Lagu-lagu dari Youtube mengalir melalui kabel earphone putih sampai ke telinga dan otak, lalu aku menikmati lagu dengan lirik yang bermakna samar-samar. Sementara aku duduk di sebuah bangku, mungkin bangku bekas rektor kampus ini. Ku atur suara hingga penuh supaya bisa fokus, tapi sungguh sulit.
Malam ini menginap di sekretariat organisasi sangat khusyuk karena kesendirian. Awalnya ku kira demikian, tapi tidak nyatanya. Lantaran deadline kejam.
Deadline tugas beberapa jam lagi. Tapi mengerjakan nampaknya butuh satu dua tahun yang akan datang. Kali ini tugasnya ialah membaca dua belas keping cerita pendek amatiran dan mengadilinya dengan memberi penilaian. Sebagai orang beriman, aku amat berkewajiban memberikan penilaian jujur. Selain itu, aku berikan nilai bagi mereka sudah mengerahkan pikirannya untuk menulis cerpen, meskipun bikin tersiksa aku atas nama juri.
Sebenarnya jurinya bukanlah aku seorang, tapi tiga orang. Tapi karena hidup amat tidak tertebak, mereka sama sekali tidak mengerjakan kewajiban tersebut. Jadi, acara satu organisasi bergantung padaku, beberapa kali aku mengumpat tembok yang wajahnya mirip mereka berdua, tapi aku sekarang sudah maafkan mereka. Namun, tidak menutup kemungkinan untuk meluapkan kemurkaan ku pada mereka.
Aku mengiyakan hal tersebut, begitu ketemu akan ku teriakan kalimat penuh murka paling aktual. Kalimat itu akan didengar oleh dua orang itu, aku bisa bayangkan marahku bikin mereka berdua menangis. Lalu pasti mereka akan mengemis minta maaf, ahhh aku ingin dengar mereka mengemis maaf. Begitu dengar ucapan maaf mereka, pasti langsung aku pasang muka maha pengampun.
Sebenarnya kalo dipikir-pikir seksama dan rasional, ini semua akarnya adalah irasionalitas ku sendiri. Dan sumber irasionalitas ku ialah Monika. Dia gadis paling rajin di organisasi mahasiswa pemalas. Jika saja dia tidak langsung memohon padaku untuk membantu program kerjanya, tidak akan sudi aku habiskan malam dengan baca berbagai cerita amatiran nan jelek ini.
Bagian dari irasionalitas itu adalah gejala-gejala dada sesak, sulit bicara, dominasi pikiran disebabkan Monika berada dalam radius 10-100 meter. Namun jika dipikirkan gadis itu hampir tidak memenuhi kriteria kecantikan tradisional. Setelah beberapa kali dipikirkan, rasanya satu-satunya hal paling kusuka darinya adalah rambutnya yang kadang diwarnai, bentuknya mirip kincir angin raksasa.
Dari kotak rokok Marlboro merah, jari tengah dan tunjuk bersatu menarik sebatang rokok. Sementara itu, telapak tangan kiri meraih korek api gas yang bersembunyi. Sampai aku hampir terbalik membakar rokok, mata ku tetap terpaku pada layar monitor.
Cerpen ke-3, karya seorang mahasiswa pendidikan agama Islam kampus sebelah, mengangkat tema soal rekonsilisasi pasca pemilu 2019. Sampah, ucapku refleks, lalu merasa bersalah sedikit sambil membayangkan jika penulis cerpen ini mendengarnya. Rasa bersalah cukup jadi membesar, aku gak boleh sampai menghina karya orang.
Tapi demi tuhan kami berdua (aku dan penulis cerpen ini), aku amat benci cerpen ini. Alasan utamanya karena amat menggurui pembaca, entah sadar atau tidak.
Ceritanya sederhana, soal tawuran antara dua kelompok beda kampung. Tawuran berujung naas saat seorang nenek yang mencari cucunya tewas di medan tawuran. Penulis cerpen ini deskripsikan dengan amat buruk dan terkesan sok dewasa, bahwa nenek tersebut tewas lantaran bagian kanan kepalanya terbentur batu lalu mayatnya jadi injakan warga tawuran.
