Oleh : Hanan Radian Arasy*
Menanggapi isu terkait Coronavirus atau yang popular dengan istilah Covid-19 merupakan hal yang umum di massa sekarang. Mulai dari opini pribadi, perbincangan di kedai atau warung kopi, hingga komentar serta perdebatan para filsuf, kian mencuat bak gayung bersambut. Wacana tersebut berkembang dalam level biopolitics dan didistribusikan oleh institusi atau media baik di level tertinggi yakni internasional sampai ke level terkecil dari organisasi sosial masyarakat yakni organisasi di tingkat RT. Informasi yang beredar pun bersifat penuh kebenaran hingga omong kosong bak misil-misil roket perang.
Bagi kalangan intelektual sendiri fenomena pandemik Coronavirus (Covid-19/SARS-Cov-2) adalah hal yang sangat mujarab untuk bermain logika tentang keabsahan teori-teori mereka. Setidaknya sampai tulisan ini ditulis terdapat nama-nama yang mencuat ke publik untuk menggambarkan ulang situasi terkini, seperti Judith Butler, Yuval Noah Harari, Alain Badiou, Slavoj Žižek, dan Giorgio Agamben. Tidak menutup kemungkinan akan banyak nama intelektual lainnya mencuat ke permukaan setelah tulisan ini diterbitkan.
Pada pertengahan bulan Februari, Jurnal ternama di Italia bernama Quodlibet menerbitkan sebuah artikel berjudul L’invenzione di un’epidemia yang ditulis oleh Giorgio Agamben, dalam artikel tersebut Agamben menggambarkan bagaimana pandemik ini mampu menertibkan masyarakat melalui sebuah hukum penundaan (baca: State of Exception) serta mengakibatkan berlakunya pengorganisasian masyarakat seperti para tentara-tentara yang sedang berbaris di luar kamp barak di tengah lapangan menunggu instruksi dan hukuman dari sang Jenderal.[1] Pendapat artikel tersebut secara tersirat menyatakan bahwa, Coronavirus merupakan senjata yang menghunus sifat dasar kemanusiaan yakni, kebebasan. Menurut Agamben kebebasan manusia terampas melalui belenggu kekuasaan, sehingga manusia menjadi spesies yang takkan memperdulikan satu sama lainnya. Gambaran Agamben semakin nyata apabila kita berkunjung ke suatu tempat perbelanjaan pada masa seperti ini dimana stok-stok sembako semakin menipis bahkan langka.
Kendati demikian, pendapat Agamben mendapatkan respon keras dari seorang filsuf berkebangsaan Slovenia. Slavoj Žižek dalam buku terbarunya berjudul PANDEMIC! : Panic Covid-19 Shakes The World. Menyatakan bahwa pendapat Agamben mampu mengantarkan kita pada jurang pesimisme yang mengakibatkan kemanusiaan dapat mengalami krisis. Penyangsian berlebih Agamben terhadap otoritas mengakibatkan kekacauan semakin signifikan apabila tatanan dunia dibiarkan saja kosong melompong atau nihil. Žižek lebih senang menggambarkan peran otoritas kekuasaan Negara dalam situasi Apocalyptical (red-situasi kacau) seperti pandemik ini secara sinis.
