Dalam rangka memeringati hari perempuan international yang ke-100 Jurnal Perempuan dan  Jurusan Sosiologi serta didukung oleh Ketudataan Besar (Kedubes) Kanada mengadakan diskusi dengan tema Feminisme dan Cinta. Acara ini dilaksanakan di Gedung Dewi Sartika lantai 2, Universitas Negeri Jakarta pada 8 Maret 2018.

Atrika Nova Sigero selaku Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan memaparkan alasan mengambil  tema Feminisme dan Cinta. Salah satunya karena maraknya kekerasan terjadi atas nama cinta. Seperti cinta tanah air, kita cinta tapi kita tidak boleh bersuara dan dikekang, ujarnya. Cinta yang demikian adalah cinta yang mendindas dan tidak setara. Ia juga berpendapat bahwa makna cinta sudah terdegradasi. Maka Atrika menganjurkan untuk  membedah konsep cinta yang lebih humanis. “Untuk kaum feminis cinta itu sebagai salah satu pembebasan,” ujarnya.

Senada dengan hal tersebut, Rocky Gerung, salah seorang pengajar Kajian Feminis jurnal perempuan dalam sesi kuliah umumnya yang bertema Cinta dan Politik. Ia berpendapat fungsi cinta  adalah membebaskan akan tetapi saat ini ekspresi cinta terkekang, ekspresi politik juga terpenjara. Sulit untuk mengeluarkan pendapat di lingkungan kampus. Akibatnya dua-duanya kekurangan gairah di kampus. Ia juga menambahkan cinta dan politik seharusnya mengarah pada kesetaraan dan keadilan. Karena menurutnya pencinta yang  baik akan menghasilkan politik yang baik begitupun sebaliknya. “Feminis dapat mereduksi cinta dan politik yang tidak setara,” imbuhnya.

Setelah kuliah umum Rocky Gerung, acara ini dilanjutkan diskusi panel yang diisi oleh Robertus Robert dosen Sosiologi di UNJ, Sri Nurherwati dari Komisioner Komnas Perempuan, Naufaludin Ismail dari Redaksi Jurnal Perempuan, dan Kartika Jahja musisi dan aktivis kesetaraan gender.

Robertus Robert turut menjelaskan definisi cinta, ia memulai penjelasan dengan menjabarkan 3 jenis cinta yang ada pada masa Yunani Kuno pertama eros yaitu cinta yang egois, lalu philia yaitu cinta persahabatan, dan agaphe cinta ibu kepada anaknya. Lalu ia beranggapan bahwa cinta merupakan gejala narsistik. Menurutnya, Manusia merasa mencintai tetapi sesungguhnya yang dicitainya hanyalah mencintai diri sendiri. “Ketika kita mencintai seseorang sesungguhnya kita mencintai apa yang tidak kita miliki namun terdapat pada orang lain,” tuturnya.

Iklan

Setelah itu giliran Sri Nurherwati dari komisi kontras perempuan menjabarkan statistik kekerasan terhadap perempuan merupakan hasil dari “politik cinta”, dimana ada satu pihak yang menguasai. Sri menyampaikan 76% kekerasan terhadap perempuan terdiri atas 911 pencabulan, 704 kekerasan seksual, dan 699 pemerkosaan. “Tetapi, negara hanya melihat dari moralitas saja, ketimpangan relasi dari kekuatan budaya patriarki tidak pernah di perhatikan,” kata Sri.

Sri memberikan pendapat mengenai pencegahan kekerasan terhadap perempuan yaitu, pengetahuan kesehatan reproduksi,dan  penguatan peran tokoh agama memastikan pendidikan agama dan moral yang melindungi perempuan. Untuk para korban, Sri menyarankan agar diberi layanan terpadu supaya  korban dapat menyuarakan makna keadilan, pemulihan sebagai dukungan untuk korban dan penanganan pidana secara terpadu kepada pelaku tindak kekerasan.

Pembicara selanjutnya adalah Naufaudin Ismail dari redaksi jurnal perempuan ia memaparkan mengenai hasil penelitian jurnal perempuan edisi 96, pada setiap tahunnya di Indonesia yang menikah ada kurang lebih 2 juta. Akan tetapi per tahun yang bercerai mencapai 1,2juta. “Menikah belum tentu bahagia, jadi jangan jadikan menikah merupakan tujuan akhir manusia,” tuturnya.

Lalu Kartika Jahja mengatakan bahwasannya hal yang dijabarkan Nafaudin Ismail dipengaruhi budaya populer contohnya seperti hastag #jomblo lelucon yang merendahkan harga diri orang yang tidak berpasangan. Kartika juga memaparkan hastag di media sosial yang baru-baru ini booming yaitu #pelakor yang menyudutkan pihak perempuan secara tidak seimbang.

Lalu ia menambahkan budaya populer juga sangat mecerminkan budaya partriarki yang sangat menyudutkan pihak perempuan melalui iklan-iklan di televisi salah satu contohnya. Di sinetron banyak sekali karakter perempuan digambarkan lemah dan selalu membutuhkan pertolongan laki-laki. “Pihak perempuan di kontruksi sebagai pribadi yang lemah dan budaya populer saat ini melangengkan hal tersebut,” tutupnya.

Geoffrey Dean dari kebudes Canada untuk Indonesia dan Timur Leste menanggapi acara ini ia berharap acara ini dapat memajukan hak-hak perempuan dan anak-anak perempuan. Ketika perempuan dan anak-anak perempuan bisa berhasil membuat perubahan. Bisa meningkatkan kualitas hidup dan perdamaian dunia. “Genarasi muda sebagai harapan penggerak perubahan, karena masalah yang terjadi pada perempuan merupakan masalah kita semua,” ujarnya.

 

 

Uly Mega S