Aku terbangun tepat pukul tiga dini hari. Memeluk lutut yang kian lapuk oleh pendar mataku. Kutoleh samping bantal, kugenggam sejumput tanah yang kudapat dari tempat pemakaman di belakang rumahku. Meringis halus di saat tanah itu memasuki kuku, membuatnya pekat, dan mengisi seutuhnya.
“Namaku Rahayu. Biasa ngetem di pinggiran sana. Kalau sudah jam tiga, ya balik.”
Kepalaku terbiasa menyetel waktu pulang dari pekerjaanku. Aku melacur. Tidak pada waktu ataupun pada norma sosial yang biasa dijadikan analogi orang-orang sekitar. Aku benar melacur. Berpakaian mini untuk menggoda dan bersanggama demi uang. Uang. Uang. Uang.
Tubuhku tak bisa menolak uang. Walaupun tidak dapat seberapa, aku selalu mengalirkan uangku ke struktur tubuhku. Kepala menolak untuk mendapatkan jatah lebih, alih-alih, hatiku meraup keuntungan yang besar dari penjualan moral tubuhku.
“Kalau sudah pukul tiga, menyeduh kopi hitam sambil mandangin si kecil rasanya damai banget. Bajunya terbungkus warna coklat. Apik sekali. Nanti kalau sudah besar, bisa jadi pilot atau dokter. Apa saja lah, yang penting jadi orang.”
Sudah pukul tiga lewat lima belas menit, masih kupandangi si kecil. Mengamuk tidur lelapnya dengan mata sayuku. Kupandangi sekujur tubuhnya dengan nanar. Berharap ia kembali tersadar dari mimpi gilanya akan kesepian. Kemudian senyumku menyayat seluruh permukaan kulitnya. Membelai halus segala resah yang tertanam rapih tak tersentuh.
Kemudian, aku terlelap begitu saja. Mata memeluk mata. Pada tubuh kecoklatan anakku, si kecil.
Pukul delapan adalah realitas paling nyeri. Si kecil masih saja tidur. Tak sanggup untuk membangunkan, kutinggal kecup pada dahi mungilnya. Meninggalkannya adalah suatu keharusan. Aku menjadi kuli cuci dari rumah ke rumah. Demi beli susu buat si kecil. Biar bisa jadi pilot atau dokter atau apa saja lah, yang penting jadi orang, tidak seperti ibunya. Sering dihina. Diludahi tepat di muka.
Pukul delapan benar-benar realitas paling nyeri, biasanya orang-orang meludahi sampai menjadi genangan. Kalau sudah jadi genangan, aku pasti melihat diriku yang bersimbah borok-borok ketakutan.
“Setelah pensiun jadi pelacur sekarang dia jadi gila. Kasian anaknya jadi korban sakit anu. Ya jelas, ibunya aja kerjanya kotor.”
Aku tetap memanggul pakaian. Bersiap mencuci. Kubasuh sekujur tubuhku dengan omongan mereka. Perih. Kutemui sekujur tubuhku memerah. Memekat tiap kali mereka berbicara tentang si kecil. Seolah si kecil tidak terlihat. Padahal, baru saja aku mengecup dahinya.
Orang-orang tidak bersikap cukup baik pagi ini. Tidak menanyakan apakah aku kesusahan memanggul pakaian. Tidak pula menanyakan apakah aku butuh dibantu membersihkan genangan yang terciprat ke muka ku sendiri. Mereka justru melontarkan celoteh tentang anakku, si kecil. Tapi tidak dengan Pak Karmin, dengan baju putih kebesaran yang langsung tersalur di sudut bibirnya, tak sungkan menyapaku.
“Pagi, Neng Rahayu,” ucapnya ramah, teramat ramah.
Aku melontarkan senyum. Kebingungan membalas salam Pak Karmin dengan apa. Kalau sudah kebingungan biasanya aku melukis senyum. Kalau sudah melukis senyum biasanya mulutku tumpah ruah. Kalau sudah tumpah ruah, orang-orang jadi kebingungan.
“Namaku Rahayu. Biasa mengumpulkan uang demi si kecil. Biar jadi orang, anakku, biar tidak diludahi sana sini.”
Aku kembali memanggul pakaian. Dengan hati-hati. Tak kubiarkan sehelai kain pun jatuh ke tanah. Aku bersusah payah mencapai air. Jadi kuli nyuci dari rumah ke rumah. Namun, tak pernah kutemui rumah. Tepat di depan pintu, pakaian selalu jatuh.
Setelah puas mencoba menjadi kuli cuci, aku kembali ke rumah. Bersiap melacur demi si kecil. Ku tengok gorden kumuh tipis yang menutupi ranjang tua-ku. Si kecil masih lelap, rupanya. Tak apa, tidak akan kuganggu. Kukecup pelan dahinya. Samar-samar terdengar ia menguap. Aku tersenyum.
“Sudah sepekan jalanan sepi. Tubuhku tidak diasupi uang. Kerjanya jadi melamban. Tak bisa mikir tak bisa merasakan.”
Tepat pukul tiga. Saatnya pulang memangku si kecil. Membawakan susu formula untuknya. Biar tumbuh besar dan bisa menjadi orang. Orang apa saja lah. Biar tidak sengsara.
