“Emang bisa jadi DPR buta begitu?”
Ucapan semacam itu amat sering terdengar ketika Sikdam Hasyim Gayo sedang berkampanye di kampung halamannya sendiri. Kadang samar-samar di belakang, kadang ia mendengar langsung di depan mukanya.
Caleg DPR RI dari Partai Persatuan Pembangunan tersebut menjadi satu-satunya Caleg tingkat DPR RI yang menyandang status tuna netra. Mulanya, Sikdam terlahir dengan penglihatan normal. Sampai kecelakaan lalu lintas 13 tahun lalu membuat ia kehilangan seluruh indera penglihatannya.
Berbulan-bulan lamanya Sikdam menjalani masa pemulihan. Bukan perkara mudah baginya untuk menerima kenyataan penglihatannya harus direnggut. Tak jarang pikiran untuk bunuh diri muncul di kepalanya.
“Rasanya tidak ingin keluar rumah,” kata Sikdam lewat sambungan telepon, Kamis (13/12).
Namun ia sadar, tidak bisa terus berpasrah pada keadaan. Sikdam yang waktu itu berumur 21 tahun menemukan jalan perjuangan baru dalam hidupnya.
“Saya gak bisa begini terus, saya ingin memperjuangkan teman-teman disabilitas lain, membantu mereka,” ungkapnya.
Selepas masa pemulihan, Sikdam bersama beberapa temannya membentuk Disability Youth Center Indonesia yang bertujuan membantu teman-teman disabilitas muda. Terutama dalam hal pendidikan, kesehatan, layanan publik, dan ketenagakerjaan.
Beberapa pencapaian internasional pun telah ia dapatkan termasuk penghargaan Award for Young People dari Pangeran Philip. Namun, satu dekade perjuangan bersama teman-teman disabilitas, Sikdam masih merasa belum cukup.
Padahal menurut Sikdam, saat ini penyandang disabilitas memiliki dua masalah besar, yaitu stigma sosial dan akses. Pikirnya, penting bagi pemerintah untuk memberikan edukasi dan sosialisasi kepada khalayak umum tentang penyandang disabilitas.
Selain itu, bagi Sikdam, pemerintah juga perlu untuk memberikan partisipasi yang aktif bagi penyandang disabilitas, terutama dalam perumusan kebijakan. Terkadang Sikdam merasa kesal bila pemerintah seolah menganggap masalah disabilitas hanya masalah dinas sosial. “Nggak boleh, itu harusnya ke semua sektor, seperti kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan.”
“Saya berpikir selama kebijakannya belum inklusif, selama peraturan atau regulasi masih gitu-gitu aja, pasti kejadian (diskriminasi) itu terulang terus,” lanjutnya.
Dalam Pemilu tahun ini, Sikdam memperoleh nomor 6 Dapil 2 Aceh yang meliputi delapan kota dan kabupaten. Awalnya, partai pengusung Sikdam menawarkannya masuk ke Dapil DKI Jakarta. Namun ia menolak. Bagi Sikdam Jakarta terlalu kompetitif, tidak mungkin masuk Senayan lewat sana. Makanya ia beralih ke Aceh, kampung halamannya sendiri.
Lain ladang, lain juga ilalangnya. Sikdam memang tidak menemukan nama politisi besar atau artis di dapilnya. Namun ia merasakan sendiri bagaimana eksklusif dan kotornya politik di daerah.
“Ketika saya ngasih brosur mereka langsung tembak saya, ada uang tidak? ” ucap Sikdam.
Bahkan diskriminasi terhadap disabilitas lebih besar terjadi di daerah pemilihannya. “Saya jadi paham kenapa dulu ditawarkannya masuk dapil Jakarta,” ucap Sikdam dengan sedikit tertawa.
Politik Kita Belum Inklusif
Bila menilik angka, jumlah penyandang disabilitas di Indonesia menembus 22,5 juta jiwa. Dalam pemilu tahun ini, yang terdaftar sebagai daftar pemilih tetap (DPT) di KPU sekitar 1,1 juta.
Tahun ini di lingkup DPR RI, terdapat 10 orang caleg yang dikategorikan sebagai disabilitas. Partai PPP menjadi penyumbang terbesar caleg disabilitas dengan jumlah total tiga orang, termasuk Sikdam, Abdul Ghofur, dan Usnan Batubara (Ucok Baba). Kebanyakan dari calon tersebut mengalami disabilitas fisik, hanya Sikdam seorang yang alami disabilitas netra.
Tujuh caleg lainnya berasal dari beberapa partai langganan Senayan, seperti Nasdem, PKS, dan Golkar. Sementara sisanya tersebar di Gelora, Partai Bulan Bintang, Perindo, dan PSI.
Pengamat politik Universitas Brawijaya, Rachmad Gustomy mengakui sistem perpolitikan nasional memang belum inklusif bagi kaum disabilitas. Bukan hanya dari representasi, lebih jauh Gustom melihat kaum disabilitas bahkan tidak dilibatkan dalam pembuatan kebijakan untuk mereka.
“Jangankan untuk milih disabilitas, dalam policy making saja tidak dilibatkan,” ucapnya pada Jumat (2/24).
