Bagian satu
Ruang sekretariat itu terlihat usang dan kuno jika tampak dari depan, kiranya sudah berpuluh tahun berdiri dan menjadi markas organisasi. Unit kegiatan mahasiswa sastra puisi yang menempatinya pun mengaku tidak mengetahui pasti kapan organisasinya didirikan, sebab arsip pertama yang ditemukan berisi catatan peristiwa sejarah berbentuk puisi yang terjadi lebih dari setengah abad lalu.
Sastra Puisi merupakan salah satu unit kegiatan mahasiswa di Universitas Nadi Jiwa, kampus swasta grade menengah yang terletak di pusat kota. Selain berfokus mengembangkan minat anggotanya pada penulisan dan pementasan puisi. Organisasi ini juga seringkali mengadakan diskusi, tema yang diusung pun tidak hanya mengenai dunia sastra. Dengan visi melawan dengan sastra, organisasi ini seringkali membuat tulisan bernada kritik kebijakan, baik kepada pihak kampus maupun pemerintahan.
Suara dering ponsel nyaring terdengar memenuhi seisi ruangan sekretariat, sudah hampir sepuluh kali berulang namun sang pemilik tidak tertarik mengangkat dering panggilan ponselnya. ‘‘Kau ini kenapa? Lihat itu, suara ponselmu berisik sekali,“ decak marah Zidan terdengar setelah sekian lama diam. Ia kesal karena itu mengganggu kegiatannya yang sedang mengedit poster untuk diskusi malam nanti.
Laut, sang pemilik ponsel hanya bergidik acuh sambil mengubah pengaturan ponsel menjadi hening. Lelaki berpostur tinggi dengan tulang selangkanya yang menyembul itu melanjutkan kegiatannya, dengan terus mencoret-coret dinding sekretariat menggunakan pilox berwarna merah sembari mengisap sebatang rokok lintingan.
Sejenak Zidan diam dan memandang pintu yang terbuka dengan sedikit kasar. Terlihat Nian datang sambil membawa tumpukan kertas. Perempuan berambut pendek dengan rok selutut itu sepertinya tengah membawa dokumen lama untuk pengarsipan.
Setelah masuk dan menaruh tumpukan kertas ke dalam laci besi berwarna hijau tua, Nian menghampiri Laut dan ikut duduk di sebelahnya. “Tadi aku bertemu pacarmu, dia memandang sinis sambil bertanya apakah aku melihat pacarnya yang tampan itu,” ucap Nian dengan nafas yang tersengal-sengal. Laut menoleh sambil sejenak berpikir. “Aku lupa untuk menjemputnya, dia ada rapat organisasi jam dua tadi. Sepertinya selesai lebih awal,“ balasnya sambil berdiri dan membersihkan sisa pilox yang terlihat kontras di celana hitam serta kaus abu-abu yang digunakan.
Setelah laut meninggalkan ruang sekretariat, Zidan mendekatkan diri pada Nian yang sedang memilah-milah dokumen. “Hubungan mereka itu aneh, Laut yang cuek dan fokus menulis malah berpasangan dengan Zee yang manja dan bergantung. Apalagi dia itu bagian dari Himpunan Mahasiswa,“ ujar Zidan dengan menggebu.
Nian yang sedang memilah dokumen pun menautkan alisnya sambil berkata dengan nada ejekan. “Katakan saja kau sirik, walau Laut cuek dia bisa mendapatkan kekasih, daripada kau masih menjomblo dari awal memasuki kampus.“ Zidan yang merasa diejek pun hanya memandang Nian jengkel, memilih untuk menjauh dan kembali melanjutkan kegiatannya.
Sebenarnya dibanding menyoroti sikap Laut yang acuh tak acuh terhadap hubungannya, Nian lebih tertarik melihat latarbelakang organisasi yang Zee ikuti. Himpunan mahasiswa merupakan organisasi pemerintahan semacam badan eksekutif yang berada di tingkat universitas. Semua pun tahu bahwa Laut sering menulis kritik tajam terhadap organisasi tersebut. Menurutnya, organisasi itu tidak lebih hanya sebatas humas kampus yang meneruskan informasi yang didapatnya dari birokrat.
Selain Laut, sebenarnya klub Sastra Puisi juga memiliki hubungan yang tidak baik dengan Himpunan Mahasiswa. Hal tersebut disebabkan oleh suatu teater yang pernah diadakan oleh Sastra Puisi dengan judul “Pelayan Birokrat“. Himpunan mahasiswa merasa teater tersebut merupakan sindiran bagi organisasinya, karena saat itu terjadi kericuhan akibat rencana kenaikan biaya pendidikan yang dilakukan secara sepihak oleh pihak Rektorat.
