Selama 2 periode masa kepemimpinannya, Presiden RI Joko Widodo tidak lepas dari persoalan kontroversial. Problematika yang menjadi buntut di negara demokrasi ini, terlaksana dalam level yang multi-dimensi. Terkhusus pada konteks pendidikan, masalah kian meruncing tajam hingga tak tahu ujungnya berada di mana. 

Mahkamah Rakyat menggelar persidangan konstitusional alternatif lewat Mahkamah Rakyat Luar Biasa (25/6). Dalam persidangan ini, Joko Widodo beserta lembaga yudikatif dan legislatif diputuskan untuk menjadi pihak tergugat meskipun nihil batang hidungnya.

Persidangan yang diikuti oleh berbagai elemen masyarakat sipil ini, mengangkat tema Nawadosa Rezim Jokowi. Persoalan pendidikan menjadi salah satu dari 8 isu lain yang masuk ke dalamnya. 

Pada sektor pendidikan, Jokowi diduga telah melangsungkan Komersialisasi, Penyeragaman, Penundukan Sistem Pendidikan. Menurut Mahkamah Rakyat, pendidikan yang seharusnya menjadi hak dasar setiap warga negara justru dikomersialisasi. Uang masuk sekolah yang mahal berbanding terbalik dengan kesejahteraan guru. Sistem pendidikan yang ada pun dibuat untuk memenuhi kepentingan kapital. 

Luntang-lantung Nasib Eks Petani Cilamaya Setelah Alih Fungsi Lahan

Penggugat pertama sektor pendidikan, Mahasiswa Universitas Riau (Unri), Khariq Anhar menyatakan jika terdapat lima poin yang menjadi permasalahan pendidikan tinggi hari ini. Di antaranya adalah komersialisasi pendidikan, kesejahteraan tenaga pendidik, kualitas prasarana dan sarana pendidikan, kebebasan akademik, dan praktik korupsi. 

Iklan

Bagi Khariq, pendidikan hari ini tidak memiliki keberpihakan sama sekali kepada rakyat, khususnya golongan miskin. Rakyat harusnya mendapatkan peluang dan kesetaraan akses pendidikan yang merata.

“Rakyat harus bersusah payah dahulu mengais rezeki untuk mengenyam pendidikan tinggi,” ucapnya. 

Penggugat lain dari Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI), Marwanto mengatakan pendidikan tinggi sudah terlampau mahal dan tidak masuk akal. Menurut keterangannya, pendidikan hari ini sudah dilegitimasi sebagai barang mewah dan hanya segelintir orang saja yang bisa mengakses. Hal itu dikarenakan pemerintah mengklaim pendidikan tinggi merupakan kebutuhan tersier.

Tantangan Perempuan, Mati Satu Tumbuh Seribu

Ada pula tuturnya, pendidikan tinggi hari ini rentan sekali memberikan kriminalisasi terhadap mahasiswa kritis. Ia menyorot kasus Mahasiswa Universitas Riau, Khariq Anhar yang dilaporkan ke Polda Riau oleh Rektor, Sri Indarti karena mengkritik biaya kuliah mahal. Baginya, kebebasan akademik perguruan tinggi hanya menjadi ilusi di rezim 2 periode Joko Widodo. 

“Bukti paling sederhana dari mahalnya pendidikan adalah minimnya anak-anak desa yang sulit sekali mengakses bangku perkuliahan, ” katanya. 

Salah satu hakim Mahkamah Rakyat Luar Biasa, Asfinawati berujar pada hasil putusan sidang, Jokowi bersama lembaga yudikatif dan legislatif terbukti bersalah karena tidak bisa mencerdaskan bangsanya. Hal itu kemudian juga diteruskan dengan kegagalan berupa membuat pendidikan menjadi komersil dan mahal, tidak bisa meningkatkan kesejahteraan tenaga pendidik, dan  melanggengkan kasus korupsi di pendidikan Indonesia. 

Asfinawati meneruskan, walaupun Mahkamah Rakyat Luar Biasa ini tidak berdiri di atas hukum legal-formal atau sebagai gerakan hukum alternatif, dokumen putusan hasil persidangan ini bisa dijadikan satu solusi advokasi di tengah kejenuhan politik nasional saat ini. Hasil persidangan ini katanya, masyarakat bisa menjadikannya pembelajaran dalam pengetahuan sehingga mendapat kemudahan jalur advokasi. 

“Untuk kedepannya, mungkin gerakan alternatif akan lebih marak terjadi,” pungkasnya. 

Penulis/ Reporter: Arneto

Iklan

Editor: Ezra