Massa aksi yang tergabung dalam Aliansi Nasional Reformasi KUHP menggelar aksi di depan Gedung DPR RI. Tuntutan utamanya adalah menolak RKUHP.

Aksi yang dilaksanakan pada Senin (5/12/22) itu dipicu karena Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dianggap memiliki pasal-pasal karet yang dapat mencederai kehidupan demokrasi. Sebab, pasal-pasal karet tersebut dapat menjerat siapa saja yang mengkritik presiden beserta birokrasi negara lainnya. Maka dari itu, massa aksi juga melakukan tabur bunga dan membakar kitab RKUHP sebagai simbol kematian demokrasi negara Indonesia.

Massa aksi yang terdiri dari fraksi buruh, pelajar, mahasiswa, jurnalis, dan masyarakat sipil ini juga merasa DPR terlalu terburu-buru dalam mengesahkan RKUHP. Sebab, DPR berencana mengesahkan RKUHP pada Selasa (6/12/22) besok.

Melansir Tempo, pasal yang bermasalah adalah Pasal 188-189 tentang Penyebaran Ideologi Sosialisme dan Marxisme, Pasal 218-219 tentang Penghinaan terhadap Presiden, Pasal 240-241 tentang Penghinaan terhadap Pemerintah Negara, Pasal 246-248 tentang Kritik terhadap Pemerintah Negara, Pasal 263-264 tentang Berita Bohong, Pasal 300-302 tentang Pidana Agama dan Kepercayaan, Pasal 428 tentang Penghinaan Ringan, Pasal 67, 98-102 tentang Hukuman Mati, dan Pasal 413-414 tentang Perzinaan.

Adanya pasal-pasal karet dalam RKUHP juga dianggap bermasalah bagi kaum buruh. Menurut Sunarno selaku Sekretaris Jendral Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), RKUHP akan menghambat kebebasan berpendapat dimuka umum, sehingga juga menghambat perjuangan buruh menuntut hak-haknya.

“Orasi dan kritik adalah hal wajar terhadap pemerintah yang dinilai lamban atau gagal membuat kebijakan dan menyelesaikan kasus. Jika RKHUP disahkan, ruang-ruang demokratis tidak akan pernah tercipta lagi,” ujarnya.

Iklan

Baca juga: RKUHP Membunuh Demokrasi

Kemudian, Faith, anggota Serikat Pelajar Jakarta tidak bisa membayangkan kalau RKUHP disahkan. Ia bercerita, beberapa temannya pernah ditangkap polisi saat menyuarakan pendapat dalam aksi. Hal semacam itu bahkan terjadi ketika KUHP masih sebatas rancangan. Dengan raut wajah yang sengkarut bingung, ia pun berkata dengan mereka-reka “Bagaimana besok ketika sudah disahkan?” Menurutnya, demokrasi tidak akan ada kalau RKUHP menjadi payung hukum baru bagi pemerintah dan kepolisian.

Amros selaku perwakilan mahasiswa Papua mengatakan, pemerintah sebaiknya memikirkan ulang terkait rancangan ini. Menyuarakan pendapat bukanlah kriminalitas. Malahan, lanjutnya, dialog dua arah bisa menuntun ke penyelesaian masalah terhadap kebijakan pemerintah. Ia juga mengatakan, represifitas bukanlah gaya negara yang memangku prinsip demokrasi.

“Saya berharap bahwa lapisan hukum seharusnya menyeluruhi kepentingan umum. Juga, seharusnya DPR mendengarkan aspirasi rakyat, bukan malah menciptakan situasi perpecahan seperti ini. Alangkah baiknya RKUHP dicabut saja, merugikan,” kata Amros dengan penuh harapan.

Sayangnya, tak ada satu pun anggota DPR yang menemui massa aksi hingga aksi ditutup pada sore hari.

Penulis: Arrneto Bayliss

Editor: Asbabur Riyas