Melihat kilas balik perjalanan panjang sejarah Indonesia, mungkin tragedi pembunuhan masal pada 30 September 1965 merupakan sejarah pelik dan rumit di Indonesia. Sejak saat itu Partai Komunis Indonesia (PKI) menjadi sesuatu yang ditakuti bagi sebagian bangsa Indonesia, terlepas dari apapun kebenarannya. Komunis selalu menjadi hantu-hantu yang selalu dipergunakan untuk membayang-bayangi Indonesia.

Rumit memang sejarah Indonesia pada masa itu, perebutan kekuasaan dan embel-embel politik serta tetek bengeknya membuat banyak hal yang tidak bisa diungkap pada masa itu. Namun, Novel Pulang karya Leila S. Chudori menceritakan prahara tersebut dengan prespetif Dimas Suryo, Tjai, Risjaf, dan Nugroho yang merupakan buronan pemerintah Orde Baru (Orba). Mereka dituduh sebagai mengambil andil dalam prahara 52 tahun silam. Empat tokoh yang dalam novel ini disebut sebagai empat pilar tanah air, kisah pilu mereka sebagai empat orang yang tidak bisa pulang ke Indonesia karena mereka dituduh sebagai anggota PKI, menjadi inti novel ini.

Dimas Setyo sebagai tokoh utama pada novel ini bukan merupakan anggota PKI, ia hanya memiliki kedekatan dengan Hartono yang merupakan anggota PKI. Dimas Setyo tidak pernah menyatakan keterpihakan politiknya, ia dekat dengan PKI dan dekat dengan Amir yang notabanenya merupakan anggota partai Masjumi. “Kenapa kita harus bergabung dalam salah satu hanya untuk menunjukan sebuah keyakinan? Lagipula, apakah mungkin keyakinan kita itu sesuatu yang tunggal? Sosialisme, komunisme, kapitalisme, apakah paham-paham ini harus ditelan secara bulat-bulat tanpa ada keraguan? Tanpa ada rasa kritis?” (hal. 43). Dari pola itu saya menangkap bahwa Leila ingin menyatakan bahwa pemberantasan yang dilakukan oleh pemerintah salah terhadap PKI, akan tetapi bukan berarti PKI benar.

Hidup di negeri orang sebagai tahanan bukan hal yang mudah. Dimas Setyo beserta empat pilar tanah air harus berpindah-pindah negara, setelah akhirnya menetap di Paris. Di Paris untuk bertahan hidup mereka harus mempunyai pegangan, setidaknya untuk membebat luka mereka terhadap tanah airnya sendiri, luka karena dicampakkan, dibuang dan diasingkan. Dimas Setyo membangun rumah tangga dengan Vivienne dan Risjaf juga menikah dengan orang Prancis. Mereka tidak ingin menggubur masa lalu kelam di Indonesia tetapi mereka ingin mempunyai pegangan untuk hidup di negeri orang. Akhirnya, mereka membuat restoran Indonesia di Paris, mereka menamakan restoran itu dengan restoran tanah air.

Menarik menurut saya disini, restoran itu menjadi salah satu restoran yang terkenal di Paris. Restoran tanah air dalam novel ini mempunyai jiwa sebagai identitas empat pilar tanah air. Melalui resoran ini mereka berempat menemukan dirinya menemukan bangsanya. Walaupun mereka tetap jauh dari tanah air, setidaknya di Paris ada pijakan mereka untuk menapakkan kaki. Melalui restoran tanah air. Namun, orang Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) yang pada saat itu sudah didoktrin oleh orba menganggap restoran tersebut sebagai restoran punya orang komunis, tempat rapat PKI. Akibatnya, orang-orang KBRI dilarang untuk ke restoran tanah air oleh pemerintah. Akan tetapi karena beberapa anggota KBRI sudah paham mengenai kondisi politik di Indonesia, mereka mengacuhkan larangan tersebut.

Roman dalam novel ini juga tak kalah berkesan dalam benak saya, kisah cinta antara Surti Andriani dan Dimas Suryo sungguh menggetarkan hati saya. Surti Andriani merupakan bagian dari masa muda Dimas ketika ia menjadi mahasiswa Fakultas Sastra. Dimas yang kala itu masih muda dan selalu ingin mengelana tanpa mau berlabuh, membuat Surti jatuh ketangan Hartono, teman Dimas.

Iklan

Di Paris, Dimas bisa menjadikan Vivienne sebagai pelarian, dan perlindungan terhadap masa lalunya. Tetapi hatinya tetap kepada Surti. Melalui surat-surat yang ditemukan oleh Lintang Utara anak Dimas. Membuktikan hatinya tetap milik Surti. Tak melihat seberapa jauh mereka berpisah, seberapa lama mereka tak berjumpa, seberapa banyak luka yang ditorehkan sejarah kejam dalam kehidupan mereka, Surti dan Dimas tetap saling memiliki. Menurut saya Leila berhasil membawa pembaca dalam romansa yang indah. Roman yang tidak picisan.

Pada bagian akhir novel ini Leila mengisahkan anak Dimas, Lintang Utara yang ingin menyelesaikan tugas akhir kuliahnya dengan tema, sejarah kelam yang menimpa tanah air ayahnya. Lintang akhirnya pergi ke Indonesia pada 1998. Disini Lintang bertemu dengan sanak saudara empat pilar tanah air itu. Lintang waktu itu merasa ada yang salah dengan Indonesia. Pada saat Lintang datang, kala itu Indonesia masih dalam rezim yang sama, rezim orba. Lintang akhirnya tau mengapa ayahnya tidak bisa kembali ke Indonesia, padahal ayahnya sangat menginginkannya.

Dalam novel ini menurut saya meskipun Leila menjelaskan secara tersirat PKI tidak sepenuhnya salah dan tidak sepenuhnya ia benar, akan tetapi melalui dialog-dialognya itu entah Leila mencoba untuk netral. Namun, bagi saya Leila malah terlihat mencoba menunjukan keberpihakannya terhadap kejadian 1965. Novel ini juga mencoba memberitahukan betapa perih menjadi eks tahanan politik (tapol) pada masa orba. Juga bagaimana kekejian masa orba sampai 32 tahun bertahan lama di Indonesia. Novel ini menurut saya layak dibaca, bahasanya tidak berbelit-belit, penggambaran suasana cukup membawa kita pergi ke Prancis, lalu pulang lagi ke Indonesia. Ditambah dengan banyaknya refrensi karya-karya sastra dari luar Indonesia maupun karya sastra Indonesia membuat novel ini terlihat semakin kaya.

 

Penulis: Uly Mega Septiani

Editor: Naswati