Sabtu, 21 Juli 2018, Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas (BEM UN) melakukan aksi mengenai kebijakan Sumbangan Pengembangan Universitas (SPU). Hebat memang. Salah satu organisasi kampus yang paling besar anggotanya cukup berani melakukan aksi di saat calon peserta ujian mandiri sedang mengerjakan ujian. Mereka berani keluar dari nilai moral yang ada.
Akan tetapi, perlu ditegaskan, gerakan tersebut terkesan aneh. Tidak memiliki strategi dan tujuan yang jelas. Aksi tersebut memperlihatkan keresahan yang dibawa oleh BEM UN saja. Selain itu, beberapa kelompok mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa UNJ Tolak SPU, juga kecewa dengan aksi yang dilakukan BEM UN. Sebab, sebelumnya BEM UN termasuk dalam anggota Aliansi Mahasiswa UNJ Tolak SPU.
Untuk membuktikan ketidakjelasan strategi dan tujuan aksi BEM UN, kiranya perlu dipaparkan secara singkat awal perjalanan mengenai kajian SPU dan terbentuknya Aliansi Mahasiswa UNJ sebagai respon dari kebijakan uang pangkal di UNJ.
Perjalanan Singkat Kajian SPU
Di UNJ, isu SPU atau biasa disebut uang pangkal tengah menjadi perbincangan hangat di kalangan mahasiswa. Sejak diberlakukannya SPU, beberapa kelompok mahasiswa membuat forum diskusi untuk membahas kebijakan tersebut, salah satunya ialah Solidaritas Pemuda Rawamangun (SPORA), Badan Eksekutif Mahasiswa tingkat Fakultas dan Universitas (BEM F dan BEM UN).
Keresahan atas aksi menolak adanya uang pangkal di berbagai perguruan menjadi situasi yang diperdebatkan, seperti aksi mahasiswa Universitas Negeri Semarang (Unnes) untuk menolak uang pangkal. Akan tetapi, aksi mahasiswa Unnes tidak menjadi latar belakang terjadinya forum diskusi. Sebab, sebelumnya beberapa mahasiswa UNJ tetap konsisten menolak komersialisasi pendidikan, seperti penolakan adanya UKT dan Uang pangkal di 2016.
Isu mengenai uang pangkal sebetulnya diketahui oleh BEM UN. Waktu itu, BEM UN menggelar demontrasi bertajuk Seruan Aksi UNJ Darurat Rektor pada Rabu, 9 Mei 2018. Aksi ini pun tidak memakan waktu lama untuk konsolidasi. Dalam aksi itu, salah satu isu yang dibawa ialah adanya kenaikan UKT. Selain itu, tersebar pula kabar dari birokrat: apabila UKT naik, maka tidak ada uang pangkal. Jika UKT stagnan, maka akan diberlakukan uang pangkal. Padahal waktu itu belum ada surat resmi adanya uang pangkal di UNJ.
Aksi tersebut dilakukan dengan bermodalkan massa dari BEM UN. Menurut mereka, ketiadaan rektor akan membuat UNJ tidak dapat membuat kebijakan akademik. Terutama peraturan syarat calon mahasiswa dan tanda tangan ijazah bagi mahasiswa yang lulus. Menurut mereka, tanpa adanya rektor tetap, mahasiswa tidak akan menerima tanda tangan dari rektor UNJ. Tanda tangan Pelaksana Tugas Harian (Plt) Rektor Intan Ahmad dianggap tidak sah. Padahal secara hukum, Intan Ahmad dapat membuat peraturan untuk calon mahasiswa baru dan menandatangani ijazah. Hal itu tentu saja dianggap sah oleh Kementerian Riset dan Teknologi—Pendidikan Tinggi (Kemeneristekdikti).
Tim Didaktika pernah bertanya soal urgensi aksi tersebut kepada Wakil Ketua BEM UN. Ia berkata, “sebentar lagi ada Dies Natalies UNJ, masa ga ada rektornya?” Kemudian ia menjelaskan ilustrasi ulang tahun di mana tidak ada orang yang meniup lilin di kue.
Saya jadi bingung apa sebenarnya tujuan awal aksi tersebut.
