Kasus Afif Maulana menjadi sekian banyaknya catatan buruk aparat negara dalam melaksanakan tugasnya.

Penggunaan kekuasaan dan kekuatan berlebihan oleh aparat kepolisian masih menjadi momok yang menghantui masyarakat sipil. Salah satu kasus penggunaan kekuasaan dan kekuatan berlebihan terjadi di Kota Padang, Sumatra Barat. Afif Maulana (13) diduga harus direnggut nyawanya oleh pihak kepolisian Samapta Bhayangkara (9/6).

Secara kronologis berdasarkan keterangan Wakil Kepala Kepolisian Resor Kota Padang AKBP, Rully Indra Wijayanto, saat itu di jembatan bypass Kuranji, terdapat pertemuan tidak sengaja gerombolan pemuda, termasuk Afif dengan Tim Polda Sumbar yang sedang melaksanakan tugas pencegahan aksi tawuran. Gerombolan pemuda itu kemudian kabur dan meninggalkan senjata tajam. Dari kasus ini ada, 18 pemuda yang tertangkap.

Terdapat kejanggalan di dalam kasus ini. Melansir BBC.id, terdapat kesaksian dari pemuda yang tertangkap (25/6). Berdasarkan kesaksian pihak yang tertangkap, anggota kepolisian melakukan tindak kekerasan di dalam kantor disaat menginterogasi. Ada pun, menurut keterangan Kapolda Sumbar, Suharyono, mengklaim tidak ada nama Afif Maulana dari 18 pemuda yang tertangkap.

Mahasiswa Terbebani Karena Keterlambatan Pencairan Dana KJMU

Di tengah kondisi abu-abunya kasus ini, Afif ditemukan tidak bernyawa, mengambang di bawah Jembatan bypass Kuranji. Kondisi tubuhnya mengenaskan setelah dilakukannya visum oleh Komnas HAM (25/6). Tulang rusuk Afif patah, di tubuh dan paru-parunya terdapat luka lebam. Dari temuan ini, menurut keterangan Komnas HAM, Afif sempat mengalami penyiksaan dahulu dan diduga oleh pihak kepolisian

Iklan

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyoroti dan mengamini kasus tersebut disebabkan oleh aparatur negara. Dari kasus ini, KontraS menandakan ketersingkapan fenomena gunung es kekerasan oleh aparatur negara. Hal ini terdapat di dalam rilis laporannya (26/6) bertajuk Situasi Praktik Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia di Indonesia.

Laporan tersebut mengungkapkan bahwa antara Juni 2023 hingga Mei 2024, terdapat setidaknya 60 peristiwa penyiksaan di Indonesia. Dari jumlah tersebut, polisi menjadi pelaku dominan dengan terlibat dalam 40 peristiwa, disusul oleh TNI sebanyak 14 peristiwa, dan sipir penjara dengan 6 peristiwa.

Dosa Besar Presiden Joko Widodo: Membuat Pendidikan Komersil dan Mahal

KontraS juga mencatat bahwa tindakan penyiksaan dilakukan di ruang terbuka dan tertutup. Hal ini menunjukkan kegagalan sistematis dalam penegakan hukum dan perlindungan hak asasi manusia (HAM). Korban dari praktik penyiksaan ini mencakup berbagai usia, termasuk anak-anak.

KontraS merekomendasikan pencegahan efektif terhadap penyiksaan dengan menyarankan Polri, TNI, Lembaga Pemasyarakatan, hingga Sipir untuk meningkatkan langkah preventif dan antisipatif. Mereka juga mendorong kerjasama dengan lembaga pengawas eksternal untuk meningkatkan akuntabilitas publik. Selain itu, disarankan modernisasi alat seperti penggunaan CCTV dan rekaman video selama penyelidikan yang dapat diakses oleh pihak terkait, termasuk kuasa hukum.

Menuntut pemajuan regulasi, KontraS mendorong penyiksaan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Kemenkumham RI) dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) untuk segera melakukan pembahasan Optional Protocol Convention Against Torture (OPCAT) agar segera diratifikasi oleh pemerintah Indonesia. KontraS juga mendorong agar kerja sama untuk pencegahan penyiksaan yang terdiri dari lembaga kembali berperan proaktif dalam mengakselerasi agenda ratifikasi, serta mendorong pemulihan yang efektif bagi korban penyiksaan.

Merespon hal ini, Koordinator Intelijen Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas), Dwi Sarwono menyampaikan, Kemenkumham memiliki komitmen untuk mengurangi tindakan kekerasan atau penyiksaan. Hal ini sudah diregulasi sesuai dengan amanat Undang-Undang No. 22 Tahun 2022, kemudian diturunkan menjadi Permenkumham No. 8.

Sarwono juga mengatakan, dari kementerian telah melakukan langkah-langkah penindakan terhadap pelaku penyiksaan di institusi pemerintah. Jika ditemukan bersalah maka akan ditindak lanjuti dengan pengenaan sanksi baik secara administratif maupun pidana.

“Kami memastikan aparat negara yang melakukan tindak kekerasan tidak akan dimaafkan” pungkasnya.

Koordinator KontraS, Dimas mengatakan komitmen pemerintah terkait hal ini masih jauh dari kata implementasi yang konkret. Katanya, argumentasi pemerintah masih sebatas normatif, tidak ada satu komitmen perbaikan dari peran dan tanggung jawab masing-masing lembaga yang bersangkutan.

Iklan

Dimas menyampaikan kekecewaannya terhadap aparat serta lembaga pemerintahan yang tidak menanggapi laporan-laporan kekerasan dan terkesan apatis terkait naiknya angka penyiksaan dari tiap tahun.

Tambahnya, Dimas menyoroti ketidakkonsistenan pemerintah dalam meratifikasi OPCAT, dari Convetion Against Torture (CAT) yang sudah diratifikasi sejak 1998. Hingga kini, aturan nasional untuk memasukkan penyiksaan sebagai tindak pidana baru akan berlaku pada 2026. Sebab dari lamanya pemberlakuan ini bagi Dimas dikarenakan pemerintah sering berdalih.

“Hal ini menunjukkan kurangnya kemauan politik untuk menghentikan penyiksaan” pungkasnya.

Reporter/Penulis: Akmal

Editor: Neto