Senin (30/05), ribuan mahasiswa Universitas Negeri Jakarta (UNJ) melakukan aksi demonntrasi. Mereka mengatasnamakan Aliansi Mahasiswa UNJ. Mereka menuntut penurunan Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan menghapus uang pangkal untuk mahasiswa angkatan 2016. Menurut salah satu demonstran, Septian Dicky, kenaikan UKT ini sangat menyusahkan mahasiswa. “Kami menerima laporan dari calon mahasiswa (baru) yang kesulitan membayar kuliah,” ucapnya.
Aliansi menyoroti kebijakan rektorat yang menaikkan UKT sekitar 20% dari tahun lalu. Sebagai contoh, pada 2015 UKT golongan III di Fakultas Ilmu Sosial (FIS) sebesar Rp 3.450.000, sedangkan tahun ini menjadi Rp 4.200.000. Tak hanya itu, untuk tahun ini, UNJ merencanakan untuk mengadakan uang pangkal bagi calon mahasiswa yang mengikuti seleksi jalur mandiri sebesar Rp. 15.000.000,-.
Menurut Rektor UNJ Djaali, keputusan tersebut merupakan hasil rapat pimpinan (rapim) yang berisikan kepala prodi, dekan, pembantu dekan hingga rektorat. “Kami (rektorat-red), hanya menyetujui anggaran yang diajukan dari setiap program studi dan fakultas,” ungkapnya. Kenaikan tersebut, lanjut Djaali, berdasarkan angka kebutuhan hidup yang terus naik.
Namun, pernyataan tersebut ditolak oleh salah satu demonstran. “Jika pakai logika ekonomi, ini semacam rasionalisasi bahwa tiap tahun biaya kuliah akan selalu naik,” ucap Andika Baehaqi. Andika memaparkan bahwa pendidikan semestinya tidak menggunakan logika ekonomi. Jika sudah demikian, lanjutnya, pendidikan sudah menjadi barang dagangan. “Ini sama saja kita mengingkari amanat konstitusi bahwa pendidikan adalah hak semua rakyat Indonesia,” tegasnya.
Berunding
Menjelang pukul 14.00, massa demonstrasi semakin memadati gedung rektorat dan suasana semakin memanas. Mereka meminta rektor untuk datang menemui massa aksi. Melihat situasi semakin memanas, pihak rektorat meminta perwakilan mahasiswa untuk berunding dengan rektorat. DIDAKTIKA yang ikut menghadiri negosiasi tersebut. Negosiasi tersebut dihadiri oleh jajaran rektorat dan dekanat UNJ, kecuali rektor.
Perundingan pertama, berjalan alot bahkan hampir berjalan buntu. Pasalnya rektor tidak hadir. “Kami meminta rektor untuk turut hadir dalam negosiasi ini,” ujar Bagus Tito, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UNJ. Sementara itu, Wakil Rektor (WR) I UNJ, Muchlis R. Luddin, ingin negosiasi tetap berlanjut. “Pak Rektor sedang menerima tamu dari kemristek-dikti. Dengan kami pun sama saja,” ucapnya.
Ketika diskusi berjalan tanpa titik temu. Tiba-tiba, seorang satpam mengatakan bahwa pintu Gedung Rektorat rusak akibat massa aksi dan petugas keamanan saling dorong. Negosiasi ditunda. Sedangkan, di luar Gedung Rektorat, massa aksi meneriakkan untuk negosiasi dilakukan di depan mahasiswa. “Diskusi di luar! Diskusi di luar!,” pekik ribuan aksi massa.
Andika Ramadhan Febriansah menyatakan keinginan massa aksi untuk diskusi di luar merupakan bentuk keterbukaan. “Kami takutnya, di dalam rektorat, tim negosiator diintimidasi secara psikologis,” katanya. Andika menilai ada kehawatiran dari massa aksi bahwa nanti ada keputusan yang dipaksakan kepada tim negosiator dan itu tidak sesuai dengan keinginan massa aksi.
Muchlis WR I UNJ berusaha menenangkan massa dengan naik ke atas mobil komando. “Kami sedang berdiskusi dan tolong jaga fasilitas kampus,” paparnya. Setelah massa mulai tenang, negosiasi dimulai dengan menunggu kehadiran rektor.
Menghapus Uang Pangkal dan Menurunkan UKT
Setelah beberapa lama menunggu, rektor UNJ masuk ke dalam ruang negosiasi. Ia menyayangkan sikap mahasiswa untuk berdemonstrasi. “Ini kan bisa didiskusikan secara baik-baik tanpa mengeluarkan banyak energi,” katanya. Kemudian, ia memaparkan alasan penetapan UKT dengan memegang prinsip berkeadilan. Ia mencontohkan, “mahasiswa 2013, membayar lima juta. Kemudian mahasiswa 2016, membayar jumlah yang sama. Apakah itu adil? Kan biaya hidup sudah naik.”
