Sivitas akademika UNJ menyelenggarakan Deklarasi Rawamangun “Mengawal Demokrasi untuk Pemilu Bersih dan Damai di Plaza UNJ pada Selasa (06/02). Dihadiri oleh guru besar, dosen, alumni, dan mahasiswa UNJ, deklarasi tersebut didasari oleh berbagai fenomena politik yang mencederai nilai-nilai demokrasi menjelang Pemilu 2024.
Secara bergantian, Ketua Senat UNJ, Hafid Abbas; Dosen Pendidikan Sosiologi UNJ, Ubedilah Badrun; dan sejumlah dosen serta mahasiswa UNJ lainnya membacakan Deklarasi Rawamangun. Deklarasi ini berisi sepuluh poin pernyataan sikap sivitas akademika UNJ, salah satunya terkait desakan penegakan nilai-nilai demokrasi di Indonesia.
“Fenomena politik saat ini sangat membahayakan masa depan demokrasi karena perilaku oknum elit politik yang mengabaikan nilai-nilai moral, etika, dan hukum,” ucap Dosen Sosiologi UNJ, Yuanita Aprilandini.
Senada dengan Yuanita, Ubedilah Badrun menilai abainya nilai, moralitas, dan etika berujung pada kecenderungan demokrasi yang kian memburuk. Pria yang kerap disapa Ubed itu menyinggung mengenai Dewan Kehormatan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang memberi sanksi peringatan keras kepada Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sebabnya, KPU menerima pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden.
Sebelumnya Mahkamah Konstitusi (MK) membuat keputusan yang memuluskan putra sulung Presiden Jokowi itu menjadi calon wakil presiden. Belakangan para hakim yang memutuskan putusan tersebut dinilai bermasalah secara etik oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK).
Ubed berharap bahwa kedepannya Pemilu 2024 akan berjalan jujur dan tanpa kecurangan. Jika nantinya kecurangan masif terjadi, dirinya mengatakan akademisi akan bersama rakyat untuk menyelamatkan kondisi bangsa.
“Artinya bahwa jika kecurangan terus merajalela, kami siap turun ke jalan bersama rakyat,“ tegas Ubed.
Adapun mengenai salah satu dasar lain adanya deklarasi ini, Ubed menyatakan UNJ merupakan universitas perjuangan. Dalam dinamika sejarahnya, para sivitas akademika UNJ kerap bersuara kritis. Ia mencontohkan Della Noer diberhentikan sebagai Rektor UNJ karena mengkritik tindakan represifitas aparat saat Peristiwa Malari.
“Semangat sivitas akademika UNJ tidak pernah redup dan berkompromi dengan kekuasaan yang mengkhianati cita-cita proklamasi,” ucap Ubed.
Sebelumnya gelombang kritik sivitas akademika telah terjadi di berbagai kampus atas kondisi perpolitikan Indonesia. Aksi itu kemudian dinilai oleh Tim Relawan Prabowo-Gibran, Immanuel Ebenezer punya kecenderungan partisan terhadap kelompok tertentu.
Hafid Abbas menyanggah pandangan tersebut. Dirinya menilai kampus merupakan komunitas ilmiah yang selalu melihat kebenaran ilmiah. Dengan dasar ilmiah, ia menilai kondisi Indonesia hari ini berbahaya.
“Kita sampaikan bahaya itu terjadi, jangan lagi kami disalahkan. Jadi, kami tidak punya kekuatan selain kekuatan moral keilmuan. “ ucap Hafid.
Hafid juga menilai Deklarasi Rawamangun bukan merupakan bentuk provokasi. Menurutnya dikatakan bentuk provokasi seperti membakar berbagai barang. Pada aksi ini tidak ada hal seperti itu.
Selepas deklarasi usai, sembari diguyur hujan, sivitas akademika kemudian berjalan kaki menuju gerbang depan Kampus A UNJ. Ubed mengatakan aksi itu merupakan simbol jika kondisi ke depan mengharuskan segenap sivitas akademika turun ke jalan
Penulis/reporter: Andreas
Editor: Ragil Firdaus