Tak ingin absen dari isu perempuan, Lembaga Dakwah Kampus (LDK) Salim UNJ mengadakan diskusi bertema “Mengupas Paham Feminisme dalam Perspektif Islam”. Diskusi tersebut dilaksanakan di Masjid Nurul Irfan (13/3). Diskusi yang menghadirkan Henri Shalahuddin atau yang akrab dipanggil Ustad Henri sebagai pembicara ini banyak dihadiri oleh mahasiswa, khususnya mahasiswa muslim di UNJ. Selain itu, ada juga beberapa siswa SMKN 26 Jakarta yang ikut diskusi tersebut karena diajak oleh guru magangnya yang juga anggota LDK Salim UNJ.
Berbeda dengan pembicara pada diskusi “Feminisme dan Cinta” yang diadakan oleh Jurnal Perempuan dan Program Studi Sosiologi (8/3) yang cenderung tidak mempermasalahkan feminisme dan kesetaraan gender (baca : di sini ), pembicara yang satu ini berpendapat bahwa feminisme adalah paham barat yang liberal dan tidak cocok dengan budaya Indonesia. “Harusnya Indonesia punya aliran feminis sendiri kalau mau,” sarannya. Ia melanjutkan, “Feminisme Nusantara contohnya,” lalu ia terkekeh.
Ia menjelaskan bahwa feminisme adalah salah satu gerakan perempuan yang muncul karena adanya ketertindasan dan kemarahan yang dirasakan oleh kaum perempuan di Barat. Lalu, lambat laun gerakan tersebut menjadi paham mainstream yang menyebar ke negara-negara yang ada di pelosok dunia, termasuk Indonesia.
Ia melanjutkan, penyebaran feminisme dilakukan dengan membawa isu ketertindasan dan perempuan yang menjadi korbannya. Padahal menurutnya, ketertindasan terhadap perempuan itu hanya dialami oleh perempuan-perempuan di Barat dan negara-negara Eropa. Sehingga tidak relevan jika dibawa ke Indonesia. “Dalam peradaban Islam tidak ada riwayat penindasan perempuan, sehingga tak ada feminisme dalam Islam,” ungkapnya.
Selain ketertindasan, isu lain yang digaungkan untuk menyebarkan feminisme adalah ‘hak atas tubuh’. Ia mencontohkan pada aksi Women’s March 2018, banyak spanduk dan poster yang bertuliskan “tubuhku, otoritasku” atau “auratku, urusanku” . Hal tersebut, menurut Ustad Henri, tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Isu berbahaya selanjutnya yang dibawa oleh feminisme menurutnya adalah peran perempuan di ranah publik. Ia mencontohkan, keterwakilan minimal 30% di lembaga legislatif, dan berbagai organisasi kepemerintahan maupun non kepemerintahan.
Menurutnya, perempuan-perempuan di Indonesia itu telah ditipu oleh kaum feminis. “Akan menimbulkan kasta dalam peran perempuan,” ungkapnya. Dengan adanya kebijakan tersebut, perempuan-perempuan akan berlomba untuk bekerja dan mendapatkan kedudukan yang tinggi. Dengan begitu, akan ada perasaan minder jika perempuan berprofesi sebagai ibu rumah tangga.
Diskusi tersebut berjalan cukup singkat dan lebih banyak diisi oleh pembicara saja. Tidak ada sanggahan saat ia menyampaikan materi tersebut. Namun, beberapa peserta diskusi masih bisa mempunyai kesempatan untuk bertanya sampai diskusi itu selesai ketika adzan Maghrib berkumandang. Para peserta diskusi dan panitia pun membubarkan diri dari lokasi diskusi.
Penulis: Yulia Adiningsih
Editor: Lutfia Harizuandini