Menuju Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024, Themis Indonesia bersama Indonesian Corruption Watch (ICW) mengadakan diskusi media bertajuk “Dampak Kecurangan Pemilu Presiden bagi Pilkada 2024” di Rumah Belajar ICW, Kalibata pada Selasa (07/05). Diskusi tersebut dihadiri oleh peneliti dan pengamat politik.
Peneliti ICW, Seira Tamara mengungkapkan ditolaknya gugatan kecurangan pemilihan presiden kemarin oleh Mahkamah Konstitusi (MK) akan mengakibatkan Pilkada yang nantinya diwarnai oleh banyak kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif. Sebab, pencalonan kepala daerah kali ini marak diikuti oleh para petahana.
Seira menjelaskan, berdasarkan laporan ICW sepanjang tahun 2021-2023 terdapat 61 kepala daerah yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh penegak hukum dengan modus suap-menyuap dan penyalahgunaan anggaran belanja daerah untuk kepentingan pribadi. Dalam praktiknya, terdapat jual beli jabatan Aparatur Sipil Negara (ASN) juga politisasi bantuan sosial (Bansos).
“Jika kepala daerah yang sedang menjabat mencalonkan diri kembali pada pemilu selanjutnya maka anggaran daerah akan dipakai sebagai modal ekonomi,” tuturnya.
Hasil dari praktik itu, lanjut Seira, banyak dipakai oleh kepala daerah untuk mendanai kampanye pada Pilkada selanjutnya. Menurutnya, hal tersebut akan mengakibatkan ketimpangan modal ekonomi dari para kontestan Pilkada.
Selain itu, Seira mengatakan kecurangan Pemilu Presiden kemarin akan memicu dinormalisasikannya dinasti politik pada kalangan masyarakat. Akhirnya, modal sosial menjadi tidak setara sedari awal.
“Ketidaksetaraan modalitas dalam pilkada membuat persaingan menjadi tidak berimbang dan jauh dari prinsip adil,” pungkas Seira.
Senada, Peneliti Themis Indonesia, Feri Amsari memandang kecurangan sistematis pada pilkada akan melibatkan mobilisasi kepala desa untuk mendulang suara dengan modus perpanjangan jabatan. Terlebih, pada petahana yang mencalonkan diri kembali pada Pilkada 2024.
“Kepala desa dapat dijadikan lokomotif kecurangan suara. Sebab, mereka berhadapan langsung dengan para pemilih,” ucapnya.
Feri menyamakan kasus tersebut dengan kasus keturunan irlandia di Amerika. Mereka merupakan sebuah kelompok rasial yang kerap digunakan untuk menjamin kemenangan calon tertentu.
Lebih lanjut, Feri melihat penggunaan struktur untuk mendulang suara juga digunakan oleh Penjabat (Pj) kepala daerah. Baginya, penunjukan Pj kepala daerah yang tidak transparan akan meningkatkan indikasi kecurangan pemilu. Apalagi, Pj sekarang mendapatkan kekuasaan penuh seperti kepala daerah terpilih.
“Mestinya ada pembatasan kekuasaan Pj kepala daerah. Jika tidak maka Pilkada akan sarat dengan kepentingan salah satu calon,” imbuhnya.
Feri juga menyayangkan kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif pada Pemilu Presiden 2024 tidak terbukti secara hukum di MK. Ia khawatir kejadian ditolaknya gugatan pada Pemilu Presiden kemarin akan terjadi lagi pada Pilkada yang akan datang.
Oleh sebab itu, dirinya mengharapkan masyarakat sipil bersatu untuk mengumpulkan bukti-bukti kecurangan Pilkada dengan disertai waktu dan tempat kecurangan dilakukan. Mengingat, bukti dari masyarakat pada pemilihan presiden ditolak oleh MK dengan dalih kekurangan keterangan bukti.
“Pemantauan kecurangan pilkada akan susah jika hanya dilakukan oleh ICW dan Themis. Kami mengharapkan semua masyarakat partisipatif memerangi kecurangan pilkada,” pungkas Feri.
Penulis/reporter: Annisa Inayatullah
Editor: Anna Abellina