Pada 13 April 2019 jalan-jalan di Jakarta dipenuhi oleh konvoy kendaraan bermotor lengkap dengan aksesoris seperti bendera partai dan pengeras suara. Selain di jalan, sebelumnya muncul seruan ‘’putihkan GBK’,  Stadium terbesar itu pun dipenuhi masyarakat berpakaian serba putih.

Namun, tidak semua kegiatan politik soal pemilu terjadi di jalan-jalan atau Gelora Bung Karno. Beberapa kendaraan menuju Cikini dan terparkir di Gedung Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta. Hari itu, Sabtu 13 April 2019, sekitar pukul 14.00, di lantai satu gedung LBH Jakarta, berlangsung acara ‘’Temu Kelu Warga’’.

Acara ini diawali dengan konferensi pers dan deklarasi golput menanggapi pemilihan umum pada 17 April 2019. 

Pers rilis menjelaskan gerakan golput adalah politik independen intersektor mencakup agraria dan lingkungan hidup, buruh dan ketenagakerjaan, anti-korupsi, militerisme, Hak Asasi Manusia masa lalu dan sekarang, reformasi hukum, serta lembaga peradilan. 

Nining Elitos, perwakilan dari serikat buruh, menyebutkan bahwa pemilu 2019 bukan milik rakyat. Ia menjelaskan keadaan buruh yang memperjuangkan hak kesejahteraan mendapat kriminalisasi. ‘’Jika kita lihat buruh, memperjuangkan haknya justru dikriminalisasi. Contohnya di Gresik pengurus serikat buruh dipenjara karena menolak outsourcing,’’ tuturnya.

Ia menambahkan buruh hanya jadi objek semata untuk mendapatkan suara. Baginya, gerakan golput menjadi hukuman bagi mereka yang sekedar mencari kursi alih-alih membawa kepentingan rakyat.

Iklan

Sejalan dengan Nining, saat konferensi pers Roy Murthado, Koordinator Front Nahdiyyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam, menyinggung reforma Agraria. Menurutnya, Reforma Agraria seharusnya bertujuan untuk landasan pembangunan, mengurangi kesenjangan alat produksi, dan mengikis konflik agraria. Namun, dalam pelaksaannya hal tersebut tidak terwujud. Pseudo-reforma Agraria, sebutnya.

Baginya, sama seperti sebelumnya, pemilu dikuasai oleh oligarki sehingga argumen lesser evil tidak berlaku. Konsep lesser evil diperkenalkan oleh pemikir politik Jerman sebagai narasi dilema moral menghadapi pemimpin yang sama-sama berpotensi ”jahat’ atau immoral, sehingga, publik bisa memilih calon yang berpotensi immoral lebih kecil. Sehubungan dengan itu, Desi Ratriyanti dalam kolom opini detik.com berjudul ”Absudritas Politik Lesser Evil” menyatakan tidak ada kriteria menentukan calon presiden 2019, lebih immoral dari lainnya.   

Selain itu, Roy mengeluhkan sistem politik hanya memberikan ruang bagi elit memilihkan untuk rakyat. Seharusnya gak boleh golput, ujarnya, namun, tidak ada alat politik alternatif. Selain itu, ia menambahkan, kedua kubu politik sama-sama menjual isu politik identitas.

Menanggapi itu, harus muncul narasi alternatif yang jadi kubu politik. Menurut Roy, narasi tandingan harus memberikan argumentasi bahwa kedua calon tidak mampu mengatasi masalah-masalah.

Sedangkan saat ditanyai mengenai kredibilitas gerakan, Roy menjelaskan kebutuhan untuk keterlibatan seluas mungkin dari semua elemen masyarakat.

Sependapat dengan Roy, Ambrosius, perwakilan dari Papua dan ketua Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua Se-Indonesia, mengatakan bahwa rakyat butuh komitmen. Ia menceritakan, di Papua upaya melakukan golput menghadapi himbauan penangkapan aparat. ‘’ Saya rasa kedua paslon sama saja, sehingga saya mewakili rakyat papua yang akan golput,’’ ucapnya.

Saat ditanyai pertimbangan golput, Ambrosius menekankan soal komitmen pemerintah soal kejelasan pelanggaran HAM dan Papera. Ia menjelaskan komitmen Presiden dalam Nawacita perihal penuntasan pelanggaran HAM alih-alih fokus pada pembangunan.

Ia menyinggung beberapa kasus pelanggaran HAM di tanah Papua. ”Calon presiden sekarang pun dulu terlibat dalam operasi militer disana,” ucapnya. Sampai hari ini, operasi militer masih terjadi di Nduga sehingga memaksa warga untuk mengungsi ke daerah sekitar.

Konferensi pers diakhiri dengan pembacaan maklumat dan aksi simbolik mencelupkan jari ke tinta putih. Harus tangan kiri (yang jarinya dicelupkan), ucap pembawa acara mengarahkan penonton turut memutihkan jari.

Penulis: Faisal Bahri

Iklan

Editor: Uly Mega