Oleh: Yogo alias Cemonk
Dalam perkuliahan masih ada dosen yang memposisikan mahasiswa sebagai objek
Melihat masalah sosial, ekonomi, politik dan pendidikan di Indonesia, rasanya membuat kita geram. Apalagi pendidikan, yang menjadi salah satu motor penggerak kemajuan bangsa, ternyata tidak begitu diperhatikan oleh pihak-pihak berwenang. Salah satunya tidak ada kultur akademik menjadi masalah klasik yang terjadi di perguruan tinggi.
IKIP yang kini berganti menjadi UNJ, hari ini seolah berdiri di atas menara gading. UNJ dirasa kurang bisa memecahkan masalah sosial. Ini disebabkan oleh metode pembelajaran yang ada masih memakai metode tradisional.
Metode pembelajaran yang tradisional ini seringkali memposisikan mahasiswa sebagai objek. Jika diibaratkan, mahasiswa dianggap sebagai teko kosong. Teko tentu berisi air, dan airnya adalah ilmu pengetahuan yang diberikan oleh dosen. Namun teko kosong itu jika dipaksa diisi terus-menerus, maka lama-kelamaan akan tumpah. Alhasil, airnya tidak akan menjadi apa-apa.
Memposisikan mahasiswa sebagai objek seharusnya dihilangkan. Jika dipertahankan, tentu hal ini akan menghilangkan kodrat mahasiswa itu sendiri. Yaitu sebagai manusia yang mempunyai kebebasan serta hak untuk dimanusiakan. Hak untuk dimanusiakan ini bisa terjadi kalau mahasiswa dianggap sebagai subjek oleh dosen.
Dosen yang masih menganggap mahasiswa sebagai objek tidak akan mamacu mahasiswa untuk berfikir kritis dan kreatif. Semisal dalam ruang perkuliahan, dosen selalu berbicara dan mahasiswa tidak dilibatkan. Seolah-olah dosenlah yang paling berkuasa atas kelas dan ilmu pengetahuan. Mahasiswa dianggap tidak mengetahui apa-apa.
Hal ini membawa kita pada apa yang pernah dibilang Soe Hok Gie, bahwa dosen bukanlah dewa. Tentu, mahasiswa juga berhak berargumen di dalam kelas dengan pengetahuan yang dimilikinya. Sebab pengetahuan tidak hanya terbatas di dalam ruang kelas. Dengan pengetahuan inilah hak mahasiswa berargumen, mesti dihargai.
Selain itu, akibat dari memposisikan mahasiswa sebagai objek adalah mahasiswa akan dengan mudah menerima begitu saja ilmu yang disampaikan oleh dosen. Sebut saja hanya ‘mengcopy’ ilmu dari dosen tersebut. Syahdan, tidak ada perubahan serta perkembangan dari ilmu pengetahuan tersebut.
Padahal dalam pendidikan itu harus ada yang dikembangkan, agar ilmu itu tidak berjalan dengan statis. Melainkan berjalan dinamis. Sebab pendidikan harus punya dampak yang luas terhadap masalah-masalah sosial yang mesti dipecahkan. Inilah fungsi institusi pendidikan yang semestinya.
Untuk itu mahasiswa selaiknya diposisikan sebagai subjek, bukan sebagai objek. Karena dengan memposisikan mahasiswa sebagai subjek oleh dosen, akan menciptakan suasana ruang kelas yang lebih proaktif. Suasana keproaktifan ini penting, untuk mengasah daya kritis mahasiswa tersebut. Daya kritis inilah yang memungkinkan pendidikan menjadi berkembang dengan dinamis.
Menyoal pemecahan masalah sosial masyarakat, dosen diharapkan bisa melatih mahasiswa untuk melihat masalah, menghadapi masalah, dan memecahkan masalah. Hal ini kiranya yang belum ada dalam proses perkuliahan kita. Idealnya, dosen sebelum masuk ruang perkuliahan sudah mempersiapkan persoalan masalah sosial yang semestinya dipecahkan. Selanjutnya, dosen mengajak mahasiswa untuk memecahkan masalah sosial tersebut dengan mendiskusikannya kepada mahasiswa.
Hal ini penting karena berkaitan dengan tri dharma perguruan tinggi. Yang menganjurkan perguruan tinggi untuk memberikan pengabdiannya kepada masyarakat. Pengabdian kepada masyarakat ini mesti berupa pemecahan masalah sosial.
Tri dharma yang berisi pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Patut dilaksanakan. Pasalnya UNJ merupakan salah satu kampus yang masih berstatus penghasil tenaga pendidik. Tentunya para tenaga pendidik ini mempunyai tanggung jawab terhadap masyarakat dalam hal bagaimana cara mendidik yang baik. Kalau tidak dari sekarang, mau kapan lagi?