Akhirnya, setelah melakukan aksi, mereka dapat bertemu dengan Intan Ahmad. Dalam pertemuan itu, Intan Ahmad menjanjikan untuk mempercepat perumusan statuta. BEM UN juga mengajukan diri untuk terlibat dalam perumusan statuta. Usulan tersebut diterima birokrat kampus. Namun, BEM UN hanya diberikan posisi untuk memberikan pendapat dan saran saja. Sebab, final statuta ditentukan oleh pihak kampus. Akhirnya terlihat bahwa demokrasi yang diperjuangkan BEM UN hanya sekadar demokrasi palsu.
Mungkin capaian terbesar mereka ialah mahasiswa dilibatkan dalam perumusan statuta. Padahal mereka tidak memiliki suara yang setara dengan birokrat penyusun statuta. Selain itu, sebelum melakukan aksi tersebut, sebetulnya BEM UN tidak memiliki konsep idel mengenai statuta UNJ. Visi misi tandingan BEM UN dalam situasi perkembangan masyarakat pun mereka belum merumuskan. Oleh karena itu, menjadi wajar bila tawaran pihak kampus diterima begitu saja.
Terkait penjelasan uang pangkal, BEM UN menerima penjelasan dari pihak kampus. Menurut Komarudin, Wakil Rektor Bidang Keuangan, uang pangkal tidak bersifat memaksa. Masyarakat bebas untuk membayar atau tidak. Setelah itu, gerakan mereka menuntut uang pangkal dan UKT mulai menurun.
Kajian SPU dari Mahasiswa
Setelah kebijakan SPU ditetapkan, Forum Militan Independen (FMI), melakukan pertemuan untuk membahas masalah ini. FMI ialah aliansi mahasiswa yang cukup vokal menolak komersialisasi dalam dunia pendidikan. FMI melakukan pertemuan untuk membahas SPU dan meyakini bahwa SPU harus ditolak.
Kemudian BEM UN mencoba untuk mengundang beberapa elemen kampus. Waktu itu, FMI dan SPORA menjadi perwakilan organisasi non-BEM yang hadir. Dalam perdebatan tersebut, BEM UN menolak adanya komersialisasi pendidikan, tapi tidak menolak tegas adanya SPU. Sebab, menurut mereka SPU dapat dikawal dengan meminta transparansi data nilai dan data pengisian SPU calon peserta jalur mandiri.
Sedangkan, FMI dan SPORA, menolak adanya SPU. Menurut mereka, SPU ialah bentuk halus uang pangkal yang pernah diterapkan di UNJ pada 2016. Waktu itu, UNJ menerapkan uang pangkal yang mewajibkan calon peserta ujian mandiri membayar 15juta. Namun dibatalkan karena penolakan aliansi mahasiswa.
Dalam forum itu juga diputuskan, akan melakukan mimbar bebas. Namun, mimbar bebas tersebut tidak pernah dilakukan. Hanya menjadi wacana saja.
Rabu, 11 Juli 2018, Red Soldier Fakultas Ilmu Sosial (FIS) dan BEM Prodi Pendidikan Sosiologi, mengadakan kajian mengenai SPU. Dalam diskusi tersebut, SPU dipandang sebagai bentuk komersialisasi dalam perguruan tinggi. Pandangan tersebut didasarkan atas pandangan ideal bahwa pendidikan seharusnya wajib diberikan kepada masyarakat tanpa diskriminasi—dalam hal ini level ekonomi seseorang. Dalam forum ini, hadir beberapa ketua dari berbagai elemen mahasiswa, diantaranya SPORA, DKS, BEM FIS, dan BEM UN.
Kemudian dalam forum diskusi ini diputuskan akan membentuk aliansi mahasiswa. Namanya ialah Aliansi Mahasiswa UNJ Tolak SPU.
Aliansi Mahasiswa UNJ memutuskan untuk melakukan mimbar bebas pada Kamis, 12 Juli 2018 di Plaza UNJ. Tujuanya untuk mendengarkan keresahan mahasiswa lain tentang SPU. Akhirnya mimbar bebas dilaksanakan, waktu itu beberapa mahasiswa mengeluarkan pendapatnya mengenai SPU.