Melalui metafora “Kapal Nabi Nuh” Slavoj Žižek menjelaskan bahwa seluruh spesies umat kehidupan kini berada dalam satu kapal raksasa yang sama untuk melewati bencana besar hingga berlabuh menuju sebuah pulau. Namun, pulau tersebut terhimpit oleh dua pulau lainnya yang memiliki karakteristik berbeda satu sama lainnya. Pulau pertama ialah Pulau Barbar berwajah Kemanusiaan—semua penduduk pulau ini berubah menjadi Alien-Alien yang berwajah seperti manusia pada umumnya—Seluruh penduduk hanya berada dalam rumah masing-masing, bekerja dihadapan layar komputer pribadi, berkomunikasi satu sama lain menggunakan video-call. Berolahraga menggunakan treadmill di sudut ruang tamu, bersetubuh dengan boneka sex sambil menonton film porno, serta memesan makanan menggunakan pesan antar atau Delivery Food.[2]
Kendati demikian Slavoj Žižek menggambarkan bahwa terdapat pulau lain yang memiliki kondisi yang amat berbeda, sebagai arah dan tujuan kapal tersebut. Pulau kedua ini bernama Komunisme berbasis kepercayaan publik. Di mana sistem pelayanan dan akses kesehatan terjamin, kekayaan ekonomi terdistribusi secara merata serta piskologis penduduknya penuh dengan rima-irama. Dalam pendapatnya tentang pulau yang sangat ideal ini Slavoj Žižek mebayangkan bahwa kita membutuhkan sebuah komando dari sistem yang bersifat universal. Yakni, melalui intruksi internasional di mana kondisi penuh pengecualian serta penundaan seperti analisa Agamben terhadap kondisi situasi Negara beserta aparratusnya dapat dihapuskan melalui sistem yang terkoordinir secara global, berdasarkan solidaritas dan kepercayaan umat manusia.[3]
Peran Kapitalisme di Tengah Peristiwa Bencana Dunia Covid-19
Benang merah yang teruntai ditengah dua ketegangan filsuf Slavoj Žižek dan Giorgio Agamben pada dasarnya memiliki titik beranjak dari unit analisis yang sama. Kedua kamerad tersebut sepakat untuk menggunakan unit analisa seorang penulis bernama Naomi Klein tentang Kapitalisme Bencana (Baca : Capitalism Disaster) dalam merespon pandemik Covid-19. Di mana Kapitalisme melancarkan shock theraphy sebagai doktrin yang tersebar di tengah kepanikan masyarakat untuk mengumpulkan pundi-pundi laba mereka.[4]
Argumentasi Naomi Klein didasarkan pada penelitian ekonomi terhadap bencana kemanusiaan yang disebabkan oleh kebijakan embargo militer Amerika, terhadap kilang minyak di Irak, serta bencana tsunami yang dialami Sri Langka. Di mana banyak perusahaan Multinasional (Microsoft.Corp,Halliburton.Co.,dsb) yang bekerja sama dengan Pemerintahan Presidensial Amerika Serikat dalam menyediakan alutsista Militer Amerika telah meraup banyak keuntungan secara ekonomis melalui Privatisasi di berbagai sektor perminyakan timur tengah. Tindakan politik yang mereka lakukan menggunakan gimmick serta retorika kemanusiaan yakni perdamaian dunia atau perang melawan terorisme (War on Teror).[5]
Di sisi lain, pasca bencana Tsunami di Sri Lanka dampak alam yang terjadi ialah mengubah pulau di sisi pinggiran pantai. Hal tersebut dimodifikasi menjadi Industri Pariwisata bagi para turis dengan dalih rehabilitasi demi mendorong kembali pertumbuhan ekonomi masyarakat pesisir Sri Lanka, setelah mengalami bencana alam yang menwaskan lebih dari 3500 jiwa. Akibatnya sekitar jutaan penduduk setempat pun direlokasi.[6] Pada penelitian ini Naomi melihat peran pemerintah Sri Lanka yang bekerjasama dengan berbagai perusahaan Hotel dan Resort Internasional serta berbagai dukungan dari United State Agency International Development (USAID) bahkan pemerintahan Amerika.
Hal demikian semakin menunjukan indikasi nyata di tengah pandemik Covid-19 bahwa akhir dunia seperti apa yang digambarkan oleh tesis Francis Fukuyama dalam The End of History—Sejarah dunia akan dimenangkan oleh naturalisasi kapitalisme. Mengingat pengembangan vaksin untuk mengatasi Pandemik Covid-19 sedang di uji secara klinis oleh perusahaan multinasional korporasi di bidang Tembakau yang sudah diajukan proposalnya kepada Dinas kesehatan dan sosial Amerika Serikat. Dilansir dari CNBC Indonesia, perusahaan yang sedang mengembangkan vaksin tersebut adalah Philip Morris International Inc. dan British American Tobacco Plc. (BAT) .[7] Tentu sangat tidak menutup kemungkinan bahwa kedepan hanya orang-orang yang memiliki akses dan uang yang bisa membeli vaksin tersebut.
Apa yang Harus kita Lakukan?
