Intoleransi masih menjadi isu yang terus dikaji. Utamanya dalam hal beragama. Meskipun pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia sudah dilakukan tahun 2017 lalu, pemikiran kelompok Islam yang bercorak organisasi tersebut masih hidup. Hal itu nampak dari masih banyaknya kasus-kasus intoleransi.
Mudahnya masyarakat terprovokasi pola selubung keagamaan diawali oleh masifnya gerakan kelompok militan kanan yang mulai mendapat ruang sejak awal reformasi. Belakangan di tingkat kampus pun, gerakan islamis semakin masif berkembang. Kelompok itu menjual doktrinasi yang terstruktur, kata Eko Cahyono memaparkan penelitiannya dalam studi kasus menguatnya gerakan islamis yang diselenggarakan SETARA Institute di Hotel Ibis Tamarin, Jakarta Pusat. Jum’at (31/5/2019).
Berdasarkan penelitiannya di Institut Pertanian Bogor (IPB) tersebut, Eko Cahyono menyatakan, kelompok Islam militan ini cenderung eksklusif. Kelompok Islam ini memosisikan golongannya sebagai kelompok yang harus menyadarkan kelompok di luarnya. “Masyarakat umum jadi objek yang harus mereka gembalakan,” kelakarnya.
Lahirnya intoleransi akibat eksklusifitas kelompok militan pun tidak terelakan, bahkan di lingkungan IPB sendiri. Contoh kasusnya adalah pelarangan untuk mengucapkan selamat hari raya untuk penganut agama selain Islam. Meskipun kini sudah ditegaskan bahwa aturannya memperbolehkan, bahkan dilindungi.
Eko juga menyatakan, kelompok Islam militan ini memiliki pola yang sama, yaitu masuk melalui tiga kaki. Kaki pertama, Masjid atau musala. Kedua, organ intra seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan ketiga, unit kegiatan mahasiswa seperti Lembaga Dakwah Kampus (LDK), yang menjadi simpul penyebaran keagamaan bernuansa intoleran.
Bahkan, lanjutnya, khusus di IPB, asrama pun menjadi ruang masuknya kelompok Islam militan tersebut. Walaupun tidak menutup kemungkinan bahwa kampus lain demikian. Implikasinya, asrama IPB yang isinya beragam mahasiswa dengan latar belakang yang berbeda tersebut, mewajibkan adanya murottal pagi yang dibaca keras-keras.
“Dengan keadaan itu, Saya tanya. Bagaimana mahasiswa lain? Mereka (kelompok Islam militan) tidak peduli. Ironisnya, bahkan sampai ada claim mayoritas atas minoritas. Ungkapan mereka, Islam di negara lain ditindas. Beruntung, di Indonesia kita tidak menindas balik, dan sebagainya,” kata Eko, merisaukan.
Melalui hasil pengamatannya, rekrutmen mahasiswa IPB, mayoritas melalui Sekolah Menengah Atas (SMA) favorit. Ternyata kebanyakan SMA favorit, adalah yang sudah terpapar kelompok demikian. Refleksinya, menurut Eko, bagaimana persebaran kelompok militan tersebut, mulai dari Sekolah Dasar (SD), dan Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Iif Fikriati Ihsani, melalui penelitiannya di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, menjelaskan, kelompok Islam militan atau eksklusif ini lahir melalui Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI).
Melalui konsepnya, terdapat dua pendekatan yang digunakan oleh kelompok tersebut. Pertama, konsep tarbawi, pendekatan melalui pendidikan, yang pola perekrutannya melalui beberapa tahap. Mulai dari Dakwah, Liqa, Halaqah, Daurah, sampai Murabbi yang terus dioperasikan oleh Lembaga Dakwah Kampus. Kedua, Tanzini yaitu pendekatan melalui organisasi, yang dilakukan oleh KAMMI, yang bentuknya sudah dalam tataran ideologis.
Menurut Iif, perkembangan masif kelompok tersebut dilatarbelakangi oleh tidak adanya narasi tandingan dalam ruang yang mereka isi. Masjid adalah salah satu ruang yang biasa menjadi tempat bagi mereka melakukan penyebaran narasi. “Di masjid kampus satu, UIN, yang dekat student center itu narasi mereka kurang berkembang, karena banyak narasi tandingan di sana. Entah dari Mapala, dan Unit Kegiatan Mahasiswa lainnya,” ucapnya.
IIf menambahkan, rendahnya tingkat literasi mahasiswa pun rentan dimanfaatkan kelompok demikian untuk membangun narasi dominan. Selain itu, adanya formalisasi aturan seperti pewajiban sholat dan wajib pakaian syar’i dijadikan alat oleh mereka untuk membangun pola pikir yang terpolarisasi. “Kalau sudah terbangun polarisasi, maka mudah untuk selanjutnya ideologi mereka masuk,” tambahnya.
Menariknya, masih menurut Iif, kelompok ini pasti mengatakan setuju akan ideologi pancasila. Namun, narasi yang dibangun adalah delegitimasi atau ketidakpercayaan terhadap pemerintahan dan lembaga-lembaganya. Sehingga, arahnya tertuju pada mengubah sistem pemerintahan yang ada dengan pemerintahan keislaman.
Di Universitas Indonesia (UI), sebenarnya hampir sama. Berdasarkan penelitiannya, Ade Armando menyatakan bahwa proses masuk kelompok terdsebut pun melalui LDK dan KAMMI. Walaupun tidak semasif seperti dua kampus di atas. Kelompok islam militan ini disebutnya sebagai kelompok Islamis-Tarbiyah.
Ade mendefinisikan kelompok tersebut sebagai kelompok yang bercita-cita membangun masyarakat islamis, dan secara politis mewujudkan negara yang memastikan penegakan syariat. Perwujudannya adalah aturan-aturan yang berbasiskan syariah. Seperti tidak beribadah, dikenakan sanksi, atau wanita tidak berpakaian syar’i akan dikenakan sanksi. “Contoh yang paling dekat adalah Peraturan Daerah Syariah di Depok. Untungnya sudah dibatalin,” ucap Ade.
Meskipun di UI kelompok tersebut tidak begitu masif, namun menurut Ade, kelompok tersebut, yang secara terang ia sebut sebagai kelompok bayangan Partai Keadilan Sosial (PKS), sangat rapih dalam mengatur pola pergerakan. “Contoh, yang kasus kartu kuning, emang itu ide mahasiswanya? Bukan. Yang ngasih ide itu orang PKS. Dari luar UI. Hebat, kan?” Terangnya.
Pada umumnya, tambah Ade, gerakan masif yang terus mereka usahakan adalah menguasai lembaga strategis seperti Badan Usaha Milik negara (BUMN), institusi pendidikan, masjid, dan lainnya. “Dengan begitu, mereka tidak terkalahkan,” ucapnya.
Penulis: Muhammad Muhtar
Editor: Annisa Nurul H.S. dan M. Rizky Suryana