SPORA dan BEM FIS mendorong agar secepatnya melakukan aksi menolak SPU. Sedangkan, BEM UN masih mempertimbangkan kembali. Menurutnya, SPU perlu melakukan kajian dan pengumpulan data lebih dalam lagi. Padahal sebelumnya mereka yang mengulur-ngulur waktu pembuatan aliansi. Sebenarnya waktu yang diulur itu bisa digunakan untuk melakukan mendalam ‘kan? Sampai akhirnya, mimbar pada Kamis dilaksanakan. Selain itu, mereka juga memperhitungkan situasi mahasiswa yang masuk dalam keadaan menjelang liburan semester.
Namun, akhirnya aksi dilakukan juga. BEM UN sepakat bahwa mereka mendukung adanya aksi dan masuk dalam aliansi. Saya berkara demikian karena mereka ikut mempersiapkan aksi dan tidak menolak masuk aliansi.
Aksi direncakan pada Jumat, 13 Juli pukul 16.00. Akan tetapi, aksi baru bisa dimulai pukul 16.30, sebab terhambat dengan ketiadaan pengeras suara. Padahal perlengkapan aksi seperti, banner dan poster sudah ada.
Saat itu, pengeras suara untuk aksi ada di dalam sekretariat BEM UN. Sekitar pukul 2 siang, ketika perwakilan aliansi mau mengambil alat tersebut, pintu dikunci. Mereka sudah berusaha menelepon beberapa anggota BEM UN. Namun, tidak ada respon dari anggota BEM UN. Beruntungnya, anggota aliansi mengenal beberapa organisasi yang memiliki pengeras suara dan meminjamnya.
Kecurigaan aliansi timbul dari adanya peristiwa ini. Beberapa orang curiga bahwa BEM UN sengaja untuk mengunci sekretariat agar aksi tidak dapat dilakukan. Hal tersebut dibuktikan dengan tidak adanya anggota mereka yang hadir waktu itu. Sebetulnya, koordiantor lapangan yang sudah ditetapkan berlatarbelakang BEM UN, yakni Green Force. Namun, setelah aksi selesai, ia tidak ikut melakukan evaluasi. Alasannya, ada urusan mendadak. Akhirnya, mereka tidak dapat dimintai kejelasan. Meskipun sifat BEM UN seperti itu, aksi tersebut tetap berjalan lancar.
Elitisme Gerakan Mahasiswa
Aliansi Mahasiswa UNJ terkejut ketika BEM UN memberitahukan seruan aksi mengenai SPU. Aksi tersebut dilakukan Sabtu, 21 Juli 2018. BEM UNJ mengundang mahasiswa untuk ikut serta dalam mimbar tersebut. Waktu itu, ujian mandiri sedang dilakukan di UNJ.
Hal tersebut memperkuat kecurigaan aliansi, bahwa BEM UN memang hanya mementingkan diri sendiri. Keikutsertaan mereka dalam aliansi hanya bualan belaka. Mereka sengaja memperlihatkan peduli dengan dibentuknya aliansi, padahal keterlibatan mereka sebatas eksistensi belaka.
Sebagian anggota aliansi kaget mendengar kabar itu. Sebagian lagi melihat hal itu biasa saja. Kelompok kedua berpendapat sudah menjadi sifat BEM UN seperti itu. Mereka menghindar untuk bergabung dengan aliansi. Sebab, BEM UN memiliki agenda tersendiri. Salah satunya ialah melaksanakan program kerja mereka. Melakukan aksi merupakan program kerja BEM UN.
Sifat BEM UN mengingatkan mereka mengenai tindakan BEM UN sewaktu Intan Ahmad diangkat menjadi Plt Rektor. Waktu itu Djaali sudah dipecat dari jabatanya sebagai rektor. BEM UN bergabung dengan aliansi mahasiswa, yaitu FMI. Namun, mereka menyimpang dari aturan yang disepakati forum. Yaitu, mengenai dresscode aksi dan menyalahi aturan tim audiensi.
Mengenai dresscode, FMI sepakat tidak menggunakan almamater UNJ, tetapi menggunakan pakaian hitam. FMI menganggap penggunaan almamater terkesan menjadi gerakan elitis saja. Sebab, dalam FMI tidak hanya dari perwakilan mahasiswa. Pedagang, karyawan, dan dosen juga masuk dalam aliansi. Namun, BEM UN menginformasikan kepada masyarakat, aksi akan dilakukan menggunakan almameter UNJ.