Rencana tersebut ditolak dengan keras oleh banyak mahasiswa, saat banyak mahasiswa menolak dan melakukan banyak upaya untuk membatalkan rencana tersebut. Himpunan Mahasiswa yang saat itu diharapkan bisa menjadi perwakilan mahasiswa dan berdiskusi dengan birokrat, malah bersikap seolah tidak peduli. Meskipun pada akhirnya kenaikan biaya pendidikan tersebut tidak terlaksana, sebab lebih dari 50% mahasiswa satu minggu berturut-turut melakukan demonstrasi dan memilih untuk bolos kuliah. Himpunan Mahasiswa mulai kehilangan pamor dan kepercayaan dari mahasiswa lain akibat keengganan organisasi tersebut dalam menolak rencana kebijakan kenaikan biaya pendidikan.
Klarifikasi yang diberikan oleh Ketua Himpunan Mahasiswa saat itu menjelaskan bahwa pihak rektor sudah sempat berdiskusi dengan mereka mengenai hal tersebut. Saat itu, mereka menganggap kebutuhan kampus yang semakin tinggi, serta memang dibutuhkan dana lebih guna peningkatan mutu kampus pun akhirnya menyetujui usulan kenaikan biaya pendidikan.
Kemarahan mahasiswa mulai mencuat setelah klarifikasi tersebut tersebar, klub Sastra Puisi akhirnya melakukan pementasan mendadak yang diadakan di taman terbuka kampus. Mereka mementaskan cerita pelayan dengan rajanya, dimana pelayan akan selalu patuh terhadap raja apapun yang ia katakan.
Pementasan tersebut ramai disaksikan oleh mahasiswa Universitas Nadi Jiwa, termasuk anggota Himpunan Mahasiswa. Kabarnya, setelah pementasan selesai dilaksanakan, ketua dari Himpunan Mahasiswa mendatangi klub Sastra Puisi. Namun, kabar tersebut tidak bisa diverifikasi kebenarannya, yang pasti setelah pementasan tersebut diadakan, hubungan antar dua organisasi tersebut terlihat memburuk.
Banyak mahasiswa yang mengaku bahwa pada saat masa orientasi mahasiswa baru, mereka diarahkan untuk tidak bergabung dengan klub Sastra Puisi oleh pihak-pihak tertentu. Bahkan, seorang mahasiswa mengaku mendapat intimidasi secara langsung saat bertanya mengenai Organisasi Sastra Puisi kepada panitia masa orientasinya saat itu. Namun, pada akhirnya kabar tersebut hanya menjadi kabar burung yang belum terbukti kebenarannya secara langsung.
Baca juga: https://lpmdidaktika.com/gosip-dari-cikisik/
Dengan langkah yang dihentak-hentak dengan sepatu high heelsnya, Zee terlihat menaiki tangga Gedung Student Center. Gadis itu terlihat marah, wajahnya yang cenderung bulat dengan kerudung pashmina serta bibir melengkung kebawah, Sudah dipastikan ia marah terhadap Laut yang lupa akan janjinya menjemput Zee.
Tepat di anak tangga lantai tiga Zee berpapasan dengan Laut yang sedang terburu-buru untuk turun kebawah. Pasti Laut baru akan pergi untuk menjemputnya, pikir Zee. “Mau kemana kamu? Alesan apalagi kali ini?“ cecar Zee dengan sedikit menaikan nada bicaranya, postur tubuh Zee yang tidak berbeda jauh dengan Laut membuatnya terlihat lebih tinggi sekarang. Laut yang terkejut bertemu kekasihnya itu, menggaruk tengkuk dengan canggung, sambil sedikit menundukan badannya. Ia tidak berani menjawab pertanyaan Zee karena merasa bersalah akan kecerobohannya.
Dengan sedikit bujukan, Laut berhasil membujuk Zee agar tidak marah lagi, ia membawa gadis itu ke kantin di depan Gedung Student Center. “Tadi rapat apa? Tumben selesai lebih awal,“ tanya lelaki itu sambil mengaduk semangkuk bakso didepannya. Zee terlihat berpikir, sambil menghembuskan nafas yang kasar Zee menatap Laut dengan sendu “Aku gabisa bilang tadi rapat apa, intinya organisasiku lagi ga baik-baik aja, suasana rapatnya tadi gak kondusif jadi kita mutusin buat selesai lebih awal sebelum ada hal-hal yang gak diinginkan terjadi” ucap Zee lesu.
Mendengar penuturan kekasihnya, Laut hanya menganggukan kepala sambil melahap makanan di depannya. Zee yang sudah terlihat lelah pun hanya diam sembari sesekali melihat ponsel yang terus berbunyi menandakan banyaknya pesan yang masuk. Tidak banyak yang mereka bicarakan hanya basa basi bertanya kesibukan masing-masing, sebelum adzan maghrib berkumandang Laut pun mengantar Zee pulang ke kosannya sementara ia kembali ke ruang sekretariat.
Penulis: Zahra Pramuningtyas