Rumahku reot. Kayunya lapuk dimakan rayap. Ranjangnya pun sudah berderit tak karuan. Namun, si kecil tetap saja damai dalam tidurnya. Aku ikut merebahkan badan di sampingnya. Mata memeluk mata. Kubelai halus dirinya sembari menanamkan nasihat untuknya kelak.
Beberapa saat terlelap, pukul empat dini hari. Langit-langit kamar mulai memutar sebuah film. Mengingatkan ku akan jurang kesepian. Membuat refleksi yang luar biasa besar untuk seukuran tubuhku. Aku memandang tepat di manik mataku. Tidak ada si kecil. Hanya ada aku dan ruangan kumuh, bau, dan reot.
“Mana si kecil?” tanyaku entah kepada siapa
Tidak ada jawaban. Aku menaikkan volume suaraku.
“Ku bilang mana si kecil? Uangku sudah terkumpul. Dia siap menjadi orang. Siap hidup bahagia.”
Langit-langit kamarku melengking. Membisikkan pekik suara yang teredam tangisku sendiri. Ya, aku menangis dan entah untuk apa.
“Si kecil sudah mati. Sakit keras. Waras lah sedikit, kau belum menjenguknya jadi mungkin kau resah. Jenguk lah ia. Taburi senyum di pemakamannya.”
Aku menelan suara itu bulat-bulat. Tidak ada kebisingan lagi setelahnya. Aku memeluk lututku yang mulai melemas. Kutoleh samping, tidak ada si kecil. Aku panik setengah mampus. Uangku berubah menjadi daun. Uangku untuk modal si kecil menjadi pilot. Sudah pukul lima dini hari, kurebah lagi tubuhku yang memar dan tak berbentuk akibat mimpi itu. Ngeri sekali melihatnya. Aku memaku si kecil dengan mataku. Berharap ia kembali bangun.
Kupastikan mimpiku segera salah. Aku tidak mencuci hari ini. Kuputuskan untuk memeluk si kecil seharian. Menyatakan keberadaannya. Namun, nihil, tak kutemui apapun. Sekalipun dengkuran halusnya. Aku panik. Kusuapi ia dengan air sampai bajunya basah. Kusisir rambutnya sampai rontok kemana-mana. Kuteriaki ia sampai darah mengalir ke seluk-beluk permukaan. Si kecil tetap tidak bergerak.
Tiba-tiba ada yang mengetuk di belakang rumah. Asalnya dari tanah di sebelah sumur tua. Kugali tanah dengan tanganku. Sampai kotor dan memekat. Kugali terus sampai menemukan sesuatu.
“Ah, nak, akhirnya ketemu. Sedang apa di sana? Ayo makan. Sudah ibu buatkan sup.”
Kubopong tubuh ringkih si kecil. Tidak ada di ranjang, rupanya ia ada di belakang rumah. Di bawah tanah. Mungkin sedang main petak umpet atau tak ingin aku ganggu untuk sementara. Kadang, si kecil susah untuk ditebak. Biarlah, sekarang sudah ketemu. Aku tidak panik lagi.
Sudah pukul tiga dini hari. Waktunya menyeduh kopi. Kali ini, aku sudah lebih tenang. Kuseduh kopi hitam saset bersamaan dengan sejumput tanah yang ku korek dari sela-sela kuku. Asap semunya mengebul dan membuat piktorial tentang si kecil. Berlarian di depan mataku. Memamerkan senyumnya. Tidak pernah habis, sangat terekam jelas.
Perlahan kunyalakan sigar sambil menikmati piktorial yang diilusikan oleh diriku. Kepulan asap memenuhi langit-langit kamarku. Kuseruput kopi hingga tanah melumuri bibirku yang kering pucat. Sudah pukul empat dini hari. Waktunya aku tertawa. Terbahak-bahak. Tergila-gila. Teriris-iris telinga siapapun yang mendengar tawaku. Lalu seketika, aku terpilu-pilu. Terseok-seok. Terberai-berai mata siapapun yang melihatku.
“Namaku Rahayu. Aku melacur sebab terlilit utang. Si kecil ingin menjadi pilot. Butuh uang banyak untuk mewujudkannya. Aku belum mampu membuat si kecil menjadi pilot. Waktu itu kepalaku terantuk sampai syarafku terganggu. Seingatku, dipaksa melayani lelaki baju putih kebesaran yang kukira ramah. Kata orang, aku menjadi gila. Anakku mati. Sakit keras.”
Dan belakang rumah pukul delapan pagi adalah realitas paling nyeri. Aku memakamkan si kecil di sana karena terbatas biaya. Orang-orang menganggap aku hina dan tidak mau membantu pemakaman si kecil.
Pukul delapan pagi adalah realitas paling nyeri. Kupanggul baju si kecil yang berwarna kecoklatan. Berharap dapat mencucinya sampai bersih.
Namun, tak pernah bisa. Aku selalu terpaku pada genangan itu. Menemukan kematianku.
Penulis: Devi Sry Atmaja
Editor: M. Rizky Suryana