Bagi Gustom, partai politik hari ini tidak memberikan ruang yang cukup bagi disabilitas untuk dapat berpartisipasi secara aktif. Baginya, kaum disabilitas yang kebanyakan hidup di bawah garis kemiskinan tidak dapat menembus Senayan sebab kalah dengan politisi bermodal besar.
“Kalau butuh ya butuh, gimana sampeyan mau buat kebijakan disabilitas tapi merasakan aja enggak, melibatkan enggak, yang original itu kan yang merasakan kan?” katanya.
Tidak hanya sampai situ, Gustom juga merasa tidak cukup bila partisipasi politik hanya dikaitkan dengan representasi di DPR. Meski ia belum menemukan model politik afirmatif yang cocok bagi penyandang disabilitas. Namun, yang terpenting adalah perluasan akses politik dan pelibatan dalam pembuatan kebijakan.
“Bukan seperti memberi kuota, lah wong kita memperjuangkan (kuota) 30 persen perempuan saja tidak bisa,” ungkapnya.
Bagi Gustom, perluasan akses akan membuat disabilitas bisa mandiri. Ia mencontohkan di Inggris Raya, fenomena pengguna kursi roda berkeliling sendiri itu hal biasa. Tugas negara, kata Gustom adalah membagikan kemampuan dan pengetahuan agar mereka dapat mengadvokasi diri sendiri.
“Jangan tiap ada program disabilitas netra programnya latih pijat, disabilitas daksa itu jahit, memang semua tuna netra bisa mijat? Itu sok tau soal hidup orang lain,” katanya. “Harusnya kan maumu apa, kita bantu bukakan aksesnya,” tutup Gustom.
Kurang Perhatian dan Pelibatan
Pada 2020 lalu, Indonesia berada di peringkat buncit dalam indeks inklusivitas pada disabilitas dengan skor hanya 26,5. Indonesia bertengger di peringkat 125, di bawah Filipina, Vietnam, Singapura, dan Thailand.
Survei Kompas pada Januari 2023 lalu bahkan menunjukan 56,3 persen penyandang disabilitas merasa pemerintah masih belum menyediakan fasilitas dan akses yang memadai. Hanya 39,9 persen saja yang merasa sudah cukup memadai.
Refi Zulkarnain, seorang penyandang disabilitas netra menuturkan hal yang sama. Bagi Refi, permasalahan disabilitas hari ini adalah pemerataan akses, terutama fasilitas umum, dan kebutuhan penunjang lainnya. Apalagi di kota-kota kecil yang belum ramah pada disabilitas.
Selain itu, lanjut Refi, masyarakat juga belum memiliki pemahaman yang baik tentang disabilitas. Sehingga terkadang membuatnya kesulitan dalam berkegiatan.
“Misal kayak ada orang dagang di guiding block trotoar,” ungkapnya pada Minggu (11/2).
Baginya, kunci dari permasalahan disabilitas sendiri adalah pelibatan mereka dalam setiap pembuatan kebijakan. Ia merasa komunitas disabilitas kurang dilibatkan dalam setiap kebijakan.
Ia pun menyambut baik bila memang ada perwakilan disabilitas di DPR. Refi merasa hal ini penting guna menyuarakan kebutuhan disabilitas itu sendiri.
“Saya harap output dari pemilu sekarang itu adanya peningkatan kesadaran dan perhatian terhadap kebutuhan dan hak disabilitas, juga peningkatan representasi dalam berbagai level kebijakan dan pembuatan keputusan,” kata Refi.
Belajar dari Jepang
Pada 2019 lalu, Eiko Kimura dan Yasuhiko Funago terpilih menjadi wakil rakyat Jepang di parlemen. Eiko berusia 54 tahun ketika terpilih, ia menderita cerebral palsy sejak bayi. Sementara Yasuhiko lebih tua delapan tahun dibanding Eiko, ia mengalami Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS) yang menyebabkan pelemahan otot.
Keduanya menjadi anggota parlemen Jepang pertama yang selalu menggunakan kursi roda. Mereka diusung oleh partai populis kiri Reiwa Shinsengumi, yang merupakan pecahan dari Partai Liberal Jepang. Hanya mereka berdua lah perwakilan dari partai Reiwa Shinsengumi di parlemen Jepang.
“Aku mungkin terlihat lemah, tapi aku punya nyali lebih dari yang lain karena ini adalah masalah hidup dan mati bagiku,” kata Yasuhiko kepada BBC, 1 Agustus 2019.
Kini, Yasuhiko berada di komite yang membawahi pendidikan, kebudayaan, dan penelitian. Sementara Eiko berada di bidang pertanahan, infrastruktur, transportasi, dan pariwisata. Keduanya mempromosikan pembangunan yang inklusif bagi kaum disabilitas Jepang yang berjumlah lebih dari 10 juta orang. Seperti Eiko yang membantu peningkatan kursi disabilitas di transportasi umum.
“Saya percaya bahwa sangat penting bagi penyandang disabilitas untuk memiliki kebebasan bergerak karena kita perlu memiliki kemampuan untuk meninggalkan rumah atau fasilitas dan hidup mandiri,” kata Eiko pada Equal Entry, 12 Januari 2022. “Saya berjuang setiap hari untuk mewujudkan hal ini,” tutupnya.
Reporter/Penulis: Izam Komaruzaman
Editor: Ezra Hanif