• Judul                     :Orang-Orang Oetimu
  • Karya                     :Felix K. Nesi
  • Cetakan               :Juli 2019
  • Tebal                     :viii + 220  hlm
  • Penerbit              :Marjin Kiri

Jika masyarakat Jawa atau barangkali pulau-pulau terdekatnya mendengar nama kecamatan Makmur Sentosa, atau Toko Subur. Agaknya akan terlintas dipikirannya itu tidak jauh dari tempat tinggal mereka. Namun, dalam novel Orang-Orang Oetimu nama itu sama sekali bukan Jawa atau sekitarnya.

Sepintas, jika kita tidak begitu mengenal tentang Nusa Tenggara Timur, di bagian awal novel kita akan dibuat bingung. Sebab disuguhkan dengan latar yang sepintas mirip dengan Jawa. Namun, dikenalkan dengan nama tokoh yang asing sekali dengan Jawa. Sebut saja Martin Kabiti atau Sersan Ipi.

Hal itu, barang tentu sengaja digambarkan untuk menunjukkan  bahwa daerah itu sudah hilang kekhasannya. Daerah itu, tercerabut akar moyangnya, karena beberapa kali dijajah bangsa lain, seperti Belanda, Portugis, Jepang, dan Indonesia pun tidak membebaskanya. Mudah dilihat secara terang narasi  yang dituntun oleh Felix K. Nesi sebagai penulis buku tersebut.

Meskipun begitu, daerah itu tetap menggambarkan ciri khasnya, yang (sayangnya) hanya tersisa kekhasan secara rasial sebagai orang Timor. Namun bahasa, kebiasaan, hingga budaya, hampir ludas diinjak bangsa lain yang asing tetapi punya kuasa.

Masuk pada kisah novel. Di awal,  diceritakan Sersan Ipi, atau Siprianus Portakes Oetimu sebagai orang yang dikenal luas di Oetimu bukan saja karena pangkatnya. Bukan juga karena ketangkasanya menumpas kejahatan dan penyimpangan sosial dengan mengadili si pelanggar secara fisik dengan tangan dan kakinya tanpa jalur peradilan. Namun, ia adalah orang yang punya ciri khas khusus. Ia adalah orang Portakes (sebutan Portugis bagi orang Timor), yang lahir dan besar sebagai orang Timor. Lebih penting, ia orang Portakes yang dibesarkan oleh tetua di kampungnya bernama Am Siki.

Masyarakat tradisional di Timor, memang mengenal status sosial untuk beberapa orang yang punya pengaruh besar. Am Siki, dianggap sebagai pahlawan oleh warga kampung, karena memiliki pengaruh besar [boleh dibilang dibesar-besarkan di masa pendudukan Jepang. Lantaran ia pernah membakar kamp kerja paksa Jepang dan menyebabkan tawanannya (orang-orang Timor) bebas]. Meskipun, Am Siki selalu menolak jika tindakannya itu adalah bentuk kepahlawanan. Karena ia membunuh akibat kepalang kesal, melihat kuda betinanya yang kerap diperkosa tentara Jepang.

Iklan

“Mereka kerap menyebut Am Siki sebagai pahlawan, yaitu seorang ksatria yang membunuh untuk menyelamatkan bangsa dari cengkeraman Jepang. Namun Am Siki mengelak.” (hlm. 32)

Masih berlanjut pada kisah Am Siki. Seusai ia membakar kamp kerja paksa Jepang, bersama kudanya ia lari ke hutan. Ia makan makanan yang disediakan alam Timor. Makanan khas dari Timor, yang kebanyakan umbi-umbian. Ia bertahan hidup selama beberapa tahun mengasingkan diri dari manusia lain. Cerita dipersingkat, akhirnya ia kembali ke perkampungan dan menemukan kampung bernama Oetimu. Dan kampung itu sudah merdeka dari Jepang. Kini kampung itu adalah bagian dari bangsa merdeka. Indonesia!

Di titik itu, kita akan melihat dilema Am Siki yang identitasnya mulai tergilas, namun tidak banyak berdaya untuk mengubah keadaan tersebut. Ia hanya bisa kembali bersedih, tanpa bisa melakukan hal lain. Lantaran, Am Siki merasa ganjil. Betul negerinya kini merdeka dari Jepang, tapi ia merasa kemerdekaan di bawah nama Indonesia tidak ubahnya penjajahan sebelumnya.

Bahasa Uab Meto, makin terkikis dari jaman penjajahan ke jaman penjajahan lain, bahkan sampai di bawah naungan Indonesia, yang dipercaya masyarakat sebagai sudah merdeka. Selain itu, warga sudah hilang dari rutinitas utamanya sebagai penyadap. Karena, pohon lontar hanya tersisa di pinggir kampung. Hanya beberapa masyarakat yang masih menekuni sadap-menyadap (hlm. 39-40).

