangguk setuju dengan perintah ibunya. Ibu pun menyiapkan teh manis hangat untuk Dinan.
Dinan menghabiskan teh dan langsung pergi ke kamar untuk bermain game online. Ibu lebih memilih untuk menyetel televisi sambil menyiapkan bahan masakan untuk makan malam. Rumah yang sepi itu, kini dipenuhi suara televisi dan game online yang dimainkan Dinan.
Lelah bermain, Dinan mulai membaringkan tubuhnya di kasur. Wangi tumis kangkung menyulut alarm yang membuat perutnya bersuara dan bergetar. Tanpa banyak berpikir, Dinan berjalan menuju sumber yang membuat air liurnya menetes. Diambilnya piring sepaket dengan nasi, tumis kangkung, dan tempe goreng di atasnya.
“Abang kapan pulang bu?” tanya Dinan kepada Ibu yang sedang mengunyah tempe goreng.
Ibu menelan tempe goreng. “Mungkin tahun depan.”
Dinan meragu untuk melanjutkan percakapan. Ingin sekali dia bertanya mengenai alasan abangnya yang tidak kunjung pulang dari merantau di negeri orang. Bahkan yang lebih membuatnya penasaran mengenai ayahnya yang tidak diperbolehkan Ibu untuk datang ke rumah, bahkan sekedar bertamu sebentar. Topik mengenai kakak saudara laki-lakinya ataupun ayahnya menjadi hal yang sensitif di telinga ibunya.
Dinan buru-buru menghabiskan makanannya. Dia tidak ingin berlama-lama terjebak dalam keheningan yang tiba-tiba menyelinap di antara dia dan ibunya. Dinan mencuci piring dan masuk lagi ke kamarnya.
Baca juga: Sialan
Hujan kembali turun sangat deras, hingga kilat dan gemuruh guntur mengantri untuk tampil. Dinan yang terbaring diatas kasur menikmati suara hujan yang tercipta akibat menghantam atap rumah. Dilihatnya langit-langit yang baru saja dibetulkan karena bocor. Bersih. Dinan merasa tenang, tidak terlihat tanda-tanda akan tercipta air terjun di sana.
Layar melebihi lebarnya layar bioskop mulai memutarkan film di pikiran Dinan. Dinan membuat skenario film dadakan. Tokoh utamanya, tentu saja Dinan sendiri. Udara tiba-tiba berubah menjadi dingin, matahari marah hingga tak mau menampakkan dirinya. Hujan air berubah menjadi hujan uang. Dinan segera mengambil payung dan membaliknya seperti parabola. Payungnya perlahan mulai penuh dengan lembaran uang dolar. Mungkin hujan uang akan lebih disukai para manusia, terutama Ibu.
Akan tetapi, apabila hujan air berhenti dan berganti dengan hujan uang, pohon dan tanaman akan mati. Mungkin manusia juga akan mati karena dehidrasi seperti kata bu guru yang sering kali menyebutkan istilah tersebut. Dinan bergidik ngeri membayangkan dunia tanpa air. Laut hanyalah daratan cekung, penuh dengan berbagai bangkai makhluk laut. Daratan menjadi gersang, panas. Dinan menelan ludahnya, seketika dia merasa haus. Dinan pun pergi ke dapur.
“Pagi main, siang main, sampe malam pun masih main. Kamu gak ada PR Nan? Jam segini kenapa masih belum tidur? Main game di internet lagi kamu?” tanya Ibu.
“Iya bu, ini Dinan mau tidur kok,” jawab Dinan sekenanya.
“Kamu ini masih kecil, janganlah tidur larut-larut,” tukas Ibu.
Dinan tak habis pikir, tadi sore ibunya melarangnya mandi hujan karena menurutnya Dinan sudah dewasa. Hanya lewat beberapa jam saja, Ibu mengatakan kalau dia masih kecil. Sebenarnya apa posisi anak berusia sepuluh tahun ini dimata ibunya? Dinan hanya mendengus napas kasar dan mengangguk.
“Main game terus, main di luar terus. Mending kamu belajar di rumah, ajaklah temenmu juga yang pintar. Peringkatmu kemarin kan turun,” sambung Ibu.
Dinan berkali-kali menghembuskan napas dengan kasar. Mengharapkan oksigen yang dia hirup cukup membuat otaknya bernapas. Dinan meneguk habis sisa air dalam gelasnya dan meletakkan gelas ke atas meja dengan kasar. Ibu memperhatikan sikap Dinan yang dinilai tidak sopan.
Ceramah akan tata krama, disiplin tidur, sampai bahas nilai-nilai sekolahnya mulai dituturkan Ibu. Suara hujan menjadi musik latar belakang ocehan Ibu. Dinan hanya fokus kepada suara hujan dengan menundukkan kepala menghadap ibunya.
“Kamu itu gak pernah dengerin omongan Ibu,” ucap Ibu menahan tangis.
Seketika air mata Dinan lolos begitu saja. Tanggul yang selama ini dia bangun, pecah sudah. Dinan mengerjapkan matanya, tak percaya akan kalimat yang baru saja dia dengar. Terlebih, kalimat itu diucapkan oleh Ibu setelah apa yang Dinan lalui hari ini.
“Kamu mau ninggalin Ibu? Kamu mau jadi pemalas dan pengangguran seperti ayahmu? Kamu tega sama Ibu?” sambung Ibu sambil memegang pundak Dinan dan menggoyang-goyangkannya.
Dinan mulai terhuyung. Dia tidak mengerti akan maksud dari perkataan ibunya. Suara hujan terdengar semakin deras, seolah berlomba dengan derasnya air mata Dinan. Bahkan, gemuruh guntur sambung menyambung membuat suasana semakin mencekam. Anak berusia sepuluh tahun itu pun berteriak.
“Kamu itu laki-laki, jangan menangis! Jawab Ibu!” pekik Ibu.
Dinan semakin terisak dan menyuruh ibunya untuk berhenti bicara. Ibu yang melihat reaksi Dinan merasa terkejut. Anak bungsu laki-lakinya menangis begitu histeris sama seperti ketika neneknya meninggal. Ibu memeluk Dinan. Dinan terseguk-seguk di tengah isaknya.
“Ibu, Dinan ga ngerti.” Dinan kembali terisak.
“Ibu suruh Dinan pulang, Dinan menurut. Ibu suruh Dinan mandi, Dinan menurut. Ibu suruh Dinan tidur pun, Dinan mengiyakan semua perkataan Ibu. Kenapa Ibu bilang Dinan ga pernah nurut sama Ibu? Apa salah Dinan?” sambungnya.
Ibu semakin mempererat pelukannya. Ikut menangis. Dijambaknya rambutnya dan memohon-mohon kepada Dinan untuk memaafkannya. Digenggamnya tangan Dinan, hingga terduduk di lantai. Dinan tak tega melihat ibunya, dia ikut terduduk di lantai dan memeluk ibunya.
“Dinan cape bu. Dinan sayang sama Ibu,” ungkap Dinan gemetar.
Dinan mengusap lembut punggung ibunya. Menyeka air mata ibunya. Hujan pun ikut terseka, menyisakan rintik-rintik air. Gemuruh sudah tidak lagi terdengar. Hawa dingin hujan dan lelah menangis, membuat mereka tertidur pulas di ruang televisi.
Penulis: Sonia Renata