Sebagai penutup tulisan ini saya terbesit bagaimana Judith Butler merefleksikan dengan ciamik bagaimana virus corona, menurutnya:
“Barangkali kita bisa belajar bahwa ternyata virus corona lebih bijak daripada manusia itu sendiri. Sebab, korona memperlakukan manusia secara merata, semua orang bisa saja terinfeksi olehnya tanpa memandang umur, kelas ekonomi, gender, dan sebagainya. Sedangkan kita manusia, masih saja ribut-ribut tentang siapa saja yang seharusnya berhak menerima penanganan darurat bagi kelayakan jaminan kesehatan dan memperlakukan manusia lainnya seperti binatang.”[8]
Pendapat diatas tentu bukanlah surat terbuka yang semata-mata saya layangkan untuk pemerintahan Jokowi agar mendesak terciptanya solidaritas internasional. Melainkan lebih dari itu, bahwa ada beberapa poin yang dapat saya ambil dari sebuah peristiwa pandemik ini. Di saat kebijakan karantina diri atau isolasi diri sudah mulai diberlakukan di berbagai wilayah. Responya pun beragam seperti sebuah letupan pop-corn di dalam oven.
Dengan demikian, pertanyaan tentang apa yang harus kita lakukan akan saya jawab dengan cara menemukan jati diri kita sebagai manusia yang bermukim di atas permukaan tanah bumi. Kendati perasaan takut, kekhawatiran terhadap orang terdekat terus menghantui detik demi detik pada masa-masa seperti sekarang. Namun, bukan berarti kita harus memilih terbujur lemas dengan tidak melakukan apa-apa di dalam rumah. Masih banyak cara untuk mendorong Kapal yang sedang kita arungi bersama ini menuju pulau penuh harapan seperti yang telah digambarkan oleh Žižek.
Diawali dengan refleksi, mari kita berorganisasi, melawan sikap apolitis dan terus bersikap kritis terhadap berbagai informasi yang masuk serta kebijakan yang dikeluarkan oleh berbagai pihak yang berwenang. Dengan demikian, Solidaritas seluruh umat manusia bukanlah hal yang tidak mungkin! Atau setidaknya kita masih bisa menaruh harapan bahwa masih ada ilmuwan di luar sana yang sedang benar-benar mengupayakan vaksin bagi seluruh rakyat di seluruh dunia.
Tanpa mengurangi rasa hormat kepada siapapun yang telah berkontribusi dalam menghadapi pandemik Covid-19, pada kesempatan kali ini saya akan menyatakan bahwa dunia akan mengalami dampak yang signifikan khususnya di bidang perekonomian setelah adanya resesi ekonomi besar-besaran. Lantas, jalan mana yang akan kita sepakati? Barbarisme berwajah Kemanusiaan atau justru Solidaritas manusia berbasis kepercayaan publik?
Jakarta, 15 April 2020
Demikianlah
*Penulis adalah mahasiswa sosiologi UNJ tingkat akhir yang sedang menyusun skripsi berjudul Sinema dan Ideologi di Tengah Kapitalisme Tahap Akhir
[1]Dilansir dari Jurnal web Italia https://www.quodlibet.it/giorgio-agamben-l-invenzione-di-un-epidemia. Pada Rabu,15 April,2020 pukul 13:23 WIB.
[2] Slavoj Žižek, Pandemic! : Panic Corona Virus Shakes The World, London : OR Books,2020. hal 56
[3] Žižek menyatakan bahwa terdapat berbagai respon yang secara umum dapat ditarik dalam menanggapi Coronavirus, respon tersebut sejalan dengan bagaimana masyarakat dunia dalam merespon ideology Neoliberalisme yang sedang berlangsung. Lebih lanjut silahkan baca Slavoj Žižek, Pandemic! : Panic Corona Virus Shakes The World, London : OR Books,2020.hal
[4] Untuk nominal angka yang diuntungkan bagi kapitalisme bencana secara spesifik pada studi kasus US, Irak dan Sri Lanka. tercantum dalam buku Naomi Klein, “The Shock Doctrine : The Rise of Capitalism Disaster” New Yorks : Metropolitan Books,2007.
[5]Op Cit Naomi Klein. Hal, 292.
[6] Op Cit Naomi Klein. Hal 385.
[7]Dilansir dari laman CNBC Indonesia https://www.cnbcindonesia.com/market/20200403081149-17-149512/2-raksasa-rokok-dunia-mau-bikin-vaksin-corona-dari-tembakau pada Rabu 15 April 2020, pukul 13.40 WIB
[8] Dikutip dari laman https://www.versobooks.com/blogs/4603-capitalism-has-its-limits pada Rabu 15 April 2020, pukul 13.40 WIB.