Selepas itu, Djaali lantas langsung memutuskan untuk menghapus uang pangkal bagi calon mahasiswa yang masuk melalui jalur mandiri. Akan tetapi, untuk UKT itu harus dibahas dengan dekan dan kaprodi. Dedi Purwana, Dekan Fakultas Ekonomi (FE) menolak penurunan UKT. Menurutnya, ini akan membebani operasional fakultas. “Tahun lalu, UKT kami 55% dari Biaya Kuliah Tunggal (BKT), tahun ini kami menentapkan 60% dari BKT. Ini sejalan dengan nilai inflasi dan kebutuhan hidup yang meningkat,” katanya.
Hal serupa pun diungkapkan oleh dekan-dekan lainnya. Mereka beralasan kenaikan biaya kuliah untuk tak lain untuk meningkatkan kualitas pelayanan bagi mahasiswa. Tim negosiator pun mengambil jalan tengah untuk menurunkan UKT di golongan III. “Ada disparitas yang terlalu besar antara golongan II sebesar 2 juta dan golongan III sebesar 4 juta, pun demikian dengan golongan IV ini harus diturunkan, minimal sama dengan tahun lalu,” kata Bagus.
Usulan Rektorat dan dekanat tidak setuju dengan penurunan golongan IV. “Kita ambil jalan tengah, golongan IV, itu rata-rata dari golongan III ditambah golongan V,” ucap Djaali. Ini pun tak mudah diterima, beberapa dekan tak setuju. Tercatat hanya Fakultas Ilmu Sosial (FIS) dan Fakultas Ilmu Keolahragaan (FIK) yang langsung menyatakan siap. Fakultas lainnya, berkeberatan karena anggaran tahun lalu sudah tidak sesuai dengan tahun ini. Setelah perdebatan yang cukup lama, rektor menyetujui usulan mahasiswa dengan catatan, ada konsekuensi atas turunnya uang UKT seperti pelayanan dan program-program kemahasiswaan.
Penandatanganan
Dari negosiasi yang hampir berjalan lima jam tersebut, dibuat beberapa keputusan: Pertama, menghapus uang pangkal tahun 2016. Kedua, menurunkan UKT golongan tiga seperti tahun lalu. Ketiga, golongan empat adalah jumlah rata-rata golongan tiga dan empat. Keempat, tidak ada pungutan apapun selain UKT. Kelima, akibat dari penurunan UKT, maka akan berpengaruh dalam keuangan UNJ dalam melaksanakan pelayanan.
Pada proses penandatangan, tim negosiator menginginkan penandatangan berlangsung di depan massa aksi yang sudah menunggu rektor sejak pukul 11.00. Akan tetapi, rektor menolak keinginan tersebut. “Saya tidak mau, ini massa sedang emosi, situasi berbahaya dan tak ada jaminan keamanan,” ungkap Djaali.
Namun, tim negosiator enggan menyerah. Mereka kembali membujuk rektor untuk menemui mahasiswa. Lagi-lagi rektor menolak. “Ini bahaya, saya punya intel dari Mabes Polri yang laporan ke saya ini tidak aman. Lagi pula, kalau mau ketemu rektor ada waktunya di wisuda, seminar atau agenda yang dibuat oleh kampus,” papar Djaali dengan nada tinggi.
Situasi kembali memanas, sekretaris Djaali pun marah dengan sikap tim negosiator yang ingin terus membujuk Djaali menemui mahasiswa. Akhirnya, seluruh Wakil Rektor yang datang menemui mahasiswa dan membacakan hasil putusan.
Pro dan Kontra
Mahasiswa pun menanggapi hasil putusan negosiasi. Ada yang menerima dan tak sedikit yang kecewa dengan keputusan tersebut. Muhammad Rizky mengatakan cukup puas dengan hasil tersebut. “Kita harus cepat, sebab besok maba sudah lapor diri. Keputusan ini setidaknya dapat sedikit meringankan,” katanya. Ia pun menambahkan bahwa mahasiswa jangan menelan mentah-mentah keputusan tersebut. “Ini harus tetap kita kawal,” imbuh mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan.
Sementara itu, Ferdian mahasiswa FIS mengaku kecewa dengan keputusan tersebut. “Kenapa hanya golongan tiga dan empat yang turun? kenapa tidak semua?,” cetusnya. Ia merasa masih ada celah buat rektorat untuk menngurangi jumlah mahasiswa di golongan tiga dan empat. Tak hanya itu, ia juga menyesalkan poin terakhir yang menurutnya bisa jadi alasan kampus mengurangi kualitas pelayanan. “Ini bahaya, bisa jadi pembenaran dan bisa menganggu proses perkuliahan,” tutupnya.
VRU