Kemudian tawuran berhenti begitu saja ketika azan melantun di masjid. ‘’Azan melantun, bersahut dari azan di daerah sebelumnya. Sakral dan indah, hanya orang yang terjebak pada jaringan makna spesifik mampu memaknainya. Orang-orang haus darah yang saling berkelahi dan secara kolektif telah bunuh seorang nenek tiada berdosa adalah mereka yang menganggap azan ini sakral dan indah,’’ ucap ku, membaca beberapa kali dengan suara mulut. Dari mulut yang sama, refleks senyuman merekah.
Harusnya penulis tidak lupa menyertakan, bahwa kematian nenek itu secara tidak langsung disebabkan oleh sistema politik yang ada. Para elit politiklah yang membunuh si nenek, dan karena menguasai kekuasaan di negeri ini maka. Yasudahlah, masih banyak yang harus dinilai.
Sebatang rokokku habis begitu bara api hanya sedikit berjarak dari bibir yang kering. Senyuman sudah tidak ada lagi begitu cerpen ke-4 ku baca awalnya seperti diary anak SMP yang mau bunuh diri.
Kutarik nafas panjang, bersamaan dengan keluarnya asap hisapan rokok melalui mulut. Tersisa sedikit rasa manis imajiner rokok Marlboro merah, sementara tenggorakan terasa sedikit gatal yang bikin kecanduan.
Tidak ingin lagi kulihat awalan cerpen ke-4. Aku tinggalkan bangku menyelidiki dimana dompet ku. Setelah beberapa menit fokus mencari dompet, yang kutemukan hanyalah dompet kosong. Tidak mungkin, dompetku pasti ada isinya. Tapi tidak ada sepeser pun rupiah di sana, hanya ada KTP dengan wajahku.
Maka kembali lah aku ke tempat semula, sekali lagi melihat kotak rokok yang kosong. Berharap tadi tuhan bikin aku salah lihat. Ternyata benar, doa ku terkabul. Aku temui sebatang rokok, tapi bentuk agaknya beda dengan rokok Marlboro merah pada umumnya. Rokok temuanku wujudnya, rokok lintingan dengan isian yang berbeda pula.
Sambil berpikir benda apa yang sedang kupegang, bola mataku melirik jam di sudut kanan bawah layar monitor. Sudah cukup pagi untuk tidak melakukan tugasku. Lagi-lagi teringat Monika, ingatan tersebut menguat saat aku hisapan pertama rokok ini.
Tiba-tiba saja aku ingin sekali melihat kincir angin. Maka aku cari gambar-gambar kincir angin dan video kincir angin. Begitu indah, ucapku dengan suara sungguhan. Objeknya sungguh termanifestasi di depan mata. Tidak pernah aku sadari keindahan ini, seperti payudara ibuku saat aku masih bergantung padanya. Apa bertanya-tanya apa ayah juga berpikir hal yang sama dengan ku?
Bagaimana dengan Monika, apa dia juga akan berpikir bahwa payudara ibuku sangat indah?
Entahlah, tidak ada yang pasti kecuali kepastian itu sendiri. Realita anak manusia adalah relatifisme, seperti lantai tempatku menginjakan kaki. Bergoyang seperti gempa. Relatif seperti udara yang masuk dan menyusup lewat lubang hidung. Begitu manis udara yang menyusup lewat kedua lubang itu.
Tapi sepertinya udaraku sedemikian banyak. Direbut oleh kincir angin di depan mataku. Kincir-kincir itu adalah raksasa-raksasa jahat yang menghirup udara lebih banyak dari manusia-manusia biasa. Oh tidak, raksasa itu jahat. Aku mengumpat ‘’anjing’’ karena melihat musuh umat manusia, raksasa jahat.
Dimanakah kau, sahabatku Sancho ? Dimana Rochinante ? Oh ada disini. Tangan kananku adalah Sancho dan kiri adalah Rochinante.
—
Tolong klarifikasi sekarang tanggal berapa, jam berapa, dimana ku berada, berapa kali kau hisap rokok bajingan itu, tanyanya pada diri sendiri. Lebih spesifiknya, aku pada diri sendiri.