Mereka juga melanggar perjanjian anggota dalam tim audiensi. Tim audiensi ialah kelompok yang ditugaskan untuk bertemu dengan Intan Ahmad. Mereka bertugas memberitahukan tuntutan mahasiswa, berdasarkan tuntutan yang sudah disepakati.
Waktu itu, tim audiensi hanya diisi oleh lima orang saja dari berbagai perwakilan. Namun, BEM UN menambah satu anggota mereka masuk dalam tim audiensi. Bahkan, BEM UN membuat surat pernyataan sikap tandingan. Surat itu mengatasnamakan Ketua BEM UN Miqdad, Perwakilan Aliansi Dosen, Ubaidilah Badrun, dan Plt Rektor. Nama FMI tidak dibubuhkan di situ. Beruntung, Intan tidak menandatangani tuntutan itu. Sebab, salah satu tim audiensi mendorong Intan untuk berbicara di depan massa.
Dua kejadian itu sudah dapat menjadi kesimpulan. Bahwa tabiat BEM UN memang seperti itu, yaitu bermanuver untuk mencapai keinginan mereka sendiri. Tolak ukur bergabung dalam aliansi sebatas dilihat dari kemanfaatan bagi mereka. Jika masuk aliansi pun akhirnya mereka melakukan tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan kesepakatan forum. Aksi BEM UN pada Sabtu 21 Juli, memperjelas prasangka Aliansi Mahasiswa UNJ.
Selain itu, aksi itu terkesan tidak memilliki strategi dan tujuan yang matang. Ada tiga hal yang mendasari hal itu. Pertama, penggunaan almamater malahan membuat calon peserta ujian mandiri yang ingin ikut bergabung merasa minder. Kesan elitis yang ditampilkan BEM UN membuat tujuan untuk mendengarkan aspirasi calon peserta tidak terjadi.
Kedua, dari waktu yang ditentukan pun tidak jelas apa maksudnya. Calon peserta yang sedang melakukan ujian akan terganggu dengan adanya aksi tersebut. Hal itu akan menurunkan konsentrasi mereka untuk mengerjakan soal ujian. Oleh karena itu, mereka memutuskan untuk tidak menggunakan pengeras suara. Hasilnya, aksi yang dilakukan hanya didengarkan oleh kalangan mereka saja. Aksi sendiri dan penyampaian aspirasi sendiri. Itu lebih tepatnya.
Ketiga, ada indikasi tindakan yang dilakukan memang bertujuan untuk mencari kader. BEM UN ingin menunjukan kepada calon mahasiswa bahwa mereka ialah satu-satunya gerakan mahasiswa yang ada di UNJ. Jadi, tujuan mengelar mimbar bebas untuk calon peserta hanya kedok belaka.
Saya sendiri, sebetulnya tidak peduli dengan apa yang dilakukan oleh BEM UN. Sebab, BEM UN ialah kelompok lucu-lucuan. Beruntung, tidak semua anggota BEM demikian. Sayangnya, BEM yang sifat keorganisasisannya patron-client justru membuat seluruh anggotanya terjerumus juga pada keputusan sang ketua. Konyolnya, kalau ketua BEM UN konyol, maka kekonyolannya pun diikuti seluruh anggotanya. Contohnya, persoalan sikap BEM tadi.
Pandangan BEM UN pun bukan keresahan dari mahasiswa UNJ. Lebih tepat dikatakan keresahan mereka sendiri. Mereka sebetulnya lebih cocok mengadakan seminar dan lomba. Sebab, mereka dididik untuk itu.
Namun, bagi Aliansi Mahasiswa UNJ Menolak SPU, hal itu membuktikan suatu hal. Bahwa BEM UN bergerak atas prinsip eksistensi belaka. Dalam diri mereka tidak ada nilai keterbukaan, sikap terbuka untuk menerima perbedaan pendapat, dan melaksanakan aturan yang menghargai forum. Melaksanakan aturan saja tidak dilakukan, apalagi menghargai hasil keputusan forum.
Mungkin, faktor utamanya ialah agenda politik praktis BEM UN.
Itu kesimpulan saya. Silahkan pembaca menyimpulkan sendiri.
Penulis : Hendrik Yaputra
Editor : Lutfia Harizuandini