- Judul Buku : Mondok di Pengisahan
- Penulis : Lembaga Kajian Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta
- Penerbit : Pustaka Kaji
- Cetakan : Pertama
- Tahun Terbit : 2019
- Tebal : 165
- ISBN : 978-502-5735-10-3
Makanan instan dan krisis kantong. Dua hal yang acap kali muncul di benak banyak orang tiap kita berbincang mengenai kehidupan mahasiswa di indekos. Misalkan kisah seorang mahasiswi bernama Amira. Dirinya lebih memilih untuk bertahan hidup dengan cara menyetok makanan instan ketimbang membeli makanan di warung nasi, agar ia bisa menekan biaya hidup sehari-hari.
Kadang, dompet benar-benar telah kempis sehingga para penghuni indekos wajib merencanakan pengeluaran sematang mungkin. Tengok saja kisah Anisa yang memanfaatkan dapur di indekosnya semaksimal mungkin agar tak perlu lagi merogoh kocek. “Kalau tidak ada dapur, gue tidak bisa goreng telur dan roti bakar favorit gue.” (hlm. 70)
Namun, kehidupan mahasiswa indekos tidak melulu mengenai makanan instan dan berhemat. Ada banyak aspek dari kehidupan mahasiswa UNJ di Indekos yang jarang tersentuh, sebagaimana dikisahkan di dalam buku Mondok di Pengisahan.
Semisal kisah mengenai kesulitan yang harus dialami oleh para mahasiswi berhijab ketika harus melepaskan hijab di indekos. Beberapa di antara mereka merasa sangat tidak nyaman kalau tampil tanpa hijab jika ada lelaki di sekitar area indekos yang mereka singgahi.
Bahkan ada mahasiswi yang pernah menangis ketika dirinya terlihat tanpa hijab di hadapan laki-laki yang bukan muhrimnya. Hal ini menandakan betapa sakralnya penampilan berhijab bagi dirinya, meskipun harus menahan gerah kala singgah di indekos yang terletak di tengah Ibukota. Berhijab tetaplah kebutuhan spiritual nomor satu. “Karena memang kewajiban dan fitrahnya seorang muslimah untuk menutup auratnya”, ujar seorang narasumber. (hlm. 11-12)
Lain halnya dengan kisah Dini dan Mileny. Bagi kedua mahasiswi UNJ ini singgah di indekos bukanlah halangan untuk tampil dengan sepatu nan modis. Dini bahkan beranggapan bahwa sepatu yang modis dapat membuatnya percaya diri ketika tampil di kampus.
Terkadang hal-hal mistis juga bisa kita temui di indekos. Contohnya kisah si Gondrong yang terpaksa bermalam di indekos kawan karena indekos yang ia sewa dihantui oleh dua arwah wanita gentayangan. Kisah ini memang sekilas terdengar konyol, namun bagi Gondrong kejadian tersebut merenggut kenyamanan yang pernah ia nikmati di indekosnya.
Atau cerita-cerita yang terdengar sepele namun tetap berpengaruh besar bagi kenyamanan mahasiswa saat tinggal di indekos masing-masing. Seperti kisah Nezar, seorang mahasiswa Olahraga Rekreasi UNJ tahun 2013 yang waktu itu tengah berkutat dengan proses penyusunan skripsinya.
Sebagai seorang mahasiswa rantau, dirinya sangat gemar untuk berbincang dan bersenda gurau di sebuah warkop dekat indekosnya. Mungkin ini terkesan sepele, namun untuk orang seperti Nizar, warkop adalah tempat melepas segala penat usai berkutat dengan skripsi.
Dari sini, dapat kita lihat bagaimana kehadiran tempat nongkrong di sekitar indekos membantu mahasiswa merasa nyaman ketika berada jauh dari rumah. Walaupun sekedar berbincang dan menonton sepak bola, warkop telah memberikan suatu kemewahan yang sulit didapatkan Nezar di indekos; kenyamanan.
Sayangnya ada beberapa hal klise yang tersemat di dalam buku ini. Misalkan kisah Zezen yang mencoba untuk menghapus kebosanan dengan cara menonton vidio di Youtube. Cerita seperti itu bukanlah hal yang baru maupun unik, di era digital ini siapa saja dapat menggunakan gawainya untuk memerangi rasa bosan, bukan hanya mahasiswa penghuni indekos.
Seharusnya, penulis bisa menambahkan sudut pandang baru ketika meliput aspek kisah keseharian indekos yang satu ini. Menghibur diri dengan memainkan gawai memang terdengar biasa saja, tapi jika penulis dapat menggali cerita itu dari angle yang baru, cerita ini bisa menjadi lebih menarik.
Semisalnya, jika kebiasaan bermain gawai justru menggangu Zezen dalam menyelesaikan tugasnya, sehingga nilainya anjlok dan ia harus mengulang beberapa mata kuliah. Bukankah hal itu akan terasa lebih segar dan menarik bagi kita, para pembaca?
Terlepas dari segala kekurangannya, Mondok di Pengisahan tetaplah sebuah buku yang menarik. Penulis telah berhasil membungkus berbagai kisah keseharian mahasiswa UNJ di indekos menggunakan warna bahasa yang beragam, sehingga kita dapat menyaksikan berbagai kisah dan pedih para mahasiswa UNJ yang menjalani keseharian mereka sebagai penghuni indekos.
Kontributor: Arthur Lasido Hutabarat (Lembaga Kajian Mahasiswa)M