Kebanyakan tayangan televisi tidak mendidik. Masyarakat harus terlibat aktif mengontrol tayangan yang disuguhkan perusahaan media.
Dari kiri ke kanan: Perdana Putri (kiri) Susi Fitri (Tengah) Indra Gunawan (Kanan)
Senin (28/9) –Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta (BEM FIS UNJ) mengadakan acara seminar tentang pertelevisian dengan tema “Degradasi Kualitas Tayangan Televisi Indonesia” di gedung Sertifikasi Guru lantai 9.
Terkait tema, Zulfi Ikhsan Putraji selaku ketua pelaksana mengungkapkan bahwa kondisi pertelevisian Indonesia saat ini yang mengalami degradasi nilai dan moral. Contohnya kasus pembunuhan yang dilakukan oleh siswa karena meniru adegan dari televisi. “Dari segi kualitas, tayangan televisi Indonesia mengalami penurunan” ujarnya.
Di sisi lain, televisi merupakan media yang paling banyak digunakan saat ini. “Televisi menjadi media informasi yang mempengaruhi dibandingkan koran yang punya pengaruh, tetapi nggak besar,” tambahnya.
Kemudian Putraji menceritakan bahawa acara ini berangkat dari diskusi antara BEM FIS UNJ dan REMOTIVI terkait kondisi pertelevisian Indonesia saat ini. Setelah mencapai kesepakatan, kedua belah pihak setuju untuk mengadakan acara ini.
Acara yang dihadiri sekitar 70 mahasiswa ini dimulai dari pukul 09.30 WIB. Pada acara ini hadir tiga pembicara yaitu Perdana Putri dari REMOTIVI, Dosen Bimbingan Konseling UNJ Susi Fitri, Indra Gunawan dari Tabloid TRANSFORMASI dan Wakil Ketua BEM FIS UNJ Andika Ramadhan sebagai moderator.
Perdana Putri menjelaskan bahwa kondisi pertelevisian Indonesia saat ini didominasi oleh pihak swasta seperti RCTI, SCTV, METRO TV, TV ONE, dan lain sebagainya lebih mementingkan aspek ekonomi dan politik dibandingkan warga (masyarakat).
Buktinya penayangan iklan yang jauh melewati batas (normalnya 20%) sampai 50%. Kemudian tayangan bukan didasari kebutuhan warga seperti; serial Ganteng-ganteng Serigala, 7 Manusia Harimau atau pernikahan Raffi Ahmad-Nagita Slavina. Bahkan sering kali media digunakan untuk mendukung salah satu partai politik (parpol), misalnya, Surya Paloh sebagai pemilik METRO TV dan pimpinan Partai Nasional Demokrat. Hal ini juga dilakukan media-media lainnya.
Susi Fitri menambahkan bahwa siaran di televisi tidak memacu warga untuk berpikir secara kritis dan tidak menggambarkan kenyataan. Contohnya, kebanyakan yang dipertontonkan adalah kehidupan ala melayu (Sumatra dan Jawa). Padahal, Indonesia sangat beragam, ada Arab, Cina, Papua, dan banyak lainnya.
Dia pun mengkritik tayangan iklan dari layanan masyarakat yang mulai “tolol”. “Maksudnya gini, iklan dari layanan masyarakat dari kementerian tertentu, dia hanya mengatakan sesuatu yang memang pekerjaan dia. Dia tidak memberi informasi lain,” ucapnya. Susi mencontohkan iklan Kemendikbud yang berisi tentang program wajib belajar 12 tahun. Menurutnya, informasi tentang beasiswa lebih penting untuk diberitahukan.
Selanjutnya, Indra Gunawan memaparkan relasi antara tayangan televisi dengan gerakan mahasiswa. Menurutnya, banyak tayangan televisi tidak mendidik dan sering menyuarakan janji-janji kebohongan para politisi. Keadaan ini seharusnya memotivasi warga, terutama mahasiswa untuk merumuskan tindakan yang bisa memperbaiki semua ini.
Senada dengan Indra, Putri menganjurkan warga untuk mendorong komisi penyiaran Indonesia (KPI) untuk bertindak. Menurutnya, banyak kasus KPI bertindak lamban. Misalnya, penutupan program Yuk Keep Smile baru dilakukan setelah mendapat protes keras dari masyarakat. (Fahri)