Sebetulnya perasaan Am Siki demikian gamblang mendefinisikan rasa ketertindasan lewat budaya. Secara konsepsi, betul ia memiliki kesadaran akan rasa terjajah. Lewat penggambaran tercerabutnya masyarakat dari akar budaya sebagai cucu lontar. Walaupun Am Siki hingga akhir hayatnya menyimpan kegelisahan itu sendirian dan lenyap dibawah pohon lontar.

Lewat sudut pandang Am Siki, sebagai sosok yang sadar akan keidentitasan. Ia dinarasikan lewat sudut pandang orang ketiga, sebagai orang yang bangga jika harus mati akibat jatuh dari pohon lontar. Seperti yang terjadi pada Ayahnya begitu pun Moyangnya, seterusnya hingga Leluhurnya. Karena, anak Timor adalah anak lontar. Begitu konsepsi masyarakat Timor dari perspektif Am Siki.

Namun kegelisahan Am Siki itu seolah sekadar kisah lewat belaka. Karena semakin hari, identitas Timor hilang. Masyarakat Timor semakin asing dengan dirinya sendiri. Mereka mau tidak mau semakin tergulung gelombang zaman. Struktur penindasan yang baru semakin kuat sehingga identitas lama makin terhapuskan. Masyarakat yang bisa dibilang sebagai masyarakat kecil, senantiasa mengikuti arus jaman. Tanpa tahu, kemana arus itu akan membawa identitas mereka. Jelasnya mereka terjebak dalam keanoniman identitas dan  rantai kemiskinan seutuhnya.

Seperti pada saat program beras-isasi tahun 1980-an yang digalakkan sebagai bagian dari swasembada pangan dengan mengubah pola konsumsi homogen (memaksa semua makan beras). Alasan pemerintah melakukan itu, supaya daerah dengan lahan pertanian nonpadi ditransformasikan menjadi lahan padi.

Dalam novel, dikisahkan pemerintah mengatur sedemikian rupa pola budaya yang ada. Salah satunya dalam urusan pangan. Sehingga, untuk urusan makan saja masyarakat harus membeli dengan cara menukar jagung dan singkong hasil kebunya menjadi beras. Pola perekonomian mulai bertransformasi dari produksi nira menjadi jasa – tukang ojek. Efeknya, para pemuda yang tidak jelas penghasilan melalui ojeknya, mengambil langkah pintas. Mencuri hewan ternak milik ayahnya sendiri untuk dijual. (hlm. 55-58)

Polemik-polemik terus terjadi disana. Dalam konteks luas, negara diliputi masalah kerusuhan yang terus meluas di kota-kota. Sementara, fokus di Nusa Tenggara Timur, sama halnya. Gerakan mahasiswa menentang rezim Soeharto saat itu menjadi tren. Oetimu, mungkin tidak kenal dengan masalah besar skala negara. Namun, dampaknya mereka rasakan.

Iklan

Puncak cerita menyiratkan bahwa masyarakat kecil, hanya orang yang semakin hilang dari identitasnya. Mereka hanya menjadi korban yang terombang-ambing kegaduhan politik. Lebih parah, menghasilkan konflik horizontal.

Novel itu, lengkap sudah merangkum peristiwa besar disana, daerah yang secara geografis dekat dengan Timor Leste. Kita tentunya asing dengan Timor Leste, yang pernah menjadi bagian Indonesia (secara terpaksa) tersebut. Namun, puncak peristiwa di Timor Leste yang berhasil ditangkap dunia, melalui perjuangan Allan Nairn.  Kisruh yang terjadi di makam Santa Cruz tetap diangkat, meskipun  hanya sekilas lewat dialog Martin Kabiti dan Atino sebagai dua orang yang berkonflik.

Jika membandingkan novel ini dengan Tiba Sebelum Berangkat karya Faisal Oddang, sudut pandang yang diambil agak mirip. Wilayah yang dianggap pelosok dan tidak begitu terjamah oleh pemerintahan selalu menjadi korban ombang-ambing perebutan kekuasaan. Oddang dalam novelnya memberi pesan bahwa perang tidak pernah dibenarkan.

Peperangan dan perebutan kekuasaan negara hanya menjadikan masyarakat terjebak dalam ketakutan dan kekacauan yang tiada henti. Selain itu, perebutan kekuasaan selalu menghancurkan tata sosial khas satu daerah, hingga akhirnya dikuasai pemenang dari konflik itu. Dalam Orang-Orang Oetimu pun demikian.

Penulis: M. Muhtar

Editor: Ahmad Qori