Masa pemerintahan presiden kedua Indonesia Suharto selama 32 tahun yang bernuansa otoritatif, kerap mengundang perlawanan untuk menggantikan rezim orde baru (orba). Salah satunya ialah gerakan mahasiswa yang mampu merubah rezim Orba yang otoriter menjadi era demokrasi.
Tidak hanya mahasiswa, selama orba peran memperjuangkan demokrasi juga memunculkan kelompok intelektual, seperti Forum Demokrasi (Fordem) yang juga melakukan perlawanan terhadap demokrasi semu ala orba.
Melalui buku “Demokrasi dan Toleransi dalam Represi Orde Baru,” yang diluncurkan pada acara diskusi buku yang dilaksanakan pada Selasa (24/4) di Ruangan Serba Guna (RSG) Fakultas Ilmu Sosial (FIS) Universitas Negeri Jakarta (UNJ), penulis mencoba menggali berkas sejarah mengenai keberadaan Fordem.
Acara yang dihadiri civitas academica ini turut mengundang penulis buku, Virdika Rizky Utama, alumni Program Studi Pendidikan Sejarah UNJ sebagai pembicara. Selain itu, ada juga pembicara lainnya seperti anggota Fordem, Khairul Umam Wiranu, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dan Paulus Januar yang sekarang menjabat sebagai dosen Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Prof Dr Moestopo (Beragama).
Penulis buku mengaku tertarik membahas Fordem setelah mengkaji biografi Abdurahman Wahid. Virdika menemukan kecilnya porsi pembahasan Fordem dalam biografi tersebut.
Setelah itu, ia mencari data tambahan dengan melakukan wawancara tokoh aktivis Fordem, di antaranya Bondan Gunawan dan Rahmat Tolleng sebagai saksi mata yang terlibat dalam perkembangan forum tersebut. Tokoh lain yang merupakan anggota Fordem yaitu Abdurrahman Wahid, Marsillam Simanjuntak, Rahman Tolleng, Bondan Gunawan, Awad Bahasoan, Frans Magnis Suseno, dan Todung Mulya Lubis.
Keberadaan Fordem tidak bisa lepas dengan Abdurrahman Wahid, atau kerap disapa Gusdur. Tercantumnya nama Gusdur menjadikan Fordem mendapatkan perlindungan. Selain itu, Gusdur bisa menyalurkan gagasan politisnya melalui forum ini.
Umam melalui tulisannya yang menjadi pengantar dalam buku karya Virdika menjelaskan Gusdur yang menentang kelompok sektarianisme. Gusdur merasa bahwa kelompok tersebut memiliki hak lebih besar di rezim orde baru. Salah satu kelompok tersebut ialah Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang menjadi institusi penampung kepentingan penguasa yang mengatasnamakan agama.
Selain itu, Khairul Umam Wiranu, menggambarkan Fordem berkumpul untuk membicarakan keadaan sosial waktu itu. Fordem menjadi kelompok yang mencoba menangkal wacana tunggal orde baru.
“Satu forum yang memberikan kritik sosial yang terjadi, baik politik, social, dan ekonomi,” ujar Umam dalam sesi pertama diskusi.
Sependapat dengan Umam, Virdika juga mengemukakan pertentangan Fordem dengan ICMI. Ia memahami bahwa Fordem – melalui framing media – menggambarkan pertentangan gagasan antara keduanya. Sehingga nampak Fordem bersebrangan dengan ICMI yang mendapat dukungan dari rezim orba. Hal ini menjadikan kedudukan Fordem menjadi kelompok di luar pemerintah orba.
Namun, Paulus Januar, Dosen Fakultas Kedokeran Gigi Universitas Prof Dr Moestopo (Beragama), yang juga merupakan anggota awal Fordem, menyatakan bahwa Fordem bukanlah reaksi terhadap ICMI. Ia menekankan bahwa esensi dari fordem adalah memperjuangkan kehidupan demokrasi lalu membuat kehidupan berbangsa yang lebih baik.
“Sebenarnya kita melawan represi orde baru dan salah satu yang kita kritik ialah hegemoni negara, dalam bentuk pembentukan ICMI,” tutur Januar, saat di wawancarai akhir acara oleh tim Didaktika.
Sejalan dengan Umam, Januar juga menjelaskan gagasan Gusdur melawan sektarianisme. “Meski Gusdur, sudah memiliki barisan massa, tapi ia berpikir untuk membangun bangsa ini harus bersama-sama.” ucapnya.
Penulis: Faisal Bachri
Editor: Hendrik Yaputra