Penulis sebenarnya sudah merencakan bahwa bagian kedua cerpen dinaratori orang ketiga. Bahkan penulis juga sudah menamai si tokoh utamanya yaitu, Donni Kusut. Saat ini dia telah sampai ke cerpen-6. Cerpen tersebut bercerita tentang pembangunan kincir angin diatas tanah leluhur pangeran Diponogoro.
Sementara Doni kusut sedang berada di posisi auto pilot. Otaknya bekerja keras untuk mempertahankan fungsi-fungsi tubuhnya. Tiap kalimat yang dibaca doni mengalir melalui kabel mata ke otaknya. Lalu ujung jari lah yang memberi nilai yang sesuai.
‘’Hei otak, kira-kira berapa lama ya aku bakal terbang-terbang gini,’’ ucap mulut Doni
‘’ Tadi berapa kali tuan menghisap itu?’’ Kata otak,
‘’Dua kali hisap.’’
‘’Coba gerakan tangan tuan untuk searching efek pemakaian marijuana,’’
‘’Tap.. tapi itu bukan marijuana, itu kayaknya Sintetis.’’
Otak menerima informasi bahwa untuk meredakan efeknya pemakainya harus minum air lalu menghubungi kepolisian dan pusat rehabilitasi terdekat. Sial, ucap doni. Otak meyakinkan tuanya efek terbang ini tidak akan lama. Ia mencocokan perasaan terbang ini seperti mabok minuman keras, hilang setelah tidur.
Setelah minum segelas air hangat, dengan sempoyongan Doni berjalan mengarungi Padang rumput menuju komputernya diatas bukit. Sial, masih jauh.
‘’Tuan, ‘’ ternyata tangan kiri Doni bicara padanya
‘’Rochinante, kau bisa bicara? ‘’ tangan kirinya telah berubah menjadi kuda.
‘’Jangan-jangan tangan kanan ku,’’ ternyata tidak, tangan kanannya tetaplah sebuah tangan.
Otak berbisik pada Doni, jangan percaya pada tangan kanan. Tapi nyatanya hanyalah tangan kanan yang ia punya. Tubuh Doni sudah bergabung dengan Rochinante si kuda. Sayangnya penulis cerpen tidak mampu mendeskripsikan dengan detil bagaimana keadaannya.
Tangan kanan Doni mencoba meraih sesuatu di antara rerumputan. Doni merasa ia benar-benar membutuhkannya. Itu adalah tomba panjang para kesatria pemberani berjuang demi putri cantik yang dicintainya.
Doni bersumpah ia butuhkan tombaknya itu. Karena didepan ada barisan raksasa jahat. Salah satu raksasa paling besar bisa ia lihat memegang Monika.
‘’MONIKA!!! MONIKAAA!!!’’ teriaknya sambal tetap meraih tombak.
Tiba-tiba tombak itu ada ditangannya. Tangan kanan yang otak sempat larang untuk percaya telah meraih tomba panjang kesatria. Doni harus selamatkan Monika, tapi lebih penting lagi mengalahkan raksasa agar tidak mencuri udara yang dibutuhkan banyak orang. Udara yang amat manis terasa meresap dan menyusup lewat hidung Doni.
‘’Tuanku, wahai kesatria agung, aku berharap kau tidak lupa dengan pulau yang kau janjikan padaku. Pulau dimana aku adalah raja nya.’’
‘’Tidak akan aku lupa wahai Sancho.’’
‘’Baiklah, jangan lupa tuan, aku adalah tangan kananmu. Seperti tangan kanan yang kau gunakan untuk pegang tombak dan selamatkan tuan putri. Tapi jika kau kesana.. jika kau kesana kau bisa mati, melawan sesuatu yang tidak bisa kau menangkan.’’
‘’Betul yang kau bilang kawan, tapi aku adalah ksatria, dan Monika adalah putriku. Aku telah bersumpah aku akan menghapuskan segala kejahatan di muka bumi.’’
Sancho mengiyakan. Lalu ia jelaskan bahwa ia harus berlari sekencang mungkin agar bisa membunuh raksasa jahat itu. ‘’Aku tidak bisa menghentikanmu, toh Cuma tangan kanan.’’
