Dalam menyikapi kampanye Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, Para Syndicate mengadakan diskusi media berjudul Kampanye Pilpers: Politik Gemoy vs Politik Gagasan? di Kantor Para Syndicate, Kebayoran Baru, Kamis (30/11). Diskusi tersebut dihadiri beberapa penelti dan pengamat politik.
Peneliti Para Syndicate, Virdika Rizky, berpandangan politik “gemoy” yang dilakukan kampanye pasangan calon Prabowo-Gibran menjadi suatu kekhawatiran baru dalam wacana politik Indonesia. Pasalnya, model kampanye menjadi sebuah trend di kalangan tim kemenangan masing-masing calon. Semisal, Anies-Muhaimin dengan mainan sarungnya dan Ganjar-Mahfud dengan salam ala hunger games. Kultur ini, menurutnya akan mereduksi informasi gagasan pasangan calon yang berkembang di masyarakat.
“Saya miris melihat kubu Prabowo-Gibran melakukan kapitalisasi politik “gemoy” dalam mengambil suara rakyat. Hal itu akan menidurkan kesadaran rakyat soal politik gagasan,” ucapnya.
Baca juga: https://lpmdidaktika.com/antara-asa-dan-realitas-politik/
Selain itu, Analisis Exopit Strategic, Arif Susanto berpendapat bahwa kampanye pilpres dengan pertukaran gagasan telah hilang. Menurutnya, hal itu terjadi karena sudah tidak ada polarisasi dalam pemilu kali ini. Padahal, ia meyakini polarisasi adalah sebuah kebutuhan. Sebab, hal itu akan mempertajam pertarungan gagasan di antara para pasangan calon.
Arif turut mengungkapkan pertukaran gagasan ini semakin sulit dilakukan karena ketiga pasangan calon memiliki semacam patronase dengan Jokowi. Patronase ini akhirnya menihilkan kekuatan progresif dalam ranah kepartaian juga perpolitikan Indonesia. Hal itu bisa menciptakan homogennya gagasan para pasangan calon presiden.
“Tidak ada perbedaan berarti dalam gagasan masing-masing pasangan calon. Saya khawatir pada pemilu kita hanya membedakan mereka melalui nomor urut bukan gagasan,” tuturnya.
Lebih lanjut, Arif khawatir tidak adanya pertarungan gagasan antara para pasangan calon presiden akan membuat pemilu Indonesia 2024 mengalami bencana politik seperti pemilu Filipina 2022. Saat itu, pemilu Filipina 2022 berhasil memenangkan seorang anak mantan diktator, Bongbong Marcos. Generasi z yang hari itu merupakan penyumbang suara terbanyak putus keterkaitannya dengan sejarah Filipina di bawah kediktatoran. Kampanye dunia maya membuat generasi z lupa akan semua korupsi dan dosa yang dilakukan ayahnya, Ferdinand Marcos.
Sama halnya dengan Indonesia, pada tingkat populasi menjelang pemilu nanti terjadi perubahan demografi yang ditandai dengan membesarnya jumlah pemilih muda (generasi z dan milenial) yang berusia 17-39 tahun. Centre for Strategic International Student memproyeksikan jumlah pemilih muda dalam pemilu nanti akan mendekati 60 persen dari total pemilih. Bila dikonversi jumlah pemilih muda bisa mendekati 114 juta orang.
Kendati demikian, Arif optimis nasib Indonesia tidak akan seperti Filipina jika para calon presiden melakukan politik gagasan kepada lapisan masyarakat, khususnya generasi z. Ia berharap pasangan calon tidak melihat generasi z sebagai generasi yang tidak memiliki pemikiran dan kesadaran. Ia juga ingin pasangan calon lebih masif lagi menyuarakan politik gagasan, bukan malah politik “gemoy” yang digaungkan.
Penulis/reporter: Annisa Inayatullah
Editor: Adinda