Awal tahun 2019 Universitas Negeri Jakarta disibukan dengan agenda pemilihan rektor. Diskusi-diskusi mengenai bagaimana rektor yang terbaik untuk memimpin UNJ sudah mulai terjalin. Dosen Sosiologi, Ubedilah Badrun salah satunya. Dalam opininya, Ubedillah beranjak dari kasus Plagiarisme dan Nepotisme yang terjadi pada masa kepemimpinan Djaali.
Perihal kasus tersebut, Ubed merasa UNJ mengalami erosi marwah. Lalu, ia mengidealkan rektor yang bisa membawa UNJ sesuai visi UNJ, yaitu Universitas bereputasi di kawasan Asia. Menurut Ubed, rektor yang bisa membawa UNJ mewujudkan visinya yaitu, memiliki pengalaman kerjasama dan akademik dalam kancah internasional, memiliki jaringan internasional yang luas, memiliki reputasi keilmuan yang memadai di kawasan Asia, dan memiliki kemampuan manajerial yang mampu membawa UNJ bereputasi di kawasan Asia.
Selain Ubedillah, Hafidz Abbas, selaku ketua Senat UNJ mengatakan kriteria rekomendasi untuk para calon rektor agar memperhatikan enam komponen. Salah satuya strategi peningkatan reputasi akademik UNJ dengan indikator peningkatan Program Studi terakreditasi sangat baik di tingkat Nasional dan tingkat ASEAN.
Dari kedua pemaparan tersebut, UNJ sangat berobsesi untuk menjadi kampus bereputasi di Asia. Untuk mencapai taraf tersebut setidaknya ada enam indikator penting menurut QS World University Ranking, yang harus diperhatikan, yakni: reputasi akademik, reputasi lulusan, rasio fakultas dan mahasiswa, kutipan jurnal ilmiah, fakultas internasional, dan mahasiswa internasional.
Supaya bisa mencapai indikator tersebut, iklim akademik harus tercipta di kampus. Tetapi, iklim tersebut tidak tercipta di UNJ, karena mahasiswa hanya disibukan dengan kerja-kerja administratif. Salah satunya, melaksankan tugas-tugas kuliah untuk sekadar lulus, seperti saat melaksanakan penelitian (red: skripsi). Mahasiswa melakukan hal tersebut hanya sebagai syarat administratif kelulusan. Tanpa tahu penelitian itu menjawab permasalahan yang ada di masyarakat atau tidak. Salah satu faktor yang menyebabkan hal itu, karena mahasiswa dibebankan Uang Kuliah yang melambung. Jalantempuh satu-satunya akhirnya mahasiswa harus lulus tepat waktu.
Selain itu, obsesi elit kampus untuk membangun reputasi UNJ di kawasan Asia hanya jadi omong kosong belaka, apabila mahasiswa tidak dilibatkan dalam partisipasi politik. Sebab, mahasiswa merupakan elemen yang paling besar populasinya serta mahasiswa pula yang dominan dalam menjalankan dinamika membangun kampus—melakukan peneltian, pengabdian, dan pengajaran. Namun, ketika dalam perumusan kebijakan mahasiswa tidak pernah dilibatkan. Bahkan, mahasiswa hanya dianggap sebagai objek dan dicabut partisipasi politiknya dalam merumuskan arah masa depan kampus.
Salah satunya dalam penentuan pemilihan rektor. Dalam Peraturan Senat UNJ Nomor 548/UN39.22TP.00.01/2019 Tahun 2019 Tentang Tata Cara Pemilihan Rektor UNJ Periode 2019-2023, pemilihan rektor dilakukan melalui empat tahap, yaitu penjaringan bakal calon rektor, penyaringan calon yang dilakukan oleh senat dengan suara penentu 65 persen, pemilihan calon oleh kemenristekdikti dengan suara 35 persen, serta penetapan dan pelantikan.
Dari keempat tahapan tersebut, keterlibatan mahasiswa dalam pemilihan rektor hanya ditafsirkan dengan sosialisasi dalam bentuk diskusi publik, yaitu pada tahapan pertama. Dimana calon rektor menemui beberapa mahasiswa, lalu mahasiswa mencurahkan keluh kesah serta harapannya untuk calon rektor. Perihal usulan mahasiswa diterima atau tidak, itu urusan belakangan. Sekali lagi mahasiswa tidak memiliki kontrak politik yang kuat dalam arena politik kampus.
Mahasiswa hanya dijadikan kerbau untuk menonton pemilihan rektor. Mahasiswa tidak memiliki posisi tawar apapun. Dengan kata lain, depolitisasi mendera mahasiswa demi berjalan mulusnya setting agenda bagi segelintir orang yang memiliki kepentingan jabatan dalam universitas.
Gagasan tersebut juga diperkuat dengan pernyataan Hafidz Abbas saat diwawancarai tim Didaktika mengenai pelibatan mahasiswa dalam pemilihan rektor. Ia berpendapat, seluruh sistem yang ada sudah pasti untuk kebaikan mahasiswa. Lalu ia mengatakan, mahasiswa hanya sebagai objek yang dipersiapkan untuk menjadi pemimpin. Pernyataan tersebut semakin membuktikan bahwa mahasiswa tidak sebagai subjek aktif yang memiliki kesetaraan politik di arena kampus. Tetapi, mahasiswa hanya dijadikan objek yang dihilangkan nilai partisipasi politiknya. Pada titik ini, apakah UNJ masih punya alasan kuat untuk mewujudkan reputasi di kawasan Asia jika mahasiswa hanya dijadikan objek demi kepentingan elit kampus?
Penulis: Uly Mega S.
Editor: Ahmad Qori H.