Kuda Doni kusut dipacu sekuat tenaga. Suara sepatu kuda tembaga dan ringkihan kuda adalah satu-satunya suara dominan di Padang rumput. Begitu sudah cukup, tombak Doni arahkan ke kaki si raksasa.
Tanpa ia sangka, ia ditangkap oleh raksasa tubuhnya terpisah dari kuda. Di tangan raksasa, diputar-putar tanpa jeda.
Ternyata itu bukanlah raksasa. Tapi layar kincir angin yang coba ia tombak. Tubuhnya terjebak dalam layar kincir angin. Ternyata tidak ada raksasa jahat sama sekali, hanya kincir anging tidak berdosa ia tombak.
Bahkan tidak ada kincir angin, dan tidak ada Monika.
—
Pukul 3 pagi, aku mengutuk waktu. Kenapa tidak minggu lalu saja aku kerjakan ini. Sudah lebih dari seminggu Monika meminta tolong padaku. Harusnya sudah selesai sejak beberapa hari lalu. Apalagi waktu itu kedua orang juri lainya hadir.
Salah ku memang, mau terkesan paling banyak bekerja. Tidak kusangka aku segila ini sampai merusak kipas organisasi dan melukai diriku sendiri.
Jika tidak selesai sebelum jam 7, waktu pengumuman mampuslah aku. Image ku yang pendiam tapi cerdas akan runtuh. Belum lagi jika, tiba-tiba polisi mengedor pintu depan memaksa untuk tes urine. Mampuslah aku jika ditangkap dan disodomi di penjara.
Penyesalan dan ketakutan membuat ku makin cemas, mungkin juga sekedar dampak efek samping. Sangat hebat rasanya, saat kudengar motor melintas, langsung jantung ini seperti kuda berahi.
Syukurlah aku sampai pada cerpen ke-11. Ku baca dengar seksama karena susunan katanya indah. Aku lihat penulisnya Monika, langsung ingat bahwa di indonesia ada 10-100 Monika atau bahkan lebih. Tapi mungkin saja dia iseng menulis dan menempatkan karyanya di lombanya sendiri.
Cerpen ke-11 menceritakan tentang seorang mahasiswa angkatan baru yang jatuh cinta dengan seniornya. Karena itu, ia menggabungkan dirinya dengan organisasi seniornya tersebut.
Mahasiswa itu dijelaskan sebagai seorang yang berpikiran mulia dan satria, tapi tindakan sehari-harinya kontradiktif dengan jalan pikirannya. Ia berpikir demikian berkat banyaknya buku-buku kisah pahlawan yang ia baca.
Ia selalu berharap bisa menyelamatkan orang banyak, tapi bagi dia untuk suatu tindakan mulia seperti itu butuh ada tempat yang sama mulianya. Tidak bisa tindakan mulia sembarang dilakukan.
Dipertengahan cerita, si tokoh utama diminta seniornya itu untuk menjadi juri lomba cerpen tahunan. Ada 12 cerpen yang harus ia nilai.
Sebagai orang yang banyak buku ia anggap 12 cerpen tersebut hanyalah kerjaan amatir yang haus juara. Benar saja ia amat enggan mengerjakan tugas tersebut sampai menundakan berminggu-minggu sampai sisa waktunya tinggal 5 jam lagi.
Disaat seperti itu, ia menggunakan Lysergyc Acid Diethlamide (LSD) dan berimajinasi menjadi seorang ksatria. Ia berpikir saat seperti itulah waktu paling cocok untuk berbuat mulia. Di depannya berdiri kejahatan di dunia dengan wujud raksasa hendak memakan senior yang ia cintai.
Di halusinasi tersebut ia menunggang kuda dengan sangat kencang dan melawan raksasa. Kemudian efek LSD habis setengah kemudian, ia bangun dan sadari bahwa ia telah menusuk seniornya tersebut.
Si tokoh utama tidak sempat melihat cerpen ke-12 karya seniornya dengan tujuan minta karya dinilai diam-diam. Karena polisi yang sedang melakukan razia langsung memborogolnya.
Hmmm, si Monika ini jago juga nulis ginian, ucapku. Aku berniat menjadikannya sebagai pemenang. Kemudian cerpen terakhir adalah cerita Don-Kisot tapi berlatar di Jawa jaman kolonial